Ornop: Benarkah Untul-Untul?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah lokakarya, seorang tokoh terkemuka gerakan nonpemerintah membuat analogi dengan budaya keraton di Jawa. Organisasi nonpemerintah (ornop) yang berkiprah di bawah, untuk meningkatan kualitas hidup masyarakat, punya fungsi yang unik. Yaitu sebagai bulan-bulanan rasa tidak senang aparat pemerintahan di daerah, bahkan di lapangan. Dianggap saingan berat yang dapat mematikan “usaha” pemerintah sendiri. Ini sama dengan kedudukan sejenis mahluk istimewa dalam budaya keraton (Jawa), disebut untul-untul (huruf “t” menurut lidah Bali dan Aceh). Mereka para pengawal bangsawan Jawa.
Karena terpisah sama sekali dari komunikasi dengan rakyat banyak, kecuali melalui laporan petugas keraton sendiri, para bangsawan sering kesepian. Untuk diajak berbincang-bincang dan meramaikan suasana, diangkatlah untul-untul. Dalam bahasa kerennya disebut court jesters, walaupun istilah tersebut tidak hanya terbatas untuk untul-untul. Kalau bangsawan kesal hati, mungkin kalah memperebutkan gundik, berubahlah fungsi untul-untul: tidak lagi menghibur secara aktif, melainkan secara pasif — dengan menyediakan badan sendiri sebagai sasaran pelampiasan. Dengan kata lain harus bersedia ditempeleng sekali-kali.
Sudah tentu bukan nasib ornop untuk dijadikan bulan-bulanan tindak kekerasan para petugas pemerintah di tingkat bawah. Mustahil dijadikan sasaran tempeleng. Bukankah untuk itu masih banyak pencuri dan pencopet, yang dapat dipermak? Apalagi tahanan yang belum tahu sudah ada KUHP di negeri ini, yang diundangkan setelah proses bertele-tele. Namun memang nyata juga keuntul-untulan ornop ini. Dijadikan sasaran kecurigaan. Dikenakan berbagai retriksi, demi stabilitas nasional. Dibuat loyo, dengan berbelit-belitnya prosedur yang harus ditempuh sebelum bisa memulai bekerja. Dan sedikit banyak dicurigai sebagai rongrongan terhadap pola pembangunan Nasional. Ini terasa, walaupun tak terkatakan oleh pejabat pemerintah mana pun.
Karena ada perasaan dicurigai seperti itulah, kebanyakan ornop lalu berkecil hati, sehingga akhirnya menggunakan istilah organisasi nonpemerintah juga terasa berat. Bukankah itu artinya “terpisah dari pemerintah”, apa tidak ada implikasi “menentang pemerintah”, kalau digunakan istilah tersebut? Heran juga, kalau kata bukan (arti harfiah istilah asing “non”) lalu disamakan artinya dengan menentang (terjemahan istilah anti). Orang boleh bersumpah-sumpah menyalahkan sikap takut menggunakan istilah itu. Tapi sikap pemerintah itu sendiri bagaimana?
Masalahnya tidak sederhana, sang ornop bertolak dari rasa wajib berpartisipasi penuh dalam pembangunan. Sudah tentu melalui bidang yang dianggap terkuasai dengan baik. Kesehatan masyarakat, kredit untuk usaha sosial ekonomi, pengalihan teknologi tepat guna ke pedesaan, bantuan hukum, pembinaan industri kerajinan, dan seterusnya. Sudah tentu bertolak dari visi masing-masing, tentang apa yang seharusnya didahulukan dan dikerjakan. Di samping skala prioritas apa yang akan dikerjakan, juga orientasinya, pendekatan kemasyarakatan untuk mempersiapkannya, pengelolaan organisatorisnya, pengawasan dan penilaian atasnya, dan seterusnya.
Nah, dalam masalah visi inilah sering terjadi perbedaan pandangan dengan pejabat pemerintah di daerah, yang bagaimanapun juga tidak boleh menyimpang dari ‘aturan’ berupa Repelita, RAPBN dan RAPBD, sekian Juklak (petunjuk pelaksanaan) dan seribu satu kelengkapan pembagunan sendiri. Belum lagi masih kuatnya budaya etnis (serba negara) kalangan petugas pemerintahan di bawah.
Jadi wajar kalau ada rasa curiga, ketika datang-datang ada orang muncul dengan proyek yang tadinya terpikirkan pun tidak oleh mereka. Walaupun tidak bertentangan dengan GBHN dan Repelita, apalagi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 145. Cukup ‘tidak sama’ dengan yang tertera dalam ‘konsep pembangunan’ di tangan mereka, harus dicurigai. Dan di negeri ini, kecurigaan sudah cukup untuk menggagalkan kerja yang paling mulia sekalipun.
Sepintas, lalu menjadi benar penyamaan antara ornop kita dan untul-untul, itu lembaga tersial dalam budaya kraton Jawa. Yang jadi masalah pokok adalah: tidakkah diperlukan pendekatan lebih jauh? Bukankah masih mungkin dicari penyelesaian segenap keruwetan yang melanda ornop, kalau dibicarakan, secara terbuka, dengan pihak pemerintah di tingkat pusat? Umpamanya saja wewenang lebih besar dan dorongan kepada petugas di daerah untuk “membina” ornop. Katakanlah semacam perlombaan: instansi mana yang paling banyak membina ornop, disamping BKKBN dengan pihak dampingan bernama ‘unit pelaksana’.
Lalu penyederhanaan prosedur memulai kerja.Tidak lagi harus ada semacam persetujuan formal antara “organisasi induk” dan direktorat atau badan pemerintah yang bersangkutan. Itu mungkin salah satu titik strategis untuk membina peran serta (partisipasi) ornop. Apalagi setelah mereka bersaling wajah, tidak lagi menggunakan sebutan LPSM dan LSM (Lembaga Pembina Swadaya Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat). KUD, kalau menurut konsep semula, adalah sebuah LPSM, sedang BUUD melakukan kerja LSM.
Memang sudah wajar kalau aparat pemerintah menaruh kecurigaan, demi kepentingan warga negara. Kalau tidak begitu tidak akan ada pengadilan dan petugas keamanan—kedua-duanya adalah antisipasi terhadap kemungkinan kejahatan. Jadi, di antara sekian juta warga negara pasti ada yang harus dicurigai. Dibuatlah prototipe manusia yang harus dicurigai, dan ilmu-ilmu seperti kriminologi pun berkembang.
Yang menjadi masalah adalah kadar kecurigaan itu. Haruskah semuanya diperlakukan sama? atau justru dalam pola antisipatif saja? Ya, dalam pergaulan dengan ornop, pemerintah pun lebih baik bersikap preventif longgar. Jangan represif. Apalagi kalau sampai menjadi obsesi. Kalau telah begini, memang nasibnya ornop sebagai untul-untul.