Al-Qur’an dalam Pengembangan Pemahaman Melalui Konteks Kehidupan Sosial Baru
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
(1)
Terlebih dahulu harus dijelaskan mengapa topik pembicaraan kali ini diletakkan dalam kerangka yang tertera pada judul di atas. Pemahaman atas Al-Qur’an harus dikembangkan melalui konteks tertentu, untuk mencapai kesamaan bahasa dan peristilahan. Kesamaan itu diperlukan untuk mencegah bersimpang-siurnya pembahasan antara para peserta dialog yang tidak akan pernah selesai dalam pengembangan pemahaman Al-Qur’an itu sendiri. Konteks yang dikehendaki bersama adalah kerangka kehidupan sosial kaum muslimin, yang sudah tentu dimengerti dalam situasinya yang ada kini. Batasan ini sudah tentu menghendaki proyeksi situasi masa kini kaum muslimin ke dalam keadaan ideal di masa depan, yang sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari kenyataan-kenyataan hidup yang ada di masa kini, warisan kesejarahan dari masa lampau dan perkiraan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa depan. Dengan demikian, konteks kehidupan sosial yang dikehendaki adalah sesuatu yang baru, yang harus dicapai melalui perubahan-perubahan mendasar dalam konteks yang ada sekarang ini.
(2)
Keadaan kaum muslimin saat ini sudah disepakati bersama bersifat sangat tidak menggembirakan. Baik karena kenyataan fisik akan kemunduran mereka di hampir semua sektor kehidupan, seperti kenyataan bahwa mayoritas mereka berada dalam taraf kehidupan di bawah garis batas kemiskinan mutlak dan masih kemelutnya pergaulan sosial-politik di lingkungan kaum muslimin sendiri di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional (seperti terbukti dari peperangan Irak-Iran saat ini), maupun kenyataan akan besarnya persepsi kemunduran itu sendiri di kalangan kaum muslimin, yang menghasilkan berbagai sikap-jiwa (mental attitude) yang tidak sehat di antara kaum muslimin sendiri. Kesalah-fahaman mendasar berlangsung secara traumatis di antara mereka, sehingga mengakibatkan tidak-mungkinnya dicapai kesepakatan yang cukup berarti dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi masa kini.
Di satu pihak, muncul sikap sangat militan untuk menggambarkan Islam kepada manusia modern dalam bentuknya yang paling ideal. Masa lalu Islam dituangkan dalam bentuk penggambaran yang sekaligus bersifat memuja sebuah ‘zaman keemasan’ yang diproyeksikan kepada zaman kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya serta para ‘ulama salaf’, tetapi juga berwatak narsisistik terhadap apa yang dianggap sebagai ‘penyimpangan’ dari masa setelah itu. Slogan terbaik dari sikap-jiwa seperti ini adalah motto yang dikemukakan Shakib Arselan: Islam tertutup (kebaikannya) oleh kaum muslimin sendiri, al-islam mahjubun bil muslimin. Sikap-jiwa berganda ini, bersifat glorifikasi citra ideal tentang sebuah ‘zaman keemasan’ Islam di satu pihak dan kritik mendasar atas kenyataan sejarah di pihak lain, merupakan kecenderungan yang terasa semakin lama semakin kuat di kalangan kaum muslimin di mana-mana.
Di samping munculnya sikap-jiwa serba-ganda di atas, ada pula kecenderungan yang boleh dikata sama kuatnya untuk menerima Islam secara apa adanya, menghadapkannya kepada serba bagai kenyataan yang harus dihadapi dan diterima di masa kini, dan kemudian membuat perkiraan apa yang akan dihadapi di masa datang. Dari pendekatan faktual seperti itu, diharapkan akan muncul responsi yang sehat dari kaum muslimin terhadap tantangan-tantangan berat yang dihadapinya kini dan di masa depan. Pendekatan faktual ini menekankan landasan pemikirannya kepada dasar-dasar keagamaan Islam yang mampu melakukan adaptasi dan memiliki fleksibilitas besar tanpa kehilangan inti ajarannya sendiri. Proyeksi keadaan yang didasarkan pada kenyataan sejarah ini akan memunculkan pengenalan atas potensi luar biasa yang dimiliki Islam sebagai sebuah agama yang memiliki vitalitas tinggi.
(3)
Kaum muslimin kini berada dalam titik kesejarahan yang menentukan. Sebagai bagian dari Dunia Ketiga yang sedang menuntut hak-hak mereka untuk mengembangkan taraf kehidupan yang layak sebagai manusia, dengan jalan menentang dominasi oleh sekelompok manusia (kelompok, suku, suku bangsa, kawasan regional) atas mayoritas manusia di lingkungan masing-masing, Islam memiliki sejumlah ajaran dan nilai-nilai serta pranata yang diperlukan untuk mencapai tujuan peningkatan taraf kehidupan di atas.
Pertama-tama, Islam menempatkan manusia pada kedudukan kemakhlukan yang sangat tinggi, yang termaktub dari kerangka penciptaannya oleh Allah sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan keadaan (ahsanit taqwim). Walaupun ia memiliki potensi untuk menjadi makhluk paling rendah nilainya, kalau ia menyalah gunakan fitrahnya yang mulia itu, pada dasarnya ia adalah tetap makhluk mulia yang dilengkapi dengan budi, akal, perasaan dan ketrampilan untuk mengembangkan diri seolah-olah tanpa batas. Penempatan manusia pada kedudukan sedemikian tinggi ini dalam kosmologi Islam, pada dasarnya menuntut pula penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan manusia yang sesuai dengan martabatnya: pelestarian hak-hak asasinya secara individual maupun secara kolektif, pelestarian hak mengembangkan pemikiran sendiri tanpa takut terhadap ancaman pengekangan hak mengemukakan pendapat secara terbuka, dan pengokohan hak untuk mengembangkan kepribadian tanpa campur tangan dari orang lain.
Selanjutnya, Islam memberikan hak kepada manusia untuk menjadi ‘pengganti Allah’ (khalifah) di muka bumi, sebuah fungsi kemasyarakatan yang mengharuskan kaum muslimin untuk senantiasa memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang mampu menyejahterakan manusia itu sendiri secara menyeluruh dan tuntas. Dengan demikian kaum muslimin diharus kan untuk menentang pola kehidupan bermasyarakat yang eksploitatif, tidak manusiawi serta tidak berasaskan keadilan dalam artiannya yang mutlak.
Berikutnya, Islam memberikan kemampuan fitri, akli dan persepsi kejiwaan kepada manusia untuk hanya mementingkan masalah-masalah dasar kemanusiaan belaka. Kemampuan ini disalurkan melalui sejumlah pranata keagamaan, seperti teori hukum (legal theory, usul fiqh) dan filsafat pendidikan agama, ke dalam jalur penumbuhan pandangan-dunia yang mementingkan keseimbangan antara hak-hak perorangan dan kebutuhan masyarakat manusia dalam penyelenggaraan hidup kolektif yang berwatak universal.
Keseluruhan deretan ketiga aspek utama dari kaitan Islam dengan pemeluknya di atas membawakan kepada kita beberapa kewajiban yang tidak ringan. Kewajiban untuk senantiasa taat asas (konsisten) dalam berfikir dan mencari pemecahan bagi persoalan-pesoalan yang kita hadapi, kewajiban menjunjung tinggi tujuan utama kehidupan menurut Islam (i.e. mencari kemaslahatan sejauh mungkin, menjauhkan kerusakan/mafsadah sekuat mungkin, dan menerapkan asas kerahmatan dalam kehidupan secara keseluruhan), kewajiban menyediakan sarana yang diperlukan untuk pencapaian tujuan utama kehidupan di atas dan kewajiban memikul tanggung jawab penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat secara tuntas dan jujur, itu semua adalah rangkaian kewajiban yang tidak dapat dilepaskan satu dari yang lain. Hanya dengan pelaksanaan semua kewajiban di atas secara simultan dan dalam kerangka upaya yang bersifat integral barulah dapat dipenuhi keseimbangan penanganan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan di masa kini dan menghadapi hari esok dengan tantangan-tantangan lebih berat lagi.
Dari apa yang diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu jelas bagi kita, bahwa diperlukan orientasi baru di kalangan kaum muslimin untuk membuat responsi sehat bagi keadaan mereka yang sangat menyedihkan saat ini. Orientasi baru itu tentunya harus dilandaskan pada pemahaman Al-Qur’an sebagai sumber inspirasional tertinggi kaum muslimin dalam kerangka berikut:
- kaum muslimin harus meletakkan seluruh tata kehidupan mereka dalam kerangka penegakan hak-hak asasi manusia, pemeliharaan asas kebebasan dalam penyelenggaraan kehidupan itu sendiri, dan pemberian peluang sebesar-besarnya bagi pengembangan kepribadian menurut cara yang dipilih masing-masing;
- keseluruhan pranata keagamaan yang dikembangkan kaum muslimin harus ditujukan kepada penataan kembali kehidupan dalam kerangka yang dikemukakan di atas;
- dengan demikian, Al-Qur’an sebagai sumber pengambilan pendapat formal bagi kaum muslimin harus dikaji dan ditinjau asumsi-asumsi dasarnya berdasarkan kebutuhan di atas, setelah dihadapkan kepada kenyataan kehidupan ummat manusia secara keseluruhan.