Semangat Kebangsaan dan Perikemanusiaan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
DALAM minggu pertama bulan Desember 2004, penulis berada di New Delhi (India) untuk sebuah persinggahan sehari di tempat itu. Di Hotel Taj Palace yang terletak dekat lapangan terbang, penulis bertemu David Danieli, Duta Besar Israel untuk India. Ia dahulu adalah Duta Besar untuk Singapura selama empat tahun. Ia mengikuti dari dekat perkembangan politik di Indonesia dan Malaysia, serta Filipina. Baru beberapa bulan lalu ia dipindahkan ke India tentunya antara lain mengamat-amati perkembangan keadaan ‘kawasan Islam’ seperti Bangladesh, Pakistan, dan Afganishtan (tentunya juga kawasan Asia Tengah seperti Kazakhstan) dan sebagainya. Dalam pertemuan yang hanya beberapa menit itu, ia menyatakan terima kasih kepada penulis tentang berbagai tindakan dan keputusan penulis, yang juga menguntungkan Israel.
Hal seperti itu dilakukan juga oleh sementara para Biku dan juga kaum Kristiani di banyak tempat, ucapan mereka sebagai kaum minoritas sering ‘dilanggar’ orang terutama oleh kaum mayoritas. Golongan minoritas itu ada kalanya berupa minoritas rasial/etnis, seperti kaum Yahudi di Timur Tengah dan orang-orang keturunan Tionghoa di negeri kita. Terkadang mereka merupakan minoritas keyakinan, seperti golongan Kristiani di negeri kita. Dalam hal ini, sebenarnya penulis tidak melakukan apa-apa, hanya melaksanakan apa yang tertera dalam UUD saja. Karena masalahnya menyangkut konstitusi maka harus ada yang dengan konsekwen melaksanakannya secara tuntas. ‘Kemalasan dalam hal ini akan berakibat pada tidak berjalannya konstitusi itu sendiri yang berujung pada tidak mungkin tercapainya keinginan melihat kita menjadi bangsa yang kuat, negara yang besar yang didasarkan pada tingkat kemakmuran yang tinggi dan keadilan yang merata.
Kekayaan alam yang berlimpah sebenarnya dapat mendorong kita mencapai hal-hal yang disebutkan. Namun dalam kenyataan hal tidak terjadi karena kita langgar pengaturan-pengaturan yang dapat membawa kita kepada kebesaran dan kekuatan. Sebagai bangsa dan negara, sebenarnya kita memiliki sumber-sumber alam, dalam jumlah yang menggiurkan bangsa-bangsa dan negara-negara lain sejak dahulu. Hasil hutan yang berlimpah ruah seharusnya dapat digunakan oleh bangsa dan negara, tidak untuk ‘dijarah’ isinya oleh para pemegang HPH. Akibatnya, kita ditipu hanya dengan pencuri-pencuri hutan yang seolah-olah memiliki/melaksanakan program reboisasi, dalam kenyataan hanya membuat puluhan ribu hektar tanah-tanah yang memiliki rumput ilalang (seperti savana di NTT dan NTB). Akibat penipuan mereka yang mengakibatkan porak-porandanya hutan-hutan kita, diperlukan rehabilitasi hutan-aahutan itu kita memerlukan waktu 5-10 tahun.
Sumber kekayaan alam lain yang kita miliki adalah hasil-hasil tambang. Namun, jalannya dunia pertambangan di negeri kita masih terseokseok oleh berbagai perjanjian yang dipaksakan oleh usaha-usaha asing, atas kerugian kita sendiri. Contoh paling mudah adalah kasus Teluk Buyat di Minahasa dengan tingginya kadar merkuri hasil penambangan oleh usaha asing Newmont, ternyata justru kita disuguhi oleh penipuan seorang menteri seperti Nabiel Makarim. Dengan dibantu oleh sistem hukum yang dikendalikan oleh ‘mafia peradilan’, maka bangsa dan negara ini (dalam pemberitaan disebut sebagai masyarakat) mengalami kerugian besar yang secara akumulatif dapat berjumlah triliunan dolar. Karena hal ini sudah berlangsung sangat lama maka kita sudah tidak tahu berapa kerugian yang diderita bangsa dan negara.
Tinggal kita sekarang memiliki sebuah sumber alam ‘berkecukupan’, yang akan membawa kita kepada posisi bangsa kuat dan negara besar jika dapat ditata dengan baik dalam waktu dekat ini. Sebagai seorang muslim, penulis yakin akan kebenaran ayat kitab suci Al-Qur’an: “Tuhan tidak akan memaksakan sesuatu atas sebuah kaum, kecuali jika kaum itu kuat menerimanya (Laa yukalli-f ‘allaahu naf-san ‘illaa wus-‘ahaa).” Ternyata, didera oleh krisis multidimensi selama tujuh tahun, bangsa kita tetap utuh dan tidak terpecah-pecah. Mengikuti ‘krisis Nabi Yusuf yang berlangsung tujuh tahun, sekarang ini krisis yang menimpa bangsa dan negara kita tampak akan segera berakhir. Banyak indikator-indikator obyektif, menunjukkan bahwa hal itu mulai tercapai.
Hanya saja, apakah yang akan kita miliki setelah berakhirnya krisis multidimensi itu? Sebuah negara lemah dan miskin seperti di masa lampau? Jika hal itu terjadi maka dengan mudah pihak yang kuat di berbagai di negara lain dapat saja membuat kita menjadi bangsa dan negara yang lemah dan miskin. Dalam hal ini dengan sangat mudah ‘akan didorong’ untuk menjadi beberapa bangsa dan negara alias membantu kaum separatis mencapai tujuan. Bukankah ini sangat tragis? Padahal para pendiri bangsa dan negara modern di kawasan ini, mementingkan upaya mendirikan bangsa dan negara yang memiliki kemajemukan, pluralitas sangat tinggi dalam kebudayaan, adat istiadat, keyakinan agama dan bahkan bahasa ibu/bahasa daerah. Kebhinnekaan itu tetap terpelihara hingga saat ini walaupun kita merupakan sebuah bangsa dan negara.
Nah, di sinilah terletak ‘tantangan berat yang kita hadapi saat ini. Mampukah kita sebagai bangsa dan negara yang satu, menjaga kebhinnekaan kita di masa depan? Di sinilah kita berhadapan dengan sebuah kewajiban yang jarang kita renungkan. Akankah kita menjadi bangsa dan negara yang hanya hidup berdasarkan ‘semangat kebangsaan saja? Semangat yang tidak mementingkan kesamaan dalam taraf hidup dan sebagainya, yang dijalani oleh berbagai golongan dan bangsa kita saat ini? Selama ini, tiap-tiap kelompok dalam kehidupan kolektif bangsa dan negara hanya mengejar ‘sasaran’ untuk diri sendiri saja. Ketimpangan-ketimpangan sosial lalu terjadi, dengan akibat-akibatnya sendiri dalam jangka panjang. Itulah sebabnya mengapa kita pada saat ini demikian lemah.
Pada intinya, semangat kebangsaan yang kita tumbuhkan saat ini belum mencerminkan kebutuhan akan taraf hidup yang tinggi, pendidikan yang juga cukup memadai sebagai bangsa dan negara yang maju dan keadilan bagi seluruh warga masyarakat. Padahal kemakmuran dan keadilan adalah sasaran yang ingin dicapai oleh Undang Undang Dasar kita sendiri pada saat ini. Dengan kata lain, apa yang diinginkan tidak dengan serius ingin kita tegakkan di kawasan Nusantara saat ini. Pantaslah, jika yang kita hasilkan sejauh ini hanyalah bangsa dan negara yang lemah dan miskin. Karenanya, untuk menghubungkan antara retorika sebagai bangsa dan negara, dan kenyataan kongkret di lapangan, kita perlu melakukan ‘pemeriksaan’ atas diri kita sendiri. Adakah yang salah dalam kehidupan kita, sehingga kita sampai pada keadaan yang kita alami saat ini?
Jawaban atas semua pertanyaan di atas sebenarnya mudah saja, yaitu jika kita dapat mengaitkan semangat kebangsaan yang kita miliki dengan asas kemanusiaan dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan negara untuk selanjutnya. Memang kerja mengaitkan kedua hal itu bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Sudah lama kita bersikap curiga satu terhadap yang lain dalam menempuh kehidupan kolektif sebagai bangsa dan negara. Masing-masing pihak hanya mementingkan kebutuhan sendiri dalam menempuh proses modernisasi yang demikian rumit dan sangat beragam aspek-aspeknya itu. Kebutuhan bersama itu haruslah menjadi kekuatan kita, yaitu dalam kaitan antara semangat kebangsaan dan perikemanusiaan. Hal inilah yang harus senantiasa kita ingat dalam proses melestarikan dan membuang yang biasa terjadi dalam sejarah umat manusia, bukan?