“Islam Kiri” Warisan Nasser
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Front Nasional Progresif di Mesir, sebenarnya tulang punggung perlawanan kaum kiri terhadap pemerintahan yang tiap hari tampak semakin teknokratis. Walau dipermukaan kelihatannya Partai Kerja Sosialis di bawah Ibrahim Shukri memiliki pengikut lebih banyak, ia tidak memiliki kohesi mantap seperti front tersebut. Gerakan di bawah pimpinan Khalid Muhyiddin itu jelas unsur-unsurnya – semuanya berasal dari kelompok-kelompok yang ‘jaya’ di masa pemerintahan mendiang Nasser.
Gerakan itu memiliki ideologi sosialistis yang lebih terumus secara konseptual. Bahwa mendiang Presiden Sadat berhasil mengebiri kekuatannya di lembaga perwakilan tingkat Pusat (Majelis Rakyat, Majlis al-Sha’b) antara lain dengan pencabutan hak-hak sipil Muhyiddin sendiri dan sejumlah pimpinan partainya, kenyataan bahwa Sadat sendiri merasa perlu berbuat seperti itu menunjukkan betapa potensial kekuatannya. Seperti kotak-katik atas ‘unsur’ PNI menunjukkan bahwa ia kekuatan dominan dalam PDI.
Sasaran oposisi yang mereka lancarkan membuktikan betapa strategi mereka sebenarnya matang. Mereka menolak persetujuan Camp David. Juga menentang modernisasi angkatan perang melaui bantuan militer Amerika Serikat. Sudah tentu mereka melawan pula gagasan Sadat dahulu untuk mengalirkan air Sungai Nil ke Israel melalui Gurun Sinai, via sebuah terowongan di bawah terusan Suez – lepas dari prestasi luar biasa di bidang teknologi kalau proyek tersebut jadi dilaksanakan.
Tetapi sudah tentu yang paling mereka benci adalah penataan struktur masyarakat yang dipaksakan sadat – yang tampaknya akan tetap dijalankan Husni Mubarak. Dari struktur sosialistis, perekonomian Mesir dicoba ditransformasikan ke dalam sebuah ekonomi campuran – yang memperkenankan penanaman modal asing di sektor-sektor paling strategis: perbankan, industri pembuatan barang dan mesin, pertanian.
Kalau dibandingkan mungkin lebih besar dari perubahan ekonomi terpimpinnya Bung Karno ke ‘ekonomi pembangunan-nya Orde Baru di negeri kita. Karena perekonomian sosialistis Nasser memang lebih tuntas dari watak ‘sosialistis’nya ekonomi terpimpin di masa Bung Karno.
Gerakan Opsir Merdeka
Pembekuan pendapatan tahunan perorangan diatas 1000 poundsterling, di masa Gamal Abdel Nasser, oleh Sadat di hapuskan sama sekali – seperti terbukti dari munculnya kembali kantung-kantung swasta milyuner dalam perdagangan. Politik Autarki Nasser di sektor kebutuhan pokok digantikan oleh impor barang jadi konsumtif secara massif. Peranan unit-unit koperasi (walaupun masih berupa inisiatif dari atas dari pada swakarsa dari bawah) yang begitu dominan di massa Nasser, sekarang hampir selesai digusur oleh kewiraswastaan pemilik modal perorangan.
Masih sulit diperkirakan bagaimana kelanjutan perlawanan front yang dipimpin Khalid Muhyiddin itu – apalagi karena hampir semua pimpinannya turut terjaring oleh penahanan besar-besaran pemerintah, sebelum Sadat sendiri mati ditembak. Apalagi Mubarak orang keras yang tidak semudah Sadat memberikan toleransi kepada kegiatan yang dianggapnya mengganggu ketertiban.
Namun suatu hal telah pasti, bagi para pengamat; Khalid, yang ditahan selama ini, telah berhasil menempatkan diri sebagai alternatif dan saingan kuat mendiang Sadat. Sejarah perjuangannya sebagai sesama anggota asli Gerakan Opsir Merdeka di bawah Nasser, yang menggulingkan monarki di tahun 1952, juga Sekjen Partai Sosialis Arab yang memerintah (jabatan yang juga pernah di pegang Sadat) di masa Nasser, memberikan kedudukan kuat sebagai pemimpin oposisi terkuat masa ‘pasca-Sadat’.
Husni Mubarak sendiri menyadari kenyataan ini – sebagaimana tercermin dalam pernyataannya untuk lebih mementingkan penanganan masalah dalam negeri. Dialog bertahap dengan kaum Nasseris sudah jelas akan dilakukannya. Penciptaan suasana politik lebih beragam daripada dimasa Sadat dapat diharapkan akan dipersiapkannya. Kehidupan politik multi partai dapat diperkirakan akan lebih di galakkannya dari pada di masa Sadat. Sudah tentu itu semua akan membawa pemunculan kembali Khalid Muhyiddin ke gelanggang politik.
Dalam keadaan menunggu, sangat menarik untuk diperkirakan unsur apa sajakah yang akan membentuk gerakan itu. Perkiraan itu dapat dilakukan dengan melihat unsur-unsur front yang didirikan Khalid sebagai ‘aspirasi kaum kiri’ di masa pemerintahan Sadat: Sisa-sisa Nasseris yang masih berideologi nasionalistis pan-Arabis, tokoh-tokoh komunis yang waktu itu masih bebas berkeliaran di luar (dan kini bersama-sama ditahan), dan kelompok ‘agamawan muslim kiri’.
“Sosialisme Islam”
Apakah gerakan identitas kelompok terakhir itu? Komunis besorbankah, yang rajin ke masjid seperti dilakukan Babrak Karmal di Afghanistan bulan-bulan terakhir? Sosialis berjubah dan berkhotbah di masjidkah? Ulama Marxis? Ternyata mereka tidak dapat dikategorisasikan dengan mudah. Mereka terdiri dari bermacam-macam corak dengan pendirian yang tidak sepenuhnya sama. Ada yang mendasarkan pemikiran yang tidak sepenuhnya sama. Ada yang mendasarkan pemikiran ideologis mereka pada analisa Marx, ada pula yang tidak memiliki wawasan perjuangan kelas.
Tetapi, apapun perbedaan pendirian, satu hal menyatukan mereka dalam orientasi tunggal: penafsiran mereka yang langsung atas Islam sebagai sumber penciptaan struktur masyarakat yang lebih adil. Paham kerakyatan (populisme) adalah orientasi struktur mereka – baik bagi yang pernah tergoda oleh Marxisme (bahkan komunisme) maupun yang lugas berpikir keagamaan saja.
Mereka sama-sama mengagumi perjuangan ideologis mendiang Nasser: Mereka melihat adanya orientasi diatas pada masyarkat yang dicoba ciptakan oleh pejuang revolusioner paten itu. Walaupun Nasser menamai ideologinya sebagi Sosialisme Arab, penamaan itu tidak mengganggu kesetiaan mereka kepadanya: ideologi tersebut adalah manifestasi lokal sebuah ideologi lain – yang mereka namai Sosialisme Islam.
Walaupun ada juga yang kemudian meninggalkan sosialisme ‘model Islam’ ini, untuk menyerukan ideologi Islam yang lebih eksklusif melalui organ Al-I’tisam (yang akhirnya diberangus mendiang Sadat, dan tetap ditutup oleh Mubarak) seperti kolumnis produktif Abdullah Samman, secara keseluruhan kelompok ‘Islam kiri’ (Arab: yasari dini) ini masih tetap utuh – walau hampir semuanya disekap dalam tahanan.
Menarik juga untuk mengikuti kegiatan mereka, jika nanti rujuk sosial yang sedang dipersiapkan Mubarak akan memberikan kebebasan kepada mereka meneruskan kegiatan. Akan tetap efektifkah mereka sebagai ‘gerakan kiri’, atau justru hilang orientasi politik tersebut? Kalau tetap, bukankah kelompok ‘Islam kiri’ ini akan mampu menyajikan pandangan keagamaan yang cukup segar dan tidak konvensional di kalangan kaum muslimin Mesir?