Gereja Awam, Gerejanya Rakyat
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
PENULIS dan rombongan mengunjungi Gereja Katolik di sebelah Timur Beijing. Di sana penulis disambut oleh ketua pengurusnya, seorang wanita. Walaupun seorang uskup ‘di perkenankan’ memberikan sambutan-sambutan, tetapi terlihat bahwa sang wanita itulah penguasa tertinggi di gereja itu. Ada puluhan orang membawakan koor lagu-lagu gereja (dan karena ini musim Natal), lagu-lagunya adalah versi Mandarin dari nyanyian seperti ‘Malam Sunyi’. Pidato demi pidato berlalu, kerapian dan pengorganisasian yang baik, semuanya memperlihatkan ciri utama Gereja Katolik di mana-mana. Belakangan di hotel tempat kami menginap seorang kawan pastor menyatakan bahwa Gereja Katolik di Tiongkok lebih merupakan lembaga orang awam ketimbang dikuasai oleh hirarki/struktur organisatoris Vatikan. Tetapi tidak dijelaskan apakah gereja awam’ itu dikuasai oleh paroki (orang awam terorganisir).
Tetapi melihat kerapian kegiatan yang dirasakan penulis, tampaknya kaum awam (layman) sudah tergantung dalam paroki. Kehidupan organisatoris itu, dengan uskup setempat selaku ‘orang tua’, terlihat berjalan sebagai mestinya dan tertata dengan rapi. Demikian juga aktivitas di tempat itu, tampaknya diketahui dan ‘dibiarkan’ (berarti disetujui) oleh pimpinan agama-agama pihak pemerintah setempat.
Sebagaimana kita ketahui, Gereja Katolik di Tiongkok bersifat ‘sangat nasional dan boleh dikata lepas dari pengendalian’ hirarki gereja di Vatikan. Para uskup yang dahulunya tunduk kepada hirarki pusat di Vatikan itu akhirnya mengalami tekanan-tekanan dari pimpinan gereja yang lebih tunduk kepada pemeritahan Tiongkok sendiri. Para ‘uskup rakyat’ bermunculan dan uskup-uskup yang tunduk kepada Roma satu demi satu akhirnya menghilang dari peredaran, ciri utamanya adalah ketundukan penuh pada pemerintahan di negeri itu, dan ini tentu saja dianggap membahayakan bagi keseluruhan umat Katolik.
Untuk menghindarkan pertentangan dan konflik antara gereja nasional dan gereja yang tunduk penuh kepada Vatikan, muncullah pimpinan awam yang akan menengahi kedua belah pihak. Bagaimanapun juga pimpinan awam itulah yang memegang kendali dan menghindarkan pertentangan antara pimpinan gereja dan pemerintah Tiongkok. Kita belum tahu bagaimana kesudahannya nanti, namun tentu perkembangan itu akan sangat menarik untuk diikuti. Akankah ia menjadi awal sebuah kebangkitan ataukah hanya mengembalikan rutinitas masa lampau? Jawabannya akan menjadi sangat penting, bukannya hanya bagi kaum Katolik saja, tetapi juga untuk umat beragama lain. Di sinilah terletak pentingnya arti dialog antaragama yang sedang hangat-hangatnya dilakukan orang di seluruh dunia sebagai bagian dari sebuah proses sangat besar. Kegiatan itu sendiri dapat mengambil bentuk bermacam-macam, tetapi pokoknya tetap sama.
Tentu saja kita tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Kita juga tidak bisa bersikap seperti judul lagu yang dinyanyikan Doris Day: ‘Que sera-Sera’ (Apa yang akan terjadi, terjadilah). Namun, kita justru harus membuat perkiraan tentang masa depan umat Katolik di daratan Tiongkok. Akan tetapkah ia menjadi ‘gereja nasional’ di negeri tersebut, ataukah ia kembali ke pangkuan Vatikan? Dalam hal ini, kita dapat merujuk ke tiga buah perkiraan.
Pertama, gereja yang dikuasai oleh Paroki dapat berkembang untuk kembali kepada ‘model Vatikan’. Hal kedua yang dapat terjadi di masa depan, peranan paroki-paroki justru menjurus kepada sebuah ‘gereja nasional’ yang tidak mau tunduk kepada Vatikan. Atau model ketiga, paroki-paroki itu akan membuat model-model lain di luar bentuk hubungan gereja dengan negara itu. Inilah yang membuat hati para rahib dan para pengamat demikian tertarik kepada berbagai kemungkinan di masa depan itu. Karena ia memaksakan kita untuk ‘memahami’ hal lain.
Banyak para penulis di Barat menyatakan, bahwa masa depan akan menyaksikan munculnya hal-hal rohaniyah sebagai ‘kebangkitan agama’ dalam tata kehidupan masyarakat. Pengabdian total untuk melayani perikemanusiaan, dengan sendirinya akan memunculkan ‘perpaduan’ antara kecanggihan teknologi di satu pihak, dan kesadaran moral di pihak lain. Manusia sekarang mendapati di luar capaian-capaian materialistik, diperlukan kesadaran moral dalam berbagai bentuk. Kita memang belum dapat mengetahui secara pasti, apakah ukuran-ukuran yang digunakan manusia secara universal di masa depan itu, namun tentu akan jauh berbeda dari apa yang digunakan saat ini. Seperti halnya ensiklik Rerum Novarum, telah menghantarkan umat Katolik kepada pemikiran sosial yang sama sekali berbeda dari nenek moyang mereka. Jangan-jangan apa yang akan terjadi di daratan Tiongkok itu akan ‘membalikkan’ keadaan di masa yang akan datang. Tentu saja tidak hanya umat Katolik saja atau hanya untuk kawasan Tiongkok belaka. Karenanya, apa yang penulis kunjungi itu adalah bagian dari sebuah proses sangat besar.
Walaupun penulis tidak lama-lama berada di gereja tersebut, tapi penulis mencoba memahami bagaimana penting arti sebuah pandangan bagi kelanjutan kehidupan Gereja Katolik, apapun bentuk dan intensitas tantangan yang dihadapi. Karena proses itu sendiri memberikan pelajaran-pelajaran berharga. Hal ini pernah dijalankan sendiri oleh Sultan Agung Hanyokrokusomo dari Dinasti Mataram melalui ‘pengislaman terbatas’. Ia mengubah kalender tahun Saka, menjadikannya sesuai dengan penanggalan Hijriyah. Walaupun tetap menggunakan nama tahun Saka, ia memerintahkan penghitungan bulan menjadi 30 hari, sedangkan pada tahun Saka sebenarnya belum ada yang 29 ataupun 30 hari. Tetap dengan menggunakan nama tahun Saka, ia mengubah nama bulan-bulan, seperti Sawal (hari Raya Idul Fitri) dan Besar (Idul Adha). Yang lain juga berubah, menjadi Sura (Muharam), Mulud (Rabiul Awal), Rejeb (Rajab), Jumadil Awal (Jumadilawal) dan Jumadilakir (Jumadil Akhir) dan sebagainya.
‘Islamisasi terbatas’ yang dilakukan itu juga mengenai penggunaan hukum fiqh dalam soal hikmah talak-rujuk dan bagi waris. Sedangkan cara-cara hidup lain di lingkungan Keraton Mataram dan masyarakat luas (mancanegara) tetap berdasarkan acuan-acuan budaya Jawa. Seperti para dayang dan warga wanita di lingkungan keraton yang menggunakan kemben, yang sebenarnya ‘melanggar hukum fiqh. Demikian pula pergelaran wayang, permainan musik gamelan dan seribu satu hal lain jelas sekali menunjukkan watak serba terbatas dari ‘proses Islamisasi oleh Sultan Agung itu. Hal ini ditambah lagi oleh ciri utama masyarakat agraris yang diperkenalkan kepada warga Mataraman, termasuk “penyerangan agraris”- nya atas Batavia yang waktu itu dikuasi VOC/kompeni. Ia bertempat tinggal selama dua bulan di Paseban (tempat rakyat menyembah/seba) kepadanya, dengan bala tentara Jawa Mataraman bertempat tinggal di daerah yang sekarang disebut kawasan Matraman dan tentara Bali Mataram sekarang disebut Bali Matraman.
Nah jauh di selatan, adalah tempat panglima perang yang dahulu bergelar Wiragunan, sekarang disebut Ragunan. Di kawasan itu ada tempatnya para ulama yang tentu saja tidak menyetujui ‘pengislaman terbatas’ yang dilakukanya itu. Dengan kata lain, mereka tidak setuju dengan ‘watak nasionalistik’ dari agama Islam yang universal. Para ulama itu lalu dibunuh seluruhnya atas perintah raja. Karena panggilan ulama saat itu adalah Jati sedangkan ‘kata sopan’ untuk pembunuhan atas diri mereka itu adalah kata Padang (terang benderang), mengertikah kita sekarang bahwa di desa itu dahulu dilakukan pembunuhan atas diri mereka, dan kawasannya menjadi kelurahan Jati Padang pada saat ini. Pergulatan besar yang hanya dimengerti melalui beberapa istilah yang menjadi nama kawasan. Padahal, pergulatan antaran Islam universal/umum dengan Islam lokal itu hanya berlangsung sekitar beberapa bulan saja. Namun, cukup besar akibat-akibatnya.
Berbagai contoh di atas lebih memperjelas bagi kita apa yang telah terjadi sejak Republik Rakyat Tiongkok lahir, yaitu adanya ‘pergulatan sampingan antara kepemimpinan negara atas agama Katolik di satu sisi, dan hirarki universal yang tunduk kepada Vatikan. Tentu saja ini akan menjadi ‘drama’ bagi kemanusiaan, dengan akibat-akibatnya sendiri dalam masa panjang.
Contoh-contoh lain dapat dikemukakan, seperti munculnya Gereja Kristen Anglican di kepulauan Inggris yang terjadi sewaktu Raja Henry VIII mengawini Anna Boley, ia diekskomunikasikan oleh Paus di Vatikan. la lalu mendirikan gerejanya sendiri, yaitu Gereja Anglican, yang sekarang juga menjadi gereja universal, setelah kerajaan Inggris menjarahi seluruh dunia. Ini menunjukkan adanya ‘persenyawaan antara agama dan politik, sebagai sebuah proses melestarikan dan membuang yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?