Yang Umum dan Yang Khusus
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
SEBAGAIMANA umumnya dosen angkatan lama, Pak Hasan lemah lembut dalam segala hal. Ketika berbicara suaranya tidak begitu keras, nadanya datar. Kalau mengemukakan sesuatu, tidak menggebu-gebu, melainkan teratur dan sistematis. Istilah yang digunakan sudah baku dan dipahami sama oleh para pendengarnya, karena jelas yang dimaksud. Tidak banyak memerlukan ilustrasi deskriptif, apalagi yang bersifat gambaran fisik. Prinsip-prinsip dan kategori-kategori lebih penting dari deskripsinya sendiri.
la terlibat dalam kegiatan “turun ke bawah” yang diselenggarakan perguruan tinggi tempat ia bekerja– sudah tentu dalam kerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Pekerjaannya memperkenalkan teknologi yang sederhana dan lebih sesuai dengan kebutuhan sehari-hari rakyat pedesaan, seperti juga banyak “aktivis pedesaan” yang berkiprah di bawah. Namun, ternyata, ia melakukan sesuatu yang besar sekali artinya bagi kita semua, tidak seperti yang dilakukan teman-teman sesama aktivis.
Yang dilakukannya adalah menyiapkan “lahan kemasyarakatan” bagi teknologi yang ditawarkannya — berupa penumbuhan kesadaran dan kebutuhan akan teknologi tersebut. Itu berarti menciptakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang akan mengembangkan teknologi yang bersangkutan.
“Kami mencoba memperkenalkan bio-mass sebagai bahan bakar pengganti kayu untuk keperluan dapur. Ternyata tidak mudah, karena ibu rumah tangga yang menjadi sasaran kami itu bukan hanya seorang individu. Ia juga anggota keluarga dan, setelah itu, warga masyarakat. Untuk membuat ia menerima bio-mass, keluarga dan masyarakatnya harus dibuat menerimanya. Dan itu berarti kami harus mendorong munculnya sarana kelembagaan tempat memutuskan sikap, menerima atau menolak gagasan yang ditawarkan. Juga mengelola penggunaan teknologi yang dijajakan itu.”
Bekerja sama dengan para pamong desa setempat, melalui izin pemerintah daerah, Pak Hasan dan kawan-kawan berhasil merintis sejumlah proyek penumbuhan kebutuhan dan keinginan tersebut. Sebuah “proyek penawaran teknologi” yang dimulai di sebuah desa dengan segera berhasil melipatgandakan diri menjadi kegiatan yang mencakup dua puluh desa lain dalam waktu cepat. Kiai Madun lain lagi. Ia “menawarkan” pesantren asuhannya kepada masyarakat dengan melakukan sesuatu yang fundamental bagi pesantrennya. Menjadikan lembaga pendidikan yang dikelolanya “pusat pengembangan masyaraka Para santri asuhannya berlatih cara-cara mendorong masyarakat memulai kegiatan ekonomi secara prakooperatif (dengan merek “Usaha Bersama”) dan kemudian, kooperatif. Juga membawa teknologi baru yang sederhana, Memperkenalkan kesadaran bergizi dan KB. Sibuk dengan urusan pelestarian lingkungan. Walhasil, menampilkan pesantren sebagai salah satu “pangkalan” mengubah wajah hidup masyarakat secara total. Menawarkan agama sebagai “pendorong motivasi keagamaan bagi pembangunan”.
Ada pos obat di lingkungan pesantrennya. Ada kara kitri dan apotek hidup untuk masyarakat. Ada latihan keterampilan “yang sudah disempurnakan”. Berbagai kegiatan teknis untuk memperbaiki pola kerja dimulai, baik di bidang pertanian dan kerajinan tangan maupun kesehatan masyarakat.
Sementara itu, Isha adalah seorang intelektual kelas berat. Jidatnya lebar, menerbitkan kesan banyak berpikir. Kalau berbicara senang istilah asing, biar dikira orang pandai. Banyak teori dilontarkannya. Namun, ia jauh lebih baik daripada sejumlah intelektual lain yang senang hanya dengan retorika melamhung dan pikiran ideal tanpa mampu menerjemahkannya ke dalam kegiatan operasional yang berangkai.
Yang menarik adalah komentarnya tentang apa yang dilakukan Pak Hasan dan Kiai Madun tadi. Pak Hasan, katanya, memakai pendekatan tawaran umum dalam pembangunan di pedesaan. Jalurnya adalah kebutuhan umum masyarakat sendiri. Kebutuhan itu disentuh melalui kelembagaan biasa, seperti arisan paguyuban RT/RK, dan sebagainya. Sebaliknya, Kiai Madun. Ia mengajak kepada hal yang sama melalui keunikan, kekhususan pesantren.
Pada pendekatan umum itu ada kelebihan penting, yakni mudahnya replikas atau penggandaan. Sekali gagasan dasarnya diterima baik, seterusnya jalan sudah licin, kata intelektual kota dengan spesialisasi urusan pedesaan itu. Namun, sering terjadi justru penerimaan gagasan dasar itu yang sangat lama berlangsung. Sebaliknya, pendekatan khusus untuk menawarkan pembangunan melalui paham, ideologi, agama, atau lembaga tertentu yang memiliki keunikan sangat cepat diterima, yaitu kalau pimpinannya sudah “tersentuh”.
Tokoh seperti Isha ini ternyata mampu memaparkan jalinan dua pendekata yang komplementer dan sama pentingnya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Banyakkah di antara kita yang memahami keadaan secara terpadu seperti si Isha?