Zakat Sebagai Penunjang Pembangunan Ekonomi Nasional

Sumber Foto: https://www.kilat.com/khazanah/8448292538/zakat-fitrah-dan-zakat-mal-ini-4-perbedaan-yang-perlu-diketahui-muslim

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

JUDUL di atas mengandaikan satu hal penting yang harus dibuktikan dahulu, sebelum diskusi yang bertanggung jawab dapat berlangsung dengan baik: bahwa zakat memang benar-benar memiliki peranan dalam kehidupan perekonomian. Untuk mengetahuinya, kita harus melihat permasalahannya dari dua sudut pandangan yang sama sekali berlainan. Dari sudut motivatif, zakat mendorong kepada pengambilan sikap hidup tertentu, yang cukup besar nampaknya bagi kehidupan ekonomi sesuatu bangsa atau masyarakat. Zakat tidak hanya memotivasi kaum Muslimin untuk mengeluarkan jumlah tertentu dari hartanya untuk dibagikan kepada mereka yang berhak memperoleh zakat (ashabul asna) melainkan juga mendorong etik ekonomi yang lebih mementingkan karitas bagi mereka yang kurang beruntung nasibnya dan lebih memberikan tekanan untuk memenuhi kebutuhan finansial usaha-usaha keagamaan (pembeayaan pendidikan agama secara swadaya dan seterusnya).

Dalam studinya tentang pola hubungan antara agamawan dan para pedagang dalam sistem bazar di Iran, Howard J. Rotblat (1975) menunjuk kepada kenyataan adanya solidaritas kuat antara mereka itu sebagai sikap pengimbang yang kuat bagi fragmentasi modal dan renggangnya habungan organik antara kaum bazari sendiri dalam kehidupan niaga mereka. Pekatnya kadar hubungan antara motif keagamaan dan motif ekonomis itu menunjukkan sebuah kenyataan penting akan dampak lembaga-lembaga keagamaan, seperti zakat, dalam pola kehidupan ekonomis sebuah masyarakat Muslim. Dalam pengamatan atas perekonomian Indonesia, haruslah diakui adanya kemungkinan akan pengaruh cukup kuat dari solidaritas yang dihasilkan oleh zakat dalam pola patronase kaum petani kaya atas petani penyakap dan buruh tani di perdesaan kita, seperti ditunjukkan oleh Clifford Geertz dalam studinya tentang berbagai ritus seperti ‘slametan’ dan studi Collier dan kawan-kawan (1973) tentang sistem bawon.

Tidak semua dampak zakat atas pola tingkah laku ekonomis itu bersifat positif, tetapi mungkin juga bersifat negatif, setidak-tidaknya bagi perekonomian masyarakat sendiri. Kenyataan bahwa cukup besar jumlah kaum muslimin yang melaksanakan penetapan zakat tanpa mempertimbangkan akibat-akibat strukturalnya, memang merisaukan dalam hal ini. Kasus madzhab Syafi’i yang menetapkan zakat yang sama, baik bagi pemilik tanah garapan maupun petani penggarapnya, jelas memberatkan petani penggarap, yang harus dibebani zakat setelah mengeluarkan beaya penanaman cukup besar (baik secara akumulatif seperti dalam hal panenan yang berkali-kali gagal maupun non akumulatif), adalah contoh dari dampak struktural yang bersifat negatif dari zakat: karena porsi zakat yang lebih besar prosentasinya secara efektif bagi petani penggarap bila dibandingkan dengan pemilik tanah, maka tidak dapat dihindarkan akibat logisnya yang berupa semakin lajunya konsentrasi modal produktif di tangan kaum kaya.

Sudut penglihatan lain yang patut diketengahkan juga adalah kekuatan finansial yang bersifat potensial yang dapat dihasilkan oleh zakat. Kalau zakat dapat dilaksanakan untuk tujuan-tujuan produktif, kita dapat bayangkan betapa besar dampak ekonomisnya secara potensial, kalau 10 juta Muslimin menyerahkan seribu rupiah perorangnya sebagai zakatnya, jumlah sangat kecil bila diukur secara perorangan, akan terkumpul modal bermilyar milyar rupiah secara periodik!

Baik sudut penglihatan dampak motivatifnya bagi pola tingkah laku ekonomis tertentu maupun sudut penglihatan potensinya bagi pemupukan modal menunjukkan dengan jelas bahwa memang ada peranan zakat dalam kehidupan ekonomi, walaupun mungkin baru bersifat rekaan dan berwatak negatif saja. Dari kesimpulan sementara seperti ini, kita dapat beranjak kepada pengenalan peranan kongkrit yang dapat dikembangkan bagi zakat dalam perekonomian bangsa. Dari pengenalan seperti itulah baru dapat dibuat hipotesa akan arti zakat sebagai penunjang pembangunan ekonomi nasional.

Zakat selama ini, bersama-sama dengan bermacam-macam bentuk karitas lainnya, dari sadaqah hingga infaq, merupakan medium tersembunyi yang mengatur pemindahan sebagian kekayaan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Karena sifat tersembunyinya itulah lalu ia sukar diarahkan hagi upaya produktif, hingga lebih banyak merupakan pemindahan sebagian kekayaan masyarakat dari satu sektor ke sektor lain untuk kepentingan konsumtif, terutama di bidang pangan. Penyisian sepersepuluh dari hasil pertanian untuk kepentingan konsumtif, apapun dampak positifnya bagi pemenuhan kebutuhan dasar lapisan terbawah dalam kehidupan masyarakat, memiliki unsur negatifnya yang tidak kecil bagi perekonomian. Ditambahkan pada terjadinya konsentrasi barang modal di tangan kaum kaya sebagai akibat tidak adilnya kewajiban zakat atas strata masyarakat yang berlainan, akibat negatif dari penggunaan prosentasi cukup besar dari hasil pertanian untuk keperluan konsumtif ini dapat membawa akibat serius bagi perkembangan perekonomian dalam jangka panjang. Belum lagi dimasukkan akibat negatif dari fragmentasi pengelolaan harta zakat setelah dikumpulkan, di mana sebagian besar lalu diurus secara salah oleh perorangan yang tidak memiliki kemampuan untuk itu, dengan akibatnya sendiri yang juga cukup serius bagi perekonomian.

Kenyataan ini jarang disadari di dalam kita melihat zakat sebagai kewajiban agama, karena kaum Muslimin memang masih terbiasa memperhitungkan akibat-akibat makro dari kehidupan beragama mereka di bidang sosio-ekonomis. Zakat lalu diidealisir begitu rupa, menjadi semacam obat yang akan menyelesaikan semua penyakit berat yang menghinggapi perekonomian. Idealisasi zakat dalam kerangka seperti ini dalam jangka panjang justru hanya akan menghilangkan relevansi zakat sendiri sebagai salah satu agregaat penting dari perekonomian bangsa-bangsa Muslim di dunia ini. Seperti halnya konsentrasi penguasaan tanah dalam bentuk wakaf secara massif dalam tangan sejumlah lembaga keagamaan (Al-Azhar di Mesir hingga tahun-tahun 1960-an dan Iran hingga ‘revolusi putih’-nya Shah Iran) jarang dilihat dari kacamata efisiensi pengolahan tanah dengan akibat-akibatnya sendiri atas perekonomian, maka zakat juga sedikit sekali disoroti dari sudut ilmu ekonomi itu sendiri.

Sudah tentu tidak hanya peranan negatif saja yang dimiliki zakat dalam perekonomian. Upaya organisatoris untuk mengumpulkan zakat secara sistimatis untuk tujuan produktif, seperti dilakukan BAZIS DKI Jaya, telah menghasilkan sejumlah kerja rintisan menarik pemerataan modal-kerja (working capital) dalam jumlah kecil di antara mereka yang potensial untuk menjadi pedagang kecil dan pedagang kaki lima, usulan kepada pemerintah untuk menggunakan zakat sebagai alat utama peningkatan status pedagang eceran di pasar-pasar PD Pasar Jaya hingga mereka menjadi grosir (khusus ditujukan untuk memperpendek jarak penyediaan barang dari tangan produsen kecil seperti KUD kalangan pembeli) dan gagasan sistematisasi zakat itu sendiri (melalui sistem pembayaran zakat secara angsuran di samping perluasan wajib zakat hingga meliputi profesi non-pertanian dan non-niaga).

Walaupun masih mengalami beberapa hambatan yang cukup serius dari para agamawan sendiri, kerja-kerja rintisan itu akan membawa kepada peranan yang cukup besar dalam perekonomian. Zakat dalam keadaan yang telah dikembangkan seperti itu, berarti upaya penabungan uang untuk tujuan-tujuan produktif berjangka panjang setelah disisihkan darinya jumlah minimal yang ditetapkan agama bagi kebutuhan pokok yang bersifat konsumtif dari para penerima zakat. Pemindahan jumlah harta cukup besar, sepersepuluh hasil pertanian dan dua setengah persen kekayaan uang mulia (dari semua jenis, seperti sedang diusulkan, di samping perluasan jenis kekayaan yang hingga meliputi penghasilan tetap di atas jumlah-jumlah tertentu dan penghasilan-penghasilan lain yang bersifat akumulatif, dari tangan mereka yang tidak dapat lagi mempergunakannya secara optimal kepada sektor lain yang lebih memerlukan bagi modal kerja mereka, bagaimanapun juga akan membawa kepada akibat-akibat positif, walaupun ada juga bahaya kontraksi jumlah uang yang diperlukan bagi kebutuhan konsumtif untuk merangsang sektor produktif itu sendiri dengan resiko naiknya suku bunga uang dalam jumlah yang cukup besar.

Pengorganisasian zakat secara efisien dan berdayaguna optimal memegang kedudukan menentukan bagi pelaksanaan peranan positif bagi zakat seperti disinggung di atas. Tanpa pengorganisasian seperti itu, maka yang terjadi adalah kebalikannya.

Di Malaysia, umpamanya, wajib pajak memperoleh kebebasan pajak sejumlah zakat yang dibayarkannya. Tetapi, tanpa diorganisirnya pengumpulan dan penggunaan zakat secara optimal, hasilnya hanya pemindahan jumlah besar modal masyarakat dari sektor pengumpul (jawatan pajak) dan pengguna (pemerintah, melalui APBN) yang efisien dan teratur kepada pengumpul dan pengguna yang tidak menentu kemauan dan cara kerjanya. Hasilnya sudah tentu penghamburan potensi besar modal.

Dapat disimpulkan bahwa peranan zakat dalam hidup ekonomi sesuatu bangsa memang cukup besar, tetapi banyak yang masih berupa potensi yang belum terujud dengan baik. Peranan itu sendiri dapat bersifat positif maupun negatif, tergantung dari kemampuan mengumpulkan zakat, mengelola dan menggunakannya secara produktif. Ini sangat bergantung kepada kemampuan mengorganisir pengumpulan dan penggunaan zakat secara optimal dan efisien.

Pembangunan nasional, walaupun hanya menyangkut sektor perekonomian, jauh lebih luas jangkauan pengertiannya daripada kehidupan ekonomi itu sendiri. Kehidupan ekonomi dalam lingkup yang tidak membangun tidak menjangkau upaya rintisan sama sekali. Ia memperhitungkan kegagalan dan keberhasilan upaya baru hanya dalam lingkup jatuh bangunnya suatu kerja atau upaya belaka. Tidak dimasukkan nilai pendidikannya dalam kerangka percobaan yang bermanfaat untuk mendorong munculnya sesuatu yang secara kualitatif berlainan sama sekali dari apa yang telah berkembang sebelumnya. Membangun adalah mencoba semua upaya yang tadinya tak dikenal, untuk mencapai sesuatu yang sama sekali baru. Watak transformatif dari upaya yang dilakukan adalah inti dari kegiatan membangun itu sendiri.

Zakat dalam kerangka transformatif seperti ini memegang peranan cukup berarti bagi pembangunan, termasuk pembangunan ekonomi. Dalam skala nasional, zakat dalam pengertiannya yang potensial dapat digunakan untuk menunjang sejumlah kerja transformatif penumbuhan kemandirian dalam sektor organisasi ekonomis (penumbuhan pra koperasi secara massif di perdesaan), sektor teknologis (pemindahan teknologi tepat guna ke perdesaan), sektor kultural (pendidikan keterampilan ekonomis seperti administrasi sederhana dan pengetahuan perjajakan elementer serta pendayagunaan kesempatan mempergunakan kredit kecil yang tersedia secara baik), sektor ekologis (penanggulangan akibat-akibat pencemaran yang timbul dan cara kerja tradisional dan pelestarian sumber-sumber alam yang terdapat di perdesaan) dan sektor-sektor lain yang beraneka ragam.

Dalam keadaan demikian, peranan zakat tidak diukur dari kuantitas agregatifnya dalam perekonomian, melainkan dari sudut kemampuannya merangsang perubahan transformatif hidup berekonomi secara massif di tingkat masyarakat terbawah. Ini sudah tentu bersesuaian dengan tujuan pelembagaan zakat itu sendiri dalam jajaran ajaran agama Islam, karena penumbuhan solidaritas yang berwatak kompleks namun tetap konstruktif adalah justru tujuan yang hendak dicapai dengan zakat itu sendiri. Keringanan pajak bagi mereka yang membayarkan zakat seperti berlaku di Malaysia, akan memegang arti penting jika ditekankan pada penggunaannya bagi upaya rangsangan yang berwatak transformatif ini. Secara massif berarti ia akan menumbuhkan swadaya dalam skala cukup besar, sehingga mengurangi bahaya dari ketergantungan sangat besar kepada upaya rangsangan yang disediakan pemerintah saja (seperti tercermin dalam KIK dan Kredit Candak Kulak).

Demikianlah, secara hipotesis telah dikemukakan peranan transformatif yang cukup besar bagi zakat dalam pembangunan nasional di bidang sosio-ekonomis. Tidaklah bijaksana untuk mengajukan sebuah rumusan over idealistis bagi zakat dalam kaitannya dengan pembangunan, tetapi lebih-lebih tidak bijaksana untuk mengabaikan arti penting zakat itu sebagaimana dirumuskan di atas. Bagaimanapun juga akibat-akibat negatif dari pelaksanaan zakat yang tidak terarah, terorganisir, dan terukur dengan tepat seperti telah berjalan selama ini telah terasa dalam perekonomian, walaupun belum pernah dikaji secara mendalam ataupun diamati secara empiris dan dihitung secara kuantitatif. Belum lagi kalau diingat potensi transformatif seperti disinggung serba sedikit di atas. Baik keharusan mengatasi akibat-akibat negatif dan merealisir potensi transformatif tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk lebih apresiatif kepada hipotesa pentingnya arti zakat bagi pembangunan ekonomi nasional.

Dirasa sudah tibalah saat bagi kita untuk mengkaji masalah zakat ini lebih jauh lagi dari kerangka hipotetis di atas dengan meninggalkan baik over-idealisasi yang menghilangkan relevansi zakat itu sendiri bagi manusia moderen dan pengabaian yang dalam jangka panjang hanya akan merugikan pembangunan ekonomi nasional itu sendiri.