Regenerasi Kepemimpinan dalam Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tidaklah mudah untuk melakukan pembahasan atas topik regenerasi kepemimpinan dalam Islam. Pertama-tama haruslah ditentukan terlebih dahulu jenis-jenis kepemimpinan yang akan dibahas, karena kepemimpinan dalam Islam menyangkut spektrum pembicaraan sangat luas: kepemimpinan keagamaan, kepemimpinan kenegaraan, kepemimpinan gerakan, kepemimpinan pendidikan (yang menduduki tempat tersendiri dalam sejarah Islam), dan seterusnya. Begitu pula harus ditentukan lingkup waktu kepemimpinan itu berlangsung; di masa kejayaan peradaban Islamkah? Di masa umat Islam dihadapkan kepada cobaan-cobaan terberat dalam sejarahnyakah; atau justru dalam masa tenang di mana Islam tidak mengalami perkembangan dan juga tidak menderita kemunduran.
Di samping itu, karena peradaban Islam meliputi kawasan dunia yang sangat luas, yang berbeda-beda dari satu ke lain tempat dan lain bangsa, harus pula dikenal kekhususan kepemimpinan dari suatu waktu dalam kaitannya dengan tata kemasyarakatan (stratifikasi sosial) di mana kepemimpinan itu sendiri diterapkan. Tanpa pengenalan yang bersifat konkret seperti itu, tidak akan mungkin dilakukan pembahasan mendalam dengan data informatif yang tepat. Kalau dilihat pada karya Reuben Levy yang berjudul The Social Structure of Islam, kelemahannya yang terpokok adalah ketidakmampuannya menggambarkan heterogenitas dan keragaman lembaga-lembaga kemasyarakatan Islam di seluruh dunia.
Karena itu, dalam pembahasan ini perhatian hanya akan ditujukan pada sebuah aspek kecil, tetapi yang sangat menentukan untuk memahami proses regenerasi kepemimpinan yang berlangsung dalam Islam. Aspek itu adalah pengertian Islam akan kepemimpinan itu sendiri dalam sejarah Islam, dan bagaimana pengertian itu sekarang dihadapkan pada perkembangan begitu kompleks yang terjadi di lingkungan kehidupan umat Islam sendiri. Semoga dengan pembatasan lingkungan pembicaraan seperti ini akan lebih terpusatkan perhatian kita pada soal yang paling relevan dalam masalah regenerasi kepemimpinan itu.
Antara Umat dengan Negara
Untuk dapat memahami pengertian Islam akan kepemimpinan itu sendiri, haruslah kita layangkan pandangan pada satuan kemasyarakatan terbesar dalam Islam. Satuan kemasyarakatan itu adalah umah atau komunitas. Umah adalah satuan kemasyarakatan yang mengikat keseluruhan kaum muslimin di mana pun dan pada waktu mana pun mereka berada. Umah adalah perwujudan kehidupan Islam dalam segala kelengkapannya, bentuk yang dicita-citakan akan membawakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia di seluruh dunia.
Pengertian umah yang sedemikian tuntas menyebabkan kesulitan untuk menyamakan kekuasaan dengan hanya sekadar wewenang kenegaraan. Walaupun imam atau pemimpin negara memiliki wewenang sangat luas, sebagaimana dapat dilihat dari sumber-sumber ketatanegaraan seperti al– Ahkam al–Sulthaniyah–nya Imam Mawardi, wewenang itu sendiri tidak ditundukkan ke dalam struktur kekuasaan yang jelas dan terperinci pembagian kekuasaannya antara berbagai lembaga pemerintahan sendiri. Seorang Hakim/Qadli, misalnya, tidak dibatasi wewenangnya dengan penyediaan lembaga appeal (isti’naf) yang dikenal dalam tata negara modern. Pengendalian tata tertib masyarakat (nadhi al–madhalim) memiliki independensi sangat besar dari jangkauan kekuasaan pimpinan negara. Demikian juga pegawai perpajakan (muhasib) tidak diletakkan dalam hierarki kekuasaan sebagai lembaga di bawah kepemimpinan negara (imamah). Perbedaan antara wewenang sempit dari masing-masing lembaga dan wewenang umum dari kepemimpinan negara hampir-hampir tidak dijembatani oleh hierarki yang jelas.
Dengan demikian, tidak heranlah jika dalam Islam kebutuhan akan lembaga perwakilan rakyat menjadi tidak dipentingkan selama ini, dan juga tidak diberikan tempat lagi bagi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang akan melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pemerintahan. Saling kontrol antara kekuasaan umum kenegaraan dari seorang imam dan kekuasaan hakim, penjaga ketertiban dan pejabat perpajakan di lingkungan masing-masing diharapkan akan membawa kepada jalannya pemerintahan yang stabil dan membawa kepada kesejahteraan.
Dalam keadaan seperti itu, sudah tentu masalah regenerasi kepemimpinan tidaklah begitu menjadi persoalan. Wewenang kepemimpinan negara membutuhkan para pemimpin yang tidak penting dari lingkungan mana ia berasal, tidak menjadi perhatian bagaimana ia diangkat, dan bagaimana ia ditundukkan kepada pengawasan dan pengendalian. Kalau ia memenuhi semua persyaratan keimanan yang tujuh (menurut Yahya ibn Adam) atau delapan (menurut Mawardi), jelas ia akan menjadi pemimpin yang cakap dan berhak memegang kendali kepemimpinan. Apakah ia berarti pengokohan sistem kerajaan atau diterapkan atas sistem republik, sistem pemerintahan seperti ini jelas akan membawa kepada kebaikan dan kesejahteraan. Apabila dikaitkan dengan sanksi-sanksi moral seperti yang dirumuskan oleh hadis la tha’at limakhluq fi ma’shiyat al–khaliq (tak ada kepatuhan terhadap sesama makhluk dalam hal maksiat kepada Tuhan) yang membenarkan pengambilan tindakan bersama oleh umah itu sendiri atas diri imam yang menyimpang dan garis agama (yang tidak dapat diartikan pemberontakan, karena pemberontakan dalam pengertian ketatanegaraan Islam hanya menyangkut perlawanan bersenjata secara tidak sah), akan membawa kepada keseimbangan penggunaan kekuasaan untuk tujuan kesejahteraan umah.
Kerangka struktur kekuasaan seperti ini memang sangat idealistis dan sangat bergantung pada kesadaran bersama dalam kadar sangat tinggi antara pihak yang menjalankan pemerintahan dan yang menjadi objek kekuasaan. Padahal, kenyataan sejarah tidaklah demikian halnya. Perintah untuk senantiasa bermusyawarah (waamruhum syura bainahum) dalam kenyataannya hanya dibatasi pada lingkungan-lingkungan kecil belaka, tidak menyangkut partisipasi sebanyak mungkin warga negara dalam memperdebatkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil. Tidak heranlah jika lambat laun berkembang pembagian wewenang antara mereka yang langsung menjalankan pemerintahan dan bertindak atas pertimbangan yang diperoleh dari lingkungan sempit itu, dan mereka yang merumuskan jalannya pemerintahan secara idealistis. Yang pertama adalah pihak eksekutif, dan yang kedua pihak agamawan dan teoretisi di luar pemerintahan. Pertentangan kepentingan: tidak dapat dihindarkan: pihak eksekutif beranggapan pemerintahan harus memperhatikan lebih banyak realita yang ada, sedangkan kepemimpinan agamawan/ulama lebih menekankan pada pentingnya menjaga kemurnian ajaran agama dari penyimpangan.
Dalam keadaan salah satu pihak memberikan tempat cukup luas bagi pihak yang lain untuk turut mengajukan saran-saran, mau tidak mau perbedaan tekanan dan perhatian itu akan menjurus kepada pertentangan. Kasus Shah Iran yang mengabaikan suara para agamawan dalam upaya “modernisasi” merupakan contoh paling baru dari proses seperti ini. Yang terjadi kemudian adalah sebuah regenerasi yang menjungkirbalikkan hidup kemasyarakatan dan kenegaraan secara menyeluruh. Regenerasi horizontal di mana salah satu dari dua kekuatan yang berimbang menyingkirkan pihak yang lain, bukannya regenerasi vertikal antara dua generasi yang berbeda batas umur pengelompokannya (generasi tua digantikan generasi muda, dan sebagainya), adalah wajah utama dari apa yang terjadi di Iran sekarang ini.
Realitas Kepemimpinan yang Majemuk
Keadaannya tidak sebegitu nyata dan jelas dalam hidup kenegaraan yang serba pluralistik seperti di tanah air kita dewasa ini, di mana kaum musliminnya sendiri harus dibedakan antara mereka yang memiliki citra keislaman dan yang tidak. Kekuasaan kenegaraan yang terpusat pada kelompok yang dianggap sebagai tidak memiliki citra keislaman yang jelas, tetapi yang terselip di antara citra-citra lain seperti nasionalisme, sosialisme, teknokratisme, dan seterusnya, memunculkan jenis kepemimpinan umat Islam, yang lebih kurang diletakkan terpisah dari kepemimpinan kaum muslimin yang tidak dianggap mewakili citra keislaman itu. Pemimpin Islam (Islamic leaders) menjadi jembatan yang menghubungkan citra keislaman dan kenyataan hidup kemasyarakatan yang tidak secara formal mengakui citra tersebut sebagai landasan filosofisnya. Lahirlah organisasi-organisasi Islam, dari yang berbentuk partai politik hingga sekolah-sekolah dan pesantren yang secara formal tidak merupakan organisasi politik sama sekali.
Keragaman kepemimpinan dengan demikian lalu terjadi, pembidangan wewenang lalu berlangsung, dan sedikit banyak interaksi intern dalam batang tubuh umah berlangsung antara kesemua kecenderungan yang beraneka ragam itu. Pimpinan politik lalu tidak hanya menjadi satu-satunya tempat bagi kristalisasi aspirasi umah, seperti yang kita dapati pada sistem imamah. Langkanya kepemimpinan tunggal lalu menjadi watak utama gerak kaum muslimin yang memiliki citra formal keagamaan ini. Di samping pimpinan politik kita dapati kepemimpinan ulama, kepemimpinan berbagai gerakan buruh, tani, pemuda dan wanita, kepemimpinan di bidang budaya dan pemikiran, serta kepemimpinan berbagai kegiatan yang murni bersifat keagamaan belaka (tarekat, pesantren, dan seterusnya). Kompetisi antara satu melawan lain jenis kepemimpinan lalu terjadi, tergantung dari sudut mana seseorang melihat kepentingannya sendiri. Bahkan pertentangan pendapat antara kelompok berbeda- beda dari satu jenis kepemimpinan, di bidang politik umpamanya juga meluas.
Dengan demikian, pengertian akan kepemimpinan itu sendiri juga tidak dapat dibatasi pada sebuah pengertian tunggal saja dalam Islam. Proses regenerasinya juga lalu tidak sama dari satu tempat ke tempat lain, dari satu ke lain waktu. Di satu lingkungan, kepemimpinan meliputi kewajiban memajukan demokrasi yang bersifat formal yuridistik, sebagaimana dituntut oleh partai-partai Islam di negeri ini dua puluhan tahun yang lampau. Di lingkungan lain, kepemimpinan berarti pengembangan pola kehidupan yang sudah ada dan berkembang sejak berabad-abad, seperti yang dihayati oleh para ulama dan mubalig. Perbedaan strategi dalam mengembangkan aspirasi keagamaan lalu terjadi dan tidak dapat dihindari.
Regenerasi Yang Terarah
Sudah tentu proses regenerasi kepemimpinan dalam keagamaan begitu besar juga menyangkut perbedaan strategi dasar yang digunakan di masing-masing lingkungan. Regenerasi di kalangan ulama dan agamawan lebih didasarkan pada kemampuan mengembangkan pengetahuan agama Islam itu sendiri, baik melalui pendidikan agama sebaik dan sedalam mungkin kepada turunan yang diharapkan menjadi penerus “pengambilan menantu” orang-orang pandai dan penunjukan mereka yang berbakat dari luar lingkungan keluarga. Kesemua proses pergantian peranan di kalangan ulama ini sekarang jelas tampak di semua lingkungan pendidikan keagamaan kita dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Regenerasi di kalangan organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam, serta organisasi-organisasi politiknya sekali, berlangsung dalam pola lain lagi: sistem pengelompokan kekuatan dalam skala nasional merupakan ciri utamanya. Kepemimpinan akan berada di tangan mereka yang memiliki pengaruh dan pengikut terbanyak dan terkuat di mayoritas cabang-cabang organisasi yang bersangkutan Kongres kongresnasional merupakan wadah percaturan kekuatan itu, dengan risiko seringnya terjadi perpecahan.
Di lingkungan sosial ekonomis, prosesnya terjadi secara lebih sederhana: mereka yang memiliki modal kuat dan bersedia mengeluarkan biaya, akan memegang kepemimpinan. Bahkan, perkembangan ini sering terjadi dengan tidak mengindahkan dari mana dan dengan cara apa modal itu terkumpul, serta untuk tujuan apa ia digunakan. Kepemimpinan yang bersumber pada kekuatan finansial ini sering kali pula melampaui batas-batas sosial politis.
Jelas sekali dari apa yang digambarkan di atas, bahwa pola regenerasi kepemimpinan dalam lingkungan umah yang sudah begitu terpecah-pecah pola hidupnya dan berganda tujuan hidupnya itu sendiri, tidaklah dapat dilakukan dalam sebuah jalur tunggal (one–channel type of regeneration). Masing- masing kelompok dan lingkungan memiliki pola regenerasi (atau bahkan sering terjadi pola penolakan regenerasi) yang bersifat khusus untuk dirinya sendiri. Hasil yang dicapai oleh proses regenerasi di satu lingkungan ke lain lingkungan juga tidak sama.
Kalau sudah demikian, tentu tinggal bagi kita kewajiban (kalau dirasakan demikian) untuk merumuskan sebuah cara yang akan mengikat semua proses yang berlainan di lingkungan yang berbeda-beda itu, agar kesemua proses itu menuju sebuah muara yang sama: peningkatan peranan kaum muslimin dalam hidup kemasyarakatan yang sedemikian kompleks dan plural di masa kini dan masa depan.
Pertama haruslah senantiasa dikembangkan dan diperluas pengertian akan perlunya proses regenerasi itu sendiri bagi pemeliharaan dan peningkatan upaya yang teratur untuk mencapai tujuan yang sudah disepakati bersama di lingkungan masing-masing. Regenerasi haruslah diusahakan agar menjadi kebutuhan sehingga mau tidak mau kepemimpinan yang ada pun perlulah menerima kenyataan akan perlunya regenerasi kepemimpinan itu sendiri.
Kedua, sebuah kriteria umum haruslah dirumuskan, dan kemudian dipropagandakan ke semua lingkungan. Kriteria seperti kecakapan, keahlian atau keterampilan, yang semuanya dimasukkan dalam kategori kebolehan (merit system) adalah satu-satunya kriteria yang berlaku untuk semua lingkungan. Ini berarti penjabaran kriteria itu sendiri di tiap lingkungan dalam definisi dan kejelasan wilayah kerja (job description) yang tidak menimbulkan kebingungan.
Ketiga, penyusunan kerangka harus dibuat untuk memungkinkan pemberian latihan memimpin kepada tenaga-tenaga potensial yang berada di lingkungan masing-masing, termasuk latihan berbentuk magang untuk mengembangkan proses regenerasi tidak serba konfrontatif terhadap kepemimpinan yang ada dan jauh dari suasana konflik tak terkendali (uncontrolable conflict). Taraf latihan ini sangat sulit dibuatkan kerangkanya, tetapi kaum muslimin tidak mempunyai pilihan lain kecuali untuk berbuat demikian, juga mereka masih ingin melihat Islam menjadi salah satu sumber penggerak hidup kemasyarakatan yang serba kompleks dewasa ini.
Keempat, perumusan sebuah pandangan umum atau citra keagamaan universal yang disepakati baik oleh semua lingkungan kaum muslimin yang berbeda-beda (sosio-ekonomis, sosio-politis dan sosio-kultural) maupun oleh masyarakat manusia secara umum. Citra pemberian perhatian kepada nasib mereka yang lemah, malang dan menderita serta peningkatan taraf hidup mereka melalui pendekatan struktural yang benar, adalah salah satu contoh dari pandangan umum seperti ini. Pandangan umum ini akan mengisi kekosongan perhatian kaum muslimin di bidang selain masalah hukum agama (al–tayyarat al–fiqhiyyah fil hayat) dan kesibukan ritual dalam bertasawuf. Hubungan Islam dengan strategi pembangunan yang tepat, dengan Hak-Hak Asasi Manusia dan masalah-masalah sejenis, serta dengan upaya mencapai keseimbangan antara kebutuhan pokok manusia dan wewenang kenegaraan, haruslah menjadi bahan pemikiran kaum muslimin dalam skala cukup besar untuk mendorong terjadinya proses regenerasi itu sendiri secara lebih cepat.