Komplementer Ataukah Alternatif?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam diskusi buku Guntur Romli Ustad, Saya Sudah di Surga di Auditorium Universitas Para-madina Jakarta, Ulil Absar-Abdalla menyatakan pendapat penulis dalam kolom-kolom Majalah Tempo tahun 1980-an. Penulis menyatakan waktu itu, bahwa Islam datang ke negeri kita sebagai komplementer atas hal-hal yang sudah berkembang dalam budaya kita sebelumnya. Dalam diskusi selanjutnya, tampak bahwa para pengikut garis keras/fundamentalistik berpendapat, bahwa Islam adalah alternatif bagi manifestasi budaya ‘non-Islam’. Penulis akui, bahwa apa yang diceritakan Ulil Absar-Abdalla, tetap diyakininya sampai sekarang. Masalah ini adalah masalah abadi yang tiap kali akan diperdebatkaan di kalangan pemikir muslim, tidak terkecuali pada masa ini. Ketika penulis mengajukan masalah ini kepada publik, orang selalu menilai penulis berpikiran ‘nyeleneh’. Tapi mengapa justru mereka yang berpikir Islam itu alternatif bagi lainnya tidak pernah dianggap menyimpang?
Anggapan bahwa Islam adalah komplemen terhadap hal-hal lain, sudah terlihat pada pagelaran wayang kulit dalam budaya Jawa. Bukankah dalam wayang kulit pihak Pandawa berhadapan dengan pihak Kurawa? Sedangkan Kurawa itu bukan penjahat dalam arti klasik, yaitu bandit yang melawan cowboy. Melainkan, pihak Kurawa itu, adalah pejuang kebenaran yang belum sampai pada kesempurnaan pandangan. Bukankah itu berarti Kurawa adalah calon komplemen bagi Pandawa? Di lingkungan pesantren, model komplementer ini tampak juga dalam penggunaan bermacam-macam hal di dalamnya. Kata pondok berasal dari kata funduq dalam bahasa Arab, yang berarti tempat menginapnya para pejalan sufi. Tetapi kata pesantren berasal dari istilah tempat santri tinggal. Siapakah santri? Dalam bahasa Pali yang digunakan oleh kaum Budha, artinya orang yang memahami kitab suci. Terlihat dari istilah pondok pesantren itu, diserap kata-kata yang berasal dari bahasa berbeda-beda.
Ini menunjukkan pondok pesantren adalah sesuatu yang bersifat komplementer. Apalagi kalau dilihat lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang di dalamnya. Ada pengajian klasik, yang dalam bahasa pesantren di sebut manhaj ‘aam (sistem umum), di mana ada tambahan sekolah-sekolah agama, seperti madrasah aliyah. Ada yang bersifat klasik tanpa menyediakan sekolah sama sekali, seperti pada pendidikan di pondok pesantren kuno seperti API Tegalrejo Magelang. Yang demikian itu, dinamai dalam bahasa Arab manhaj salafi. Masih ratusan pesantren yang memakai cara itu, toh keduanya dapat berjalan seiring, yang satu menjadi komplemen bagi yang lain. Mengapa? Karena prinsip-prinsip yang diajarkan itu sama saja. Ini belum kalau dihitung pondok pesantren yang berpegang pada moralitas yang sama.
Bahwa pondok pesantren lama menggunakan simbol-simbol budaya yang telah ada, tampak jelas dalam Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, tempat penulis dilahirkan. Jika orang masuk dari sebuah jalan kecil dari Timur ke Barat, ia kemudian berhenti di sebuah tanah kosong di hadapan masjid. Di sebelah selatan masjid yang menghadap ke tanah kosong itu, berdiri bangunan tempat para santri/murid-murid. Sedangkan di sebelah utara tanah kosong itu tinggal sang kiai dan keluarganya (tentu saja menghadap ke selatan). Ini berarti baik santri maupun kiai akan saling berhadap-hadapan’ di masjid yang bertempat di tengah. Para santri akan menggeluti ilmu-ilmu agama dan moralitas/akhlaqnya di bawah bimbingan kiai.
Bukankah ini artinya pesantren meminjam simbolisasi wayang kulit? Yaitu, di tengah-tengah Padang Kurusetra tempat Kurawa dan Pandawa berperang? Karena Padang Kurusetra adalah tempat bertarungnya Pandawa dan Kurawa, maka dalam wayang, padang itu terbiarkan terbuka. Bukankah di alam terbuka terjadi peperangan saling membunuh di antara mereka? Di sini terletak perbedaan antara pondok pesantren dan wayang kulit walaupun kedua-duanya berpegang kepada prinsip-prinsip yang sama. Di sini pula terbukti bahwa Islam dalam pandangan pondok pesantren, adalah sesuatu yang berwatak komplementer terhadap hal-hal lain di luar dirinya. Ini belum lagi kalau dihitung betapa banyaknya aspek-aspek kehidupan lainnya di kalangan kaum muslimin, sehingga Islam dapat dikatakan komplemen terhadap hal-hal lain itu.
Kalau sekarang, globalisasi menghasilkan penguasaan negara adi kuasa — dalam hal ini AS — terhadap nilai-nilai kehidupan di kalangan masyarakat berkembang, maka tidak usah heran jika muncul sikap menentang globalisasi itu. Kaum fundamentalis yang menyatakan Islam memiliki nilai-nilainya sendiri, sebagai alternatif nilai-nilai globalisasi itu, dengan sendirinya akan menganggap nilai Islam sebagai alternatif.
Apa yang dinyatakan di atas adalah kenyataan bahwa Islam membawakan manifestasi komplementer dalam kehidupan. Tapi ia juga berarti adanya pandangan bahwa Islam itu alternatif terhadap nilai-nilai lain. Bukankah dua macam pandangan itu menunjukkan adanya watak komplementer? Artinya, dalam komplementasi yang dibawakan Islam itu, juga terkandung pandangan berbenturan yang diambilkan dari ajaran-ajaran Islam. Bukankah ini hal yang biasa terjadi dalam sejarah umat manusia? Ada kalanya, yang digunakan adalah pendekatan komplementer, tetapi adakalanya pula pendekatan alternatif, yang menghadapkan budaya yang berbeda-beda. Sesuatu yang menarik, untuk disaksikan terjadi berulang kali, bukan?