Kata Pengantar: Titik Tolak Demokrasi dan Sikap Menolak Kekerasan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kediktatoran selamanya bersifat militeristik, walaupun baju yang digunakan tidak selalu disebut demikian. Kediktatoran Salazar di Portugal jelas-jelas bersendikan caracara militer untuk mengokohkan dan mempertahan kekuasaan, walaupun para pelaku dalam pelaksanaan kekuasaan adalah orang-orang sipil. Hitler pun adalah seorang sipil, tetapi pasukan-pasukan SS dan unit-unit Gestapo yang mendukungnya jelas-jelas bersifat militeristik. Contoh ini dapat diperpanjang dengan sederetan nama-nama para penguasa dengan kekuatan mutlak yang tidak pernah memegang jabatan militer apapun.
Bila kita amati ciri-ciri utama dari setiap kediktatoran, yang timbul adalah gambaran dari pemerintahan yang tidak memberikan kelonggaran kepada masyarakat untuk berbeda pendapat secara luas dan menetap dengan sang penguasa. Langkanya kelonggaran dan sikap memberi peluang kepada perbedaan pendapat itulah yang menjadi faktor tetap yang menyamakan semua sitem pemerintahan diktatorial. Apapun klaim yang diajukannya tentang keabsahan pendapat, sikap atau keputusan yang diambil sebagai telah cukup mewakili jumlah terbesar warga masyarakat, pada kenyataannya justru pengingkaran terhadap kehendak rakyatlah yang terjadi.
Dengan demikian, apapun klaim yang diajukan tentang penentuan sikap ataupun pengambilan keputusan dalarn proses yang pada dasarnya mengingkari hak orang banyak itu keabsahan sikap atau keputusan itu sendiri tidak pernah dapat diuji secara terbuka, melainkan dicapai melalui proses yang sangat tertutup. Pengingkaran kehendak orang banyak melalui pengajuan klaim yang palsu merupakan sebuah proses yang bersambung terus-menerus dari satu sikap atau keputusan ke sikap atau keputusan berikutnya sambung-bersambung secara akumulatif dalam garis yang sangat panjang, yang dengan sendirinya merupakan tumpukan kesewenangan yang tidak bisa tegak tanpa ditopang oleh kekuatan militer. Birokrasi pemerintahan yang masih memilih sikap tenggang terhadap kehendak orang banyak jelas tidak akan mampu melakukan hal itu, karena sikap seperti itu akan membawa kepada penerimaan kebenaran yang obyektif yang datang dari mayoritas warga masyarakat. Sikap terus-menerus untuk menerima rangkaian kebenaran-kebenaran obyektif dari rakyat akan berarti hukuman mati bagi sebuah sistem pemerintahan diktatorial, karena ia akan membuktikan kepalsuan berbagai klaim yang diajukan oleh sang penguasa.
Karena itulah, hakikat dari kediktatoran adalah penolakan terhadap pluralitas pandangan atau keragaman pandangan dan pendapat. Masyarakat yang memperkenankan perbedaan pendapat dan menerima keragaman sikap sebagai sesuatu yang wajar pada hakikatnya mengajukan penolakan terhadap sistem pemerintahan diktatorial. Karenanya, sistem yang seperti itu akan selalu mengajukan keharusan bersikap sama dan bersatu pendapat bagi seluruh warga masyarakat, sebagai sebuah kebenaran subyektif yang harus dipertahankan mati-matian. Dengan demikian ciri militeristik dari pemerintahan diktatorial tidak mungkin dihindarkan. Dalam keadaan seperti itu, sebenarnya tidak ada bedanya antara kediktatoran militer dan pemerintahan represif lainnya. Kediktatoran selalu bersifat militeristik, dan pemerintahan militeristik akan selalu mengacu kepada kediktatoran, apapun baju yang dikenakannya dan klaim yang diajukannya.
Pada hakikatnya, pertentangan abadi antara rangkaian kebenaran obyektif yang diajukan rakyat pada suatu masa dan kebenaran subyektif yang tunggal yang diajukan oleh pemerintahan diktatorial tidak dapat dilerai, sehingga dalam perspektif kesejarahan akan tampak sia-sia saja semua upaya incremental atau bertahap untuk menegakkan emokrasi. Inilah yang membuat sikap dasar mereka yang menggunakan pendekatan radikal atau penolakan terhadap cara-cara evolusioner sepanjang jalannya sejarah. Tetapi, sejarah jugalah yang mengajarkan kita kenyataan yang paling pahit : tidak pernah ada pemerintahan diktatorial dapat ditumbangkan oleh militansi yang tidak menggunakan kekerasan sebagai senjata yang sah untuk melakukan perubahan dengan menggulingkan pemerintahan yang ada. Yang terjadi bukanlah penahanan perjuangan dalam garis linear yang menunjukkan proses yang bertahap, melainkan pemekaran perlawanan berwajah tunggal, yang tadinya meliputi kawasan teritorial yang kecil dan kemudian berangsur-angsur melebarkan sayap ke seluruh negeri. Yang terjadi bukanlah perubahan gradual dalam banyaknya pendapat yang dikemukakan dan beragamnya sikap yang diperlihatkan, yang berarti peluang berbeda pandangan dan sikap, melainkan pemekaran lingkup sikap atau pandangan tunggal yang diajukan. Contoh terbaik dari keadaan demikian adalah penumbangan kediktatoran Koumintang di bawah Chiang Kaishek di daratan Cina oleh pemerintahan tandingan Kungcantang di bawah Mao Zedong, yang pada hakikatnya adalah perpindahan dari satu ke lain sistem pemerintahan diktatorial.
Dengan demikian harus diakui bahwa penggunaan kekerasan dalam menggantikan sebuah sistem pemerintahan diktatorial tidaklah berati tegaknya sebuah pemerintahan yang demokratis sebagai penggantinya. Dengan kata lain, sebuah pemerintahan yang demokratis barulah akan dapat ditegakkan oleh upaya yang menggunakan kekerasan. Sejauh apapun sikap radikal dan militansi yang dikembangkan dalam menegakkan sebuah pemerintahan demokratis, Ciri pokok dari kiprahnya adalah penggunaan cara-cara yang menentang kekerasan. Gerakan buruh atau protes massa atau blokade kelompok-kelompok besar yang menurunkan para pengikut mereka ke jalan-jalan untuk melumpuhkan pemerintahan diktatorial dan menggantikannya dengan sistem yang demokratis, pada dasarnya harus bertumpuh pada sikap menolak penggunaan kekuasaan. Memburuknya keadaan, dalam eskalasi yang bisa terputus-putus ataupun yang mengalir tidak berkeputusan, bagi sang diktator akan berarti paksaan untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak Iagi dapat memaksakan kehendak kepada orang banyak. Ini terjadi terhadap diri Presiden Marcos di Filipina. Di hadapan People’s Powers dan oleh para diktator Amerika Latin dalam rangkaian peristiwa sekitar dua sampai satu dasawarsa yang lalu.
Menjadi nyata dari kenyataan-kenyataan di atas, bahwa transisi dari kekuasaan diktatorial ke pemerintahan yang demokratis, apabila terjadi tanpa campur tangan kekuasaan dari luar (seperti terjadi atas Jerman dan Jepang), haruslah bersifat tanpa kekerasan dan berintikan kegigihan dan keuletan untuk menciptakan dan mengembangkan pluralitas pandangan dan keragaman pemikiran-pemikiran. Dengan kata lain, perjuangan menegakkan masyarakat pluralistik tanpa menggunakan kekerasan dan bertumpu pada ketabahan untuk menegakkan pandangan yang obyektif dan dengan sendirinya pluralistik terhadap kebenaran, adalah satu-satunya jalan untuk menegakkan demokrasi. Baik mereka yang menggunakan pendekatan akomodatif terhadap sistem tidak demokratis yang ada, maupun mereka yang menolak bekerja sama dengan sistem itu secara konsisten, ternyata bermuara pada penolakan terhadap sikap hidup monolitik dan menambakan sikap hidup yang pluralistik. Bukankah justru pada titik inilah kebebasan yang didambakan oleh semua pejuang demokrasi bermula?