Akademi Betawi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
R. Soeprapto mulai dikenal sebagai gubernur yang memiliki visi unik diantara deretan gubernur dan walikota daerah ibukota kita ini. Visinya sangat sederhana: berpegang pada fungsi pemerintahan sebagai pemerintah daerah. Tidak seperti Ali Sadikin yang sering tidak ambil pusing dengan reaksi atau status pemerintah pusat.
Orang dapat bertanya, tidakkah berbahaya bersikap terlalu menganggap diri hanya “berfungsi kedaerahan” seperti itu—mengingat kekhususan Jakarta sebagai daerah ibukota negara dengan keragaman etnis, budaya, agama, dan politik? Negara yang “agraris tapi maritime”, yang “tradisional tapi dinamis”? Semua itu menghendaki peranan tersendiri bagi DKI Jakarta. Australia yang lebih homogen masih memberikan kekhususan penuh kepada ibukotanya, Canberra, yang didudukkan dalam sebuah daerah administrasi bergelar ACT, Australia Capital Territory.
Yang jelas pendirian “mempersempit jangkauan DKI” itu tercermin juga dalam sikapnya mengenai pengelolaan kehidupan seni di lingkungan Taman Ismail Marzuki tempo hari. Dalam sebuah pertemuan dengan pimpinan harian Dewan Kesenian Jakarta, waktu itu Gubernur Soeprapto mengemukakan pentingnya dalam bidang itu. “Kami hanya menyediakan sarana dan prasarana, tidak lebih dari itu.”
Itu berarti, pembinaan kegiatan seni pada tingkat nasional bukan tanggung jawab masing-masing. Ketoprak urusan Pemda Jawa Tengah dan DIY. Ludruk urusan Pemda Jawa Timur, begitu seterusnya. Atau pemerintah pusat. Pihak DKI hanya menyediakan sarana dan prasarana. Taman Ismail Marzuki boleh dipakai siapa saja, tetapi pembinaannya oleh pemerintah DKI terbatas.
Dimensi nasional kegiatan seni di Taman Ismail Marzuki, mau tidak mau lalu harus dikaitkan dengan “pihak pendamping” lain di luar pemerintah daerah. Direktorat Jenderal Kebudayaan? Sudah tentu. Begitu juga pihak pariwisata dan lembaga-lembaga yang mampu menyerap kegiatan seni. Ini harus selalu diingat, kalau mengikuti jalan pikiran Gubemur.
Apalagi oleh Dewan Kesenian Jakarta: harus jelas pembinaan dan pengelolaan kegiatan seni mana yang harus ditangani DKJ dalam kapasitas pengelola seni kebudayaan daerah, dan mana yang harus dimasukkan dalam kategori pengelolaan kesenian nasional. Dimensi local dan nasional itu membutuhkan penanganan berbeda—dan sudah tentu sponsor yang berlainan.
Inilah kenyataan yang tidak dapat diabaikan DKJ—juga lembaga-lembaga lain yang menangani kehidupan seni di lingkungan TIM, seperti Institut Kesenian Jakarta. Orientasi pendidikan seni lebih “mendaerah” tentu saja memerlukan pemikiran kembali semua jenis kegiatan yang dikerjakan selama ini.
Apakah hanya lenong, topeng Betawi, dan sebangsanya yang boleh diajarkan? Kalau mengikuti pendirian Gubemur Soeprapto memang demikian, kalau menyangkut subsidi Pemerintah DKI. Lain-lainnya harus cari dari sumber lain. Memang mungkin tidak sampai sedrastis itu, tetapi, bagaimanapun memerlukan pemikiran ulang. Pendirian yang demikian jelas landasannya itu datang dari seorang pejabat yang tadinya terbiasa mengelola daerah-daerah dari pusat, sebagai sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri. “Terbiasa” dalam arti selalu harus menerapkan wewenang pemerintah daerah hanya pada daerahnya, karena menyimpang dari itu dapat membuat ia menjadi pejabat yang pilih kasih.
Seorang pengatur lalu lintas antar daerah akan selalu menumbuhkan sikap demikian. Bahwa sikap seperti itu lalu membawa perubahan mendasar dalam penetapan kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam “penyediaan sarana dan prasarana” kegiatan seni di lingkungan TIM adalah soal lain lagi.
Masalahnya adalah bagaimana halnya dengan Akademi Jakarta yang diisi “manusia-manusia bionik” yang sudah tidak kenal batas geografis, paham, dan lain-lain? Apakah mereka juga diharuskan hanya memikirkan kehidupan seni dan budaya di lingkungan DKI? Padahal, mereka sudah terbiasa dengan wawasan universal, dengan jarak jelajah yang tidak lagi antar benua, melainkan antar planet!
Kalau mereka tidak diharuskan menciutkan bidang perhatian, lalu siapa yang harus memikirkan pengembangan kebudayaan asli Jakarta atau kehidupan seni dan budaya (macam-macam) dengan dimensi Jakarta? Akan diserahkan kepada lembaga lain? Kalau memang demikian, mengapa tidak dibentuk juga sebuah Akademi Betawi, diisi para dedengkot, seperti S.M. Ardan, Bokir, Anen dan Zahid? Karena, bagaimanapun sudah terasa keperluan itu. Mungkin namanya yang sulit diterima, gagasannya bisa mudah dicerna.