Memahami Pengertian Orang Lain
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
DALAM satu kesempatan penulis menyampaikan makalah dalam sebuah seminar internasional yang diselenggarakan di Universitas Negeri Syarif Hidayatulah, Ciputat. Tema seminar itu adalah pendidikan perdamaian dan harmoni antarumat manusia. Penulis sengaja memilih topik asal-usul terorisme dalam Islam. Penulis memilih topik itu, karena sebelum merumuskan sesuatu yang diperlukan untuk menyiapkan pendidikan perdamaian, kita harus berusaha untuk mendudukkan permasalannya secara tepat.
Ini berarti, kita harus melihat beberapa hal yang menjadi unsur-unsur utama pendidikan semacam itu tanpa melakukan hal ini, kita hanya akan sampai pada hal-hal yang ideal yang tidak menyentuh bumi nyata. Tetapi, sekadar mengenal unsur-unsur tersebut saja, sudah diperlukan keberanian moral yang luar biasa karena kita telah melakukan tindakan-tindakan salah kaprah di masa lampau. Umpamanya saja, larangan sementara orang yang menganggap diri mereka lebih tahu soal-soal agama, ketimbang orang lain yang justru mereka tuding sebagai orang yang tidak tahu Islam. Padahal mereka hanya tahu kulit-kulitnya saja. Bukannya soal-soal agama yang diingini Nabi Muhammad SAW melalui Al-Qur’an dan Hadist.
Penulis ambil contoh, ‘larangan’ mengucapkan selamat Natal pada tangal 24-25 Desember tiap-tiap tahun. Alasannya, karena Nabi Isa AS bukanlah putra atau anak Tuhan. Maka dalam larangan itu dipakailah ayat: “Katakan, Tuhan itu Esa. Tak beranak dan tidak diperanakkan serta tak ada yang menyamainya ” (Qul huwa Allahuahad wa Allahu Al-Shamad, lam yalid wa lamyulad wa lam yakun lahu kufuwan ahad). Memang ini adalah selamanya menjadi pokok keimanan orang-orang Islam. Siapa yang menyimpang dari ketentuan itu, bukanlah seorang muslim. Tetapi, di manakah dalam ayat tersebut ada petunjuk bahwa orang-orang kristiani tidak merupakan orang-orang monotheisme? Mungkin, monotheisme agak berbeda dari keyakinan kaum muslimin, pengertian Bapak dan Anak mereka ambil dari perbincangan orang-orang Yunani/kaum Helenistik, yang memiliki pengertian ‘sangat dekat’. Hal ini dilakukan, karena Yesus adalah lawan satu, dan dua orang kaum Kristiani dekat dengannya.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa kita tidak dapat menerapkan keyakinan kaum Muslimin atas sesuatu hal kepada orang-orang Kristiani. Sama saja halnya dengan orang-orang Budha yang mengatakan, bahwa Tuhan itu tidak ada. Maksudnya la (baca: Tuhan) tidak dapat dirumuskan dengan kata. Bukannya tidak berwujud. Karena itu tidaklah tepat jika mereka dianggap tidak beragama, sebagaimana umumnya dipahami dari ungkapan tersebut. Jelas, kaum Budha adalah orang-orang beragama dan bahwa mereka juga monotheistik/ber-Tuhan satu. Walaupun mereka menggunakan nama bermacam-macam, tidak lain itu adalah sifat/atribut-Nya. Kalau kita tidak mengerti hal ini, dan terus-terus memakaikan pengertian kita atas mereka maka tidak diperlukan lagi pendidikan perdamaian. Dan, akan penuhlah dunia ini dengan pertikaian yang tidak habis-habisnya antara para pengikut berbagai agama. Inilah yang justru harus kita hindari sedapat mungkin dalam pergaulan/dialog antaragama.
Banyak sekali hal-hal yang dapat dijadikan contoh dalam tulisan ini tetapi penulis mencukupkan dengan contoh-contoh di atas saja yang diambilkan dari penyajian penulis dalam seminar tersebut. Ada sebuah contoh dari ‘kesalah pengertian’ kaum muslim itu yaitu tentang larangan mengucapkan Selamat Natal, seperti disebutkan di atas. Bukankah Kitab Suci Al-Qur’an sendiri yang berfirman: “Kedamaian atas dirinya, pada hari kelahiran-Nya” (Salamun ‘Alahi Yauma Wulida). Bukankah hal ini jelas bahwa yang dimaksudkan ayat tersebut adalah Isa AS. Dan bukankah ini perkenan untuk mengucapkan selamat kepada-Nya pada hari ia dilahirkan? Tetapi tentu saja dalam pengertian bahwa Ia (baca: Yesus) adalah pelopor monotheisme bukanlah sebagai entitas polotheistik. Dengan demikian, menjadi jelaslah, bahwa kita harus dapat mengubah pengertian-pengertian kita akan apa yang dipikirkan orang lain, sehingga pendidikan perdamaian yang diinginkan akan mempunyai arti dalam kehidupan ini.
Inilah yang dimaksudkan dengan studi kritis atas agama, bukannya membandingkan ‘kebenaran sendiri dengan ‘kesalahan orang lain’. Dengan demikian, para pengikut sebuah agama tidak lagi perlu ‘bersikap garang kepada para pengikut lain. Jikapun memang ada perbedaan pengertian, hal itu tidak berarti kita lalu ‘diharuskan’ memperpanjang perbingungan dalam hal itu. Karena pada intinya, pendidikan perdamaian dimaksudkan untuk memperkecil friksi/pertentangan antara agama-agama. Apa yang dirumuskan oleh Mpu Tantular dari Majapahit dengan ungkapan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda namun tetap satu adalah kenyataan hidup bangsa kita yang tidak dapat dibantu oleh siapapun. Kalau kita hanya mementingkan diri sendiri maka seharusnya kita tidak boleh mempertentangkan antara dua buah agama dalam praktek kehidupan. Kita boleh berbeda pendapat, tetapi tidak boleh terpecah belah. Diktum/ketentuan Al-Qur’an ini harus dilaksanakan secara tuntas.
Dalam sebuah cerita sufi, seorang muslim berpergian untuk tiga hari, guna menemui gurunya di kota lain, maksudnya adalah untuk mendapatkan berkah sang guru. Di tengah perjalanan, setelah berjam-jam dia naik kereta api, seseorang yang berasal dari kalangan pemeluk agama Kristiani langsung menegurnya. Lalu mereka pun bertengkar tentang keesaan Tuhan.
Pada hari kedua mereka berpisah jalan. Karena tujuan yang berbeda pada hari ketiga, sang sufi pun tiba di tempat gurunya. Namun, ia mendapati pintu luar untuk masuk ke halaman rumah gurunya tertutup rapat. la pun duduk di depan pintu, dan pintu itu tidak dibuka. Pada malam harinya, ia tidur di beranda sebuah masjid yang tidak terlalu jauh dari rumah sang gurunya itu. Keesokan paginya ia kembali duduk di hadapan pintu masuk ke halaman rumah gurunya. Ia menunggu seharian, tanpa pintu halaman itu dibuka sama sekali.
Pada hari ketiga, kembali hal yang sama terulang lagi. Pada sore harinya, ia tidak kuat lagi dan berkata dengan suara lantang dan penuh kesepian: “Oh Guru, mengapakah tak kau biarkan aku memasuki halaman rumahmu? Bukankah dengan demikian engkau tidak mau membiarkan aku masuk surga bersamamu?” Dari dalam rumah terdengar suara jawaban: “karena engkau ribut tentang sifat-sifat Tuhan, bukan tentang Tuhan itu sendiri.”
Dari cerita di atas, dapat kita simpulkan bahwa pemahaman kita tentang Tuhan ternyata tidak sama dan dapat berbeda sangat jauh, dari satu ke lain orang. Kisah-kisah seperti ini sangat banyak beredar di kalangan kaum sufi/mistik dari berbagai agama. Bahkan, banyak cerita tentang kelalaian manusia tentang hal-hal dasar bagi semua agama. Padahal di sinilah terletak esensi keberagaman bagi seorang pemeluk yang berkeyakinan teguh, dan ingin diterima Tuhan.
Bagaimanakah kita dapat memahami agama lain, kalau tentang agama sendiri saja sudah tidak dilaksanakan? Berarti, pemahaman akan agama lain, menghendaki pemahaman akan hubungan manusia sendiri dengan Tuhan. Karenanya, memang hal itu menuntut kepekaan dan ketulusan hati kita sendiri kesediaan memahami keyakinan dan tindakan orang lain, menghendaki pemahaman yang benar akan agama sendiri dengan kata lain, pemahaman akan hubungan manusia dan Tuhan, akan menentukan kualitas hubungannya sendiri dengan Tuhan. Karenanya, memang hal itu menuntut kepekaan dan ketulusan hati kita sendiri kesediaan memahami keyakinan dan tindakan orang lain, akan menentukan kualitas kehidupan beragama kita, baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kualitas itu tidak hanya ditujukan melalui kebersamaan dalam menjalani berbagai ritus keagamaan, tetapi lebih-lebih dalam hubungan kita dengan para pengikut agama-agama lain. Karenanya, kelapangan dada terhadap ajaran-ajaran agama yang berbeda dari keyakinan kita, akan memperlihatkan kualitas tinggi atau rendah dari hubungan antar agama yang kita kembangkan.
Sudah tentu, kualitas hubungan para pemeluk agama-agama itu sangat bergantung kepada sikap hidup kita sendiri. Kalau kita dapat mengerti apa yang dilakukan para pemeluk agama-agama lain itu, akan lebih banyak negara yang bersangkutan mengembangkan kehidupan beragama yang jauh lebih baik secara keseluruhan. Hal inilah, yang antara lain mendasari apa yang secara umum menerapkan kehidupan serba pluralistik. Suatu hal yang sangat ironis, jika kita lalu tidak mampu menciptakan harmoni seperti itu, kalau semua hanya mementingkan agama sendiri saja, tanpa merusak kehidupan beragama kita sendiri. Ini adalah sesuatu yang sedikit banyaknya terjadi secara meluas dalam kehidupan manusia modern. Untuk memahaminya, sebenarnya dapat dilakukan dengan mudah, jika kita benar-benar tulus dalam corak kehidupan beragama yang mementingkan Tuhan. Ini adalah bagian lumrah dari sebuah proses melestarikan dan membuang yang umum terjadi dalam sejarah umat manusia, bukan?