Memahami Kaum Muda
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
PADA Kongres IPNU yang ke-3 tahun 1958 di Cirebon, saya pernah menjadi utusan dari Cabang Madiun. Sederhana saja alasannya, karena ketika itu Cabang Madiun memang tidak ada yang mewakili. Di mana hadir pula KH. Ilyas Ruchiyat utusan IPNU Wilayah Jawa Barat. Dan yang unik. saya kira sejak dulu sampai sekarang, satu-satunya anggota IPNU yang hadir dalam kongres dengan memakai sarung, busana khas santri, baru beliau itu. Kemudian saya juga teringat hari-hari di mana saya menjadi khadam dari kakak dan paman saya di PP IPNU. Ketika di Yogya dulu, biasanya saya yang mendapat tugas untuk mengeluarkan teh dan kopi.
Alhamdulillah, sekarang IPNU-nya masih tetap seperti dulu, dalam artian tetap berada pada kondisi yang baik dan dalam suasana yang penuh keikhlasan. Terlepas bahwa zaman telah merubah banyak hal, akan tetapi etos dari IPNU tetap seperti dulu, bahkan terlihat ada sedikit peningkatan.
Dalam hal ini saya juga ingin menyatakan bahwa “tugas” yang diberikan pada saya kali ini adalah memberikan pengarahan dan deskripsi ilmiah merupakan “tugas” yang paling sulit dijalankan. Karena pengarahan biasanya tidak ilmiah, dan sesuatu yang ilmiah itu sulit untuk mengarahkan. Karena pengarahan sifatnya adalah ajakan, anjuran, bahkan kalau perlu merupakan hentakan. Sedangkan sesuatu yang ilmiah isinya adalah membuka pintu untuk berpikir bahkan kalau perlu berbeda pendapat. Jadi, ini adalah dua hal yang sulit dipertalikan. Untunglah beberapa waktu yang lalu saya sudah sedikit turut mempersiapkan bersama sutradara terkenal dari Australia, George S. Levi. Sebuah rencana tayangan video yang menggambarkan tentang pandangan-pandangan keagamaan dari Pak Harto (Presiden RI), dalam arti beliau sebagai orang yang menganut kepercayaan juga sebagai seorang muslim yang baik. Tentu hal ini menarik bagi orang luar, bagaimana bangsa kita bisa mempertemukan atau mempertautkan kedua hal ini dari sudut seni dan budaya. Saya merasa bangga dikonsultasikan oleh sutradara tersebut, di mana beberapa waktu cebelumnya pun saya bersama dua orang muslim Indonesia lainnya seperti Emha Ainun Nadjib dan Fachri Amrullah (putra alm. Buya Hamka) diminta untuk berbicara tentang Islam dan Demokrasi. Ternyata tayangan tadi mendapat review dan sambutan yang baik dari koran-koran dan media massa serta dari orang-orang yang menyaksikan acara tersebut. Belakangan ini, sutradara Australia tersebut sedang melakukan sesuatu hal yang baru, yang menurut saya mempunyai arti besar dari sudut seni dan budaya.
Jadi untuk menggabungkan dua hal yakni pengarahan dan deskripsi ilmiah, maka saya ingin mencoba mengambil titik tolak atau pangkal berpikir bahwa IPNU adalah organisasi bagi kalangan anak muda dan seharusnya malah remaja. Jika di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) semakin banyak pengurusnya dari kalangan sarjana saya semakin senang, maka mendengar pengurus PP IPNU banyak dari kalangan sarjana, saya justru semakin kecut. Karena semakin jauh dari lingkungan remaja.
Sensitifitas Kaum Muda
Jadi dengan bertitik tolak seperti itu, saya ingin menunjuk kepada sebuah kenyataan bahwa masa remaja atau golongan kaum muda adalah usia yang —katakanlah— usia kritis. Dikatakan kritis karena pada saat yang bersamaan mereka mengalami pergeseran yang timbul dari dua gejala yang berlawanan dari dalam diri mereka. Di satu pihak sebagai remaja yang baru berpindah dari masa kanak-kanak, maka mereka masih dilekati oleh sifat haru oleh emosi berlebih yang ada pada dunia anak-anak. Mereka masih mengalami sensitifitas pikiran dan hati dalam ukuran atau dosis yang besar.
Karena itu mereka mudah terharu dengan keadaan yang tidak selayaknya terjadi. Adanya kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, kebodohan merupakan sesuatu yang menggelisahkan mereka. Mungkin bagi kalangan yang sudah tua hal itu diterima sebagai sesuatu hal yang alami. Tetapi bagi kaum muda, sesuatu yang tidak baik itu merupakan hal yang menunjukkan kemunduran yang diterima sebagai kerugian, diterima sebagai hal yang harus dirubah atau ditolak. Inilah sensitifitas atau keharuan rasa yang sangat tinggi, yang menghinggapi kaum muda.
Pada saat yang sama, kaum muda itu juga mulai dilengkapi dengan cara berpikir analitis. Analisa merupakan pisau pembedah mereka, yang menjadi modal untuk memperoleh sesuatu, atau katakanlah peralatan baru yang mengasyikkan mereka untuk digunakan. Bagi generasi tua, analisa seringkali disadari sebagai hal yang tidak membawa pemecahan secara memuaskan. Sebaliknya, bagi kaum muda, analisa adalah sesuatu yang membawakan impian-impian, harapan-harapan dan janji masa depan yang baik. Melalui analisa dengan pisau pembedahnya yang tajam, kaum muda menginginkan datangnya masa yang cerah, masa yang segera mereka masuki setelah menyelesaikan pendidikan. Karena itulah kaum muda lalu menjadi mahluk-mahluk yang sangat mudah menggunakan pisau analisa untuk mencari kejelasan dan mencari jawaban-jawaban pasti. Jawaban yang tidak bisa dibantah. Dari analisalah mereka mengharapkan kemuutlakan-kemutlakan, mengharapkan hal-hal yang membawa perbaikan dalam hidup bersama. Dari analisa pula mereka melihat adanya kelemahan-kelemahan dalam kehidupan. Jadi, gabungan antara kemampuan memahami keadaan dengan melihat kepada kelemahan-kelemahan yang terjadi di satu pihak dan sensitifitas yang timbul dari keharuan rasa melihat keadaan yang tidak mengenakkan dalam kehidupan, membuat remaja selalu berada pada keadaan resah, selalu berada pada keadaan yang mutlak tidak bisa tenang.
Dan ini yang membuat kaum muda lalu pada akhirnya seringkali bertindak atau melakukan hal-hal yang dinilai oleh kaum tua sebagai pemberontakan, sebagai pembangkangan, sebagai penolakan, sebagai penentangan terhadap segala sesuatu yang telah mapan. Kaum muda merasa dipaksa bahwa kebenaran itu hanya terletak pada segala sesuatu yang disepakati kaum tua.
Di sinilah kaum muda mengalami sebuah panggilan suci untuk merubah keadaan dengan cara mereka sendiri. Dan dari sinilah seringkali terjadi konflik-konflik dengan generasi yang lebih tua. Kalau kita telah memahami anatomi dari kepribadian kaum muda, sebagaimana yang disebutkan di ataş, maka dengan sendirinya kita lalu dapat memahami mengapa justru di kalangan mudalah bisa terjadi berbagai macam demonstrasi, terjadi tuntutan-tuntutan, terjadi berbagai macam pemboikotan-pemboikotan dan lain sebagainya. Dari kalangan mudalah muncul statement atau pernyataan yang menggebu-gebu, penuh dengan cita-cita mulia, tetapi disertai oleh semangat yang membara. Kalau tidak karena dinamika kaum muda, tentunya tidak banyak lahir pemimpin-pemimpin dunia yang mampu menggerakkan bangsa-bangsa mereka. Apakah itu Jawaharlal Nehru, Garnal Abdul Naser, Saddam Husein, Soekarno dan lain sebagainya.
Saddam Husein misalnya. pada usia 19 tahun sudah melakukan upaya penggulingan terhadap kekuasaan di Irak. Ketika itu Saddam Husein sempat tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Lalu, karena tertolong dapat melarikan diri dari tahanan, Saddam Husein terselamatkan. Pada usia 30 tahun, Saddam Husein kembali ke Irak, untuk kemudian berhasil melakukan upaya penggulingan sekali lagi. Di dalam semangat orang semacam ini celah tumbuh rasa keberanian untuk merubah keadaan. Usia 19 tahun bagi seorang Saddam Husein, tentunya sama dengan usia 19 tahun kaum muda pada umumnya, masih penuh gelora dan panasnya darah. Karena itu kita bisa melihat para pejuang-pejuang yang handal biasanya melakukan perjuangan mereka pada usia muda, dan sudah berhenti pada usia 30 tahun. Menurut saya hanya ada beberapa orang saja yang masih menganjurkan untuk melakukan sikap-sikap yang revolusioner sepanjang hidup. Di antaranya adalah Mao Tse Tung yang sampai usia 75 tahun masih menganjurkan revolusi.
Berangkat dari kenyataan-kenyataan ini, saya ingin meminta perhatian dari kaum muda, terkhusus IPNU, kepada keharusan untuk dapat menyalurkan gelora keharuan, gejolak dan rasa serta pikiran itu dalam format yang baik. Melalui saluran-saluran yang konstruktif dan terutama dengan menggunakan akal yang sehat. Sebab kalau itu tidak kita lakukan, maka alur-alur pikiran yang kalut karena kentalnya dan kuatnya emosi yang kita miliki akan membuat analisa kita tumpul. Dan akan membuat perjuangan kita mandul, nyaris tanpa hasil apapun.
Inilah apa yang oleh Lenin –seorang teoritikus revolusi–, dikatakan sebagai bahaya besar dalam gerakan revolusi. Lenin menyebutnya dengan istilah infantile leftism, heroisme kekanak-kanakan atau seringkali disebut sebagai kiri kekanak-Kanakan. Suatu sikap remaja yang selalu ingin menjadi pahlawan, selalu di muka, selalu melakukan perubahan langsung seketika.
Kini tampak nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa mereka yang sok jago, sok heroik, yang sangat tinggi rasa kepahlawanannya, yang mengambil tindakan-tindakan langsung pada akhirnya terperosok kepada hasil yang tidak memuaskan. Mengapa demikian? Karena heroisme tidak dapat dengan sendirinya menghasilkan perubahan-perubahan. Dengan begitu yang terlihat justru orang-orang yang putus asa, yang tidak menyukai kenyataan. Mereka lari dari apa yang ada di hadapan kita dan masuk ke dalam dunia angan-angan yang tidak dapat diwujadkan.
Dunia angan-angan itu dianggap sebagai idealisme. Padahal itu adalah sekadar pelarian saja. Ini penting untuk disadari oleh IPNU. Karena kita seringkali —terutama di kalangan generasi muda Islam— mengharapkan bahwa dengan sikap-sikap yang langsung, yang lantang, yang sok jago, akan dapat mencapai cita-cita izzul Islam wal muslimin, kejayaan bagi Islam dan kejayaan bagi kaum Muslimin. Tetapi menurut saya, yang terjadi adalah sebaliknya. Tindakan yang mereka lakukan seringkali hanya merugikan Islam belaka. Seringkali hanya mendiskreditkan nama Islam dalam jangka panjang, karena Islam lalu menjadi momok bagi orang Iain yang belum mengerti agama samawi yang terakhir ini.
Karenanya saya berharap kaum muda mampu mengembangkan unsur-unsur kepribadian secara berimbang, dalam hal ini saya rinci ke dalam 4 (empat) unsur terpenting untuk mengembangkan kepribadian.
Keyakinan akan Kebenaran
Keyakinan terhadap sesuatu yang benar merupakan awal dari menentukan sikap selanjutnya. Dalam konteks ini, kaum muda dituntut peka dalam menangkap realitas sosial yang berkembang. Bahwa ada yang benar yang harus dibela, bahkan kalau perlu dengan menyerahkan jiwa dan raga sekalipun untuk menegakkan nya. Kebenaran yang timbul sebagai keyakinan inilah yang menempa jiwa manusia. Memberikan kepadanya keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan nyata guna mewujudkan apa yang dianggap baik itu. Keyakinan akan kebenaran inilah yang merupakan pendorong kita dalam bentuk ideologi maupun sebagai keyakinan agama.
Keyakinan ideologis adalah keyakinan yang murni rasional. Sedangkan keyakinan agama walaupun memiliki sisi-sisi yang rasional, yang serba akal, akan tetapi juga memiliki dimensi atau gatra-gatra kerohaniannya sendiri.
Sikap menghitung Segala Kemungkinan
Pengembangan sikap untuk selalu memperhitungkan segala sesuatu adalah unsur kedua yang patut dilakukan. Pertimbangan-pertimbangan atas segala sesuatu yang mungkin timbul sebagai dampak dari apa yang dilakukan, seharusnya menjadi semacam warning di dalam melakukan aktifitas apapun.
Dalam kata lain kita harus mampu menempatkan kedudukan akal sebagai rasio yang menentukan hidup manusia Ini memakai perhitungan atau tidak. Bagi mereka yang menggunakan perhitungan secara wajar dan nyata akan memperoleh kemenangan. Karena sikap-sikap dan langkah-langkahnya akan sesuai dengan kondisi obyektif persoalan yang dihadapi umat manusia dalam kehidupan, Dari sikap memperhitungkan segala sesuatunya inilah akan muncul ilmu pengetahuan dan teknologi dalam ukurannya yang sangat luas. Barangkali inilah yang dalam firman Allah SWT, Al Qur’an surat Ar-Rahman ayat 33, dianggap sebagai sulthon.
“Wahai golongan manusia dan jin, jika kalian ingin menjelajahi jagat ini. Maka lakukanlah penjelajahan itu. Tetapi kalian tidak akan mampu melakukan hal itu, kecuali dengan pemberian kekuatan dari Allah SWT semata.”
Inilah yang pernah dinyatakan oleh Rais Aam PBNU, alm. K H. Wahab Hasbullah, sebagai kekuatan yang memiliki 3 segi. Yakni, segi rohani, segi akal dan segi adat istiadat. Kalau tadi dikatakan Wala Tanfudzu, kalian tidak akan bisa melakukan, menurut KH. Wahab Hasbullah bukanlah karena hal itu tidak masuk akal. Akan tetapi justru mendorong kita untuk menggunakan akal sebagai motor untuk menemukan hal yang sulit dljangkau dengan adat maupun dengan sekadar kerohanian belaka. Jadi hal ini sesungguhnya merupakan penguraian lebih jauh terhadap unsur utama mengenai rasio, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kehalusan Budi dan Rasa
Unsur kehalusan budi dan rasa ini menjadi semacam penentu, apakah dengan keyakinan yang benar dan kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut kita mampu mensejahterakan kehidupan atau justru sebaliknya?
Kalau kita hanya terlalu banyak memberikan perhatian kepada dimensi keyakinan akan kebenaran, maka kehidupan kita akan menjadi kering. Kehidupan kita akan menjadi sangat ideologis. Kehidupan kita akan menjadi sangat formal, sangat dilingkupi oleh aturan-aturan. Yang pada akhirnya justru aturan-aturan itulah yang akan menjerat manusia dalam pola kehidupan yang akan menghadapkan satu dengan yang lainnya. Apabila manusia terlalu banyak memberikan tempat kepada rasio, kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kepada sikap memperhitungkan segala sesuatu an sich, maka dengan sendirinya manusia juga akan mengalami kekeringan batin. Manusia akan mengalami kegalauan perasaan. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi pada analisa terakhir tidak akan mampu memecahkan segala macam masalah yang ada. Bahkan mungkin ia menjadi tambahan masalah yang baru. Setiap kali kita memperoleh penemuan-penemuan ilmiah yang baru, senantiasa segala sesuatu ada dampak negatifnya bagi kehidupan manusia.
Penemuan plastik, yang semula sangat meggembirakan, karena mampu menjadi fungsi yang lebih efektif, ringan dan murah. Ternyata ujung-ujungnya menjadi malapetaka, yakni dengan tersumbatnya saluran-saluran air, dengan datangnya banjir di kota-kota besar. Serta terjadi pula pencekikkan udara pada tanah-tanah hunian. Tanah yang ditempati manusia untuk hidup, mengalami pencekikkan yang dahsyat oleh plastik. Padahal plastik itu merupakan penemuan yang sederhana saja, tetapi mempunyai implikasi yang sangat luas.
Oleh karena itu jika kita hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan berbangga-bangga dengan plastik dan sebagainya, maka kita akan kehilangan dimensi yang paling berharga, yakni adanya pengertian dalam keseimbangan hidup. Jadi jika kita hanya mengandalkan salah satu dari dua unsur tersebut maka hidup kita akan timpang. Oleh sebab itu diperlukan adanya kehalusan budi dan rasa. Adanya kemampuan memiliki apresiasi yang benar terhadap kehidupan. Bahkan terkadang apresiasi itu bertentangan dengan rasio. Juga terkadang bertentangan dengan ideologi atau keyakinan rohani dalam bentuk agama dan sebagainya.
Saya dapat ambil contoh atas apa yang pernah di lakukan oleh salah seorang Rois Syuriah PBNU masa khidmat sekarang, yaitu KH. Mustofa Bisri. Ketika beliau memberikan nama pada musholla di belakang rumahnya yang diberi nama pasujudan. Semua orang ribut dan protes, Gus Mus dianggap terlalu kejawen dan abangan. Padahal Gus Mus dengan rasa halus itu ingin mencari makna kata laın yang Iebih halus dari kata musholla. Musholla tempat orang melakukan sholat sedangkan pasujudan tempat melakukan sujud. Gus Mus mengambil apa yang dalam sholat ıtu membedakan dengan ibadah-ibadah lain dalam ajaran islam yaitu sujud kepada Allah SWT. Sujud dengan meletakkan muka di lantai dengan menelungkupkan badan, merasakan diri sebagai makhluk yang paling hina di hadapan kekuasaan Allah SWT. Mereka yang protes tersebut sesungguhnya di latarbelakangi oleh minimnya rasa halus. Mereka hanya berpegang pada aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan. Di sinilah pentingnya kita memiliki rasa halus, karena jika tidak, maka terjadilah kesalahpahaman.
Ketika pada tahun 1985 saya merasakan rasa kehalusan, getaran sangat dalam yang luar biasa rasanya. Yaitu saat Muslimat mengadakan Rapat Kerja Nasional di Tegal. Pada pembukaan Rakernas tersebut ditampilkan pagelaran paduan suara ibu-ibu Muslimat dengan seragam mereka yang hijau muda demikian asrinya. Saya kira mereka akan ber-shalawat Badr seperti yang biasa dilakukan. Ternyata yang muncul adalah lagu ilir-ilir, sebuah tembang Jawa yang biasa dinyanyikan anak-anak. Ketika itu sentuhan kehalusan timbul. Apa yang dilakukan ibu-ibu Muslimat itu adalah di luar kebıasaan orang NU. Hal itu merupakan sesuatu yang memberikan kesejukan luar biasa. Dan hal tersebut tampak pada ibu Menteri UPW dan Gubernur Jawa Tengah, betapa mereka mengalami kejutan yang amat menyenangkan. Dari sini maka seringkali kita mendapati bahwa hal-hal yang halus merupakan sesuatu yang esensial dari kehidupan kita. Jadi sesungguhnya kehidupan kita ini tidak hanya diisi oleh hal-al yang pasti yang datangnya dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kehidupan kita juga tidak hanya diarahkan oleh kepastian kebenaran yang sifatnya ideologis, kebenaran yang sifatnya teologis, kebenaran yang sifatnya formal. Tetapi kita Juga memerlukan ketidakpastian, kita juga memerlukan kebimbangan, kebalauan rasa dan rasa sendu.
Seringkali saya kemukakan kisah dari Ghozwah Muttah yang ada dalam Sohih Bukhori juz 4, yaitu dalam kitabul Ghozwat. Ketika Sayyidina Abdullah ibnu Rowahah pada usia 16 tahun diperintah oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pemimpm pengganti pasukan Islam yang dikirim ke Utara.
Pada waktu itu Nabi Muhammad SAW memperoleh pemberitahuan dari para pengintai bahwa Kaisar Bizantium dan Contantinopel, Romawi, di bawah kepemimpinan kaisar Heraclius –dalam bahasa Bukhori disebutkan hiroqla malikul rum— dan kaisar Bizantium atau raja Heraclius ini memimpin 30.000 pasukan tentara perang yang kuat dengan dilengkapi pasukan gajah sekaligus. Maka Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk mengirim 3000 orang pasukan.
Dengan demikian praktis hanya sepersepuluh dari tentara lawan. Pasukan ini terdiri dari sekelompok anak muda yang tidak semuanya memiliki kuda dan persenjataan yang cukup. Pasukan ini dikirim sesungguhnya untuk mencegah pasukan Heraclius agar tidak masuk Madinah untuk menghancurkan umat Islam yang penduduknya waktu itu hanya 15.000 orang. Komunitas ini adalah komunitas Islam yang pertama kali hidup pada masa puncak kejayaan Nabi Muhammad SAW, Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa pada awalnya Nabi Muhammad SAW mengangkat sahabat Sayyidina Jakfar bin Abi Thalib r.a. sebagai pemimpin. Jika ternyata Sayyidina Jakfar terbunuh dalam peperangan maka disiapkan penggantinya yakni sahabat Sayyidina Usamah bin Zaid. Dan kalaupun ternyata Sayyidina Usamah bin Zaid terbunuh pula maka disiapkan penggantinya yang lain yakni Sayyidina Abdullah Ibnu Rowahah Yang baru berusia 16 tahun. Sebagai orang yang belum berkeluarga,beliau harus menghadapi maut.
Kita bisa bayangkan seorang remaja berusia 16 tahun menghadapi kematian karena tidak terelakkan untuk menghadapi panglima-panglima Bizantium yang terkenal handalnya dalam peperangan, tertutama perang tanding. Karena itu muncul kepedihan luar biasa. Tetapi karena kehalusan rasanya kepedihan itu mengalami saluran pembebasanya yang sangat baik. Dalam kitab tadi ditampilkan dua potong bait yang penuh bersahaja. Bait tersebut berbunyi;
”Wallahi lau Lallahimaa tahadaina, wala tashoddaqna wala shollaina. Wa anzilan sakiinatan ‘alaina, wa tsabbitil aqdaami inlaqoina.”
“Ya Allah, Ya Tuhanku, kalau tidak karena Engkau, kami tidak akan pernah bershodaqoh, kami juga tidak akan pernah bersholat. Karenanya ya Allah turunkan kepada kami ketabahan dan kemantapan hati. Dan tegakkan serta kokohkan kaki-kaki kami ketika berhadapan dengan musuh–musuh kami.”
Hal tersebut merupakan suatu yang luar biasa sebagai perubahan sikap, sebagai transformasi pikiran bagi orang yang tadinya merasakan kebalauan yang penuh ketakutan dan kebimbangan. Dengan semangat yang dipompa melalui dua bait tadi mereka ahirnya merasakan betapa hidup ini mempunyai arti yang benar dan baik hanya jika karena pemberian Allah SWT semata. Karenanya segala sesuatu itu harus kita kembalikan pada Allah SWT. Ini adalah proses kejiwaan yang begitu dahsyat. Saya pun mendapatkan hal itu di dalam sebuah novel dalam bahasa Perancis dengan judul Gerbang yang Tertutup. Dalam novel tersebut diceritakan seorang gadis yang bernama Allisa Yang mencintai sepupunya yang bernama Sherom. Kebalaun seorang gadis Allisa terombang-ambing Oleh rasa cinta, rasa takut, rasa bimbang, Yang akhirnya justru menghaluskan perasaannya. Membawa diri kepada kesadaran bahwa dibalik semua yang mengacaukan, membingungkan dan membalaukan itu, tampak sesuatu yang abadi yaitu Tuhan.
Karena itulah hanya orang-orang yang mendapati kebesaran Tuhan dalam konteks ini, maka bagi merekalah jalan untuk membuka gerbang yang tertutup itu menjadi sangat luas. Demikian besar pengaruh ketokohan dari sosok Allisa dalam diri saya, sehingga putri saya yang pertama diberi nama Allisa. Dari sini kita dapat memahami seni dan budaya berfungsi agar hidup kita tidak terlalu serba pasti dan tidak serba benar
Dalam kehidupan ada tempat untuk kebimbangan, ketidakpastian dan kalau perlu ketidakbenaran. Berikan tempat kepada ketidak benaran minimal untuk sementara waktu saja. Dengan memahami ketidakbenaran, ketidakpastian, kebimbangan, maka kita akan memperoleh keindahan dari hidup ini. Kita hanya akan dapat merasakan yang Agung dan Besar. Kalau kita bisa membandingkannya dengan yang membimbangkan. Dalam sejarah Inggris mencatat perjuangan seorang Winston Churchill, ketika masih menjadi Perdana Menteri Inggris. la melihat demikian besar rakyat Inggris yang mengalami keporak-porandaan karena pemboman oleh angkatan udara Jerman pada masa kekuasaan Hittler. Angkatan udara Jerman mengirimkan 9000 pesawat tempur untuk menghancurkan London dan sekitarnya. Mereka melakukan serangan serta melumpuhkan seluruh kekeuatan perang Inggris dalam tahun 1940. Ketika itu Winston Churchill merasakan kebalauan dan kebimbangan, apakah Inggris mampu mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa dan negara. Winston Churchill mengalami gangguan besar pada kejiwaan untuk beberapa saat, tetapi ternyata kemudian Royal Air Force atau angkatan udara kerajaan Inggris yang jumlahnya hanya 300 pesawat tempur yang dipimpin oleh Douglas Becker mampu menghadapi pesawat tempur Jerman. Dan Douglas sendiri sempat menghancurkan puluhan pesawat tempur. Maka dari ketidakpastian berubah menjadi kepastian, berubah menjadi kemenangan, dan timbullah keharuan yang besar. Kehalusan perasaan yang mendorongnya untuk merasakan kedahsyatan perpindahan dari rasa bimbang yang mencekam, menuju rasa pasti. Dan itu muncul dalam ucapan Winston Churchill yang terkenal:
“Never in the view of human conflict, so much out by so many, so few.
“Belum pernah terjadi dalam tataran konflik antar manusia begitu banyak di hutangi oleh begitu banyak orang kepada begitu sedikit orang.”
Dari sini pulalah pada akhirnya Winston Churchill mendapatkan hadiah nobel yang justru dari kategori nobel sastra. Padahal dia adalah seorang politikus “yang semestinya mendapatkan nobel perdamaian. Karenanya untuk memahami kehidupan secara lebih baik, kita harus memiliki unsur utama dalam kepribadian yaitu kehalusan budi dan rasa yang menimbulkan seni dan budaya, hingga menjadi siklus yang sangat indah. Hal tersebut juga di sadari dalam ajaran Islam yakni dalam Hadits yang artinya:
“Sesungguhnya Allah itu maha indah dan Allah menyenangi keindahan “.
Dari sini menunjukkan bahwa betapa tinggi arti seni dan budaya, arti kehalusan budi dan rasa dihargai oleh Islam. Karenanya kepada generasi muda Islam diharapkan untuk tidak melupakan pada dimensi seni dan budaya. Karena dengan seni dan budaya yang baik kita akan mampu memperoleh sesuatu yang indah, sesuatu yang melengkapi kehidupan kita guna mengarahkan unsur-unsur Iain.
Solidaritas Sosial
Solidaritas sosial atau juga solidaritas sesama nasib manusia pada akhirnya nanti akan membentuk masyarakat-masyarakat dan akan membentuk bangunan-bangunan sosial yang tangguh, yang menghidupi umat manusia. Karenanya kita melihat bahwa solidaritas Ini akan memberikan geraknya sendiri kepada seni dan budaya. Demikian pula dengan ilmu pengetahuan, akan membentuk seni dan budaya. Sekarang ini kita sudah sulit sekali mengikuti tembang lama yang terlalu lamban, karena hidup kita sudah didera oleh teknologi televisi. Teknologi ini merupakan percepatan dari apresiasi kita tehadap kehidupan. Karena melalui teknologi ini kita sudah dikotak-kotak dalam waktu yang serba pas. Akan tetapi teknologi ini juga membentuk sesuatu yang Iain, yakni melakukan percepatan pada bagaimana kita memahami kehidupan. Karenanya kalau saja kita tldak mampu melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dimensi seni dan budaya, maka kita akan menjadi masyarakat yang tertinggal. Kita akan mengalami kesenjangan budaya (Culture lag). Jadi sesungguhnya kita harus meramu seni dan budaya di satu pihak dengan unsur solidaritas sosial serta unsur ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula seni dan budaya harus di bentuk dan saling mempengaruhi dengan keyakinan akan kebenaran.
Ketika Pablo Picasso seorang pelukis terkenal membuat lukisan yang berantakan di mana menggambarkaan cerita tentang korban-korban perang, yakni dalam perang saudara Spanyol pada tahun 1937. Dalam lukisan tersebut digambarkan suasana yang berantakan yakni berupa potongan-potongan manusia. Ketika itu banyak yang mempertanyakan tentang arti dari lukisan Pablo Picasso. Akan tetapi ketika kebenaran perjuangan bersenjata rakyat melawan rezim fasis di Spanyol yakni kaum Republican melawan kaum militer, Maka dibalik keindahan tersendiri yang dibuat rumusan barunya oleh seorang Pablo Picasso, dengan gambar-gambar potongan-potongan kepala dan badan yang tidak berembung untuk membentuk tubuh orang, maka sesungguhnya Pablo sedang menggambarkan keporak-porandakan masyarakat yang ditimpa perang.
Dan justru yang paling penting adalah ketika pada akhirnya orang-orang seperti Syeh Abdul Haq, yang melahirkan karya lukisan dengan hanya menggambar sebuah garis tegak lurus dalam kanvas ukuran besar. Maka banyak orang bertanya tentang makna lukisan tersebut. Padahal makna dari lukisan itu sesungguhnya merupakan kulminasi dari seluruh pengalaman hidup yang berantakan. Akan tetapi yang dia lihat adalah sebagai kebenaran yang harus diyakini keniscayaannya.
Bahwa hidup harus berantakan, dan ditata kembali. Untuk melakukan itu semua maka elemen dasarnya hanya satu yaitu sesuatu yang dia temukan dalam sepotong garis lukisannya. Karenanya dari sini lalu muncul asumsi bahwa seni dibentuk oleh keyakinan akan kebenaran. Kita harus menyadari pentingnya arti seni dan budaya dari satu sudut, yakni sudut keharusan kita membentuk kehidupan melalui pembentukan kepribadian yang berimbang. Tidak dapat dihindarkan bahwa ada sekelompok orang yang hanya mencintai ilmu pengetahuan dan teknologi, atau hanya meyakini kepastian-kepastian matematik dari kehidupan, ada juga yang lebih menyenangi jalannya ideologis yakni kebenaran keyakinan seperti peribadatan dan penghayatan terhadap kebesaran Tuhan. Di samping itu ada juga yang lebih menyenangi manifestasi yang sangat artistik.
Melalui solidaritas sosial yang kuat di mana manusia saling membantu, saling mendukung, tentunya mereka tidak akan saling memerangi. Tekanan-tekanan yang berbeda adalah sesuatu yang wajar-wajar saja. Akan tetapi janganlah kemudian kita terpengaruhi oleh suatu unsur dengan meninggalkan unsur yang lain.
Hendaknya unsur yang satu dengan unsur yang Iainnya membentuk sebuah sinergitas gerakan. Kita memiliki bentangan hidup yang sangat luas, kita juga memiliki tataran sangat baik. Apalagi bangsa Indonesia yang tengah membangun ini telah sanggup membuktikan bahwa walaupun masih banyak ketimpangan sosial, walaupun demokrasi belum diwujudkan sepenuhnya, walaupun hak asasi manusia belum seluruhnya bisa tegak di negeri kita, akan tetapi harapan untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih mampu memenuhi cita-cita akan tetap ada. Karena kita yakin bahwa dengan semangat serta harapan demi menuju Indonesia yang dicita-citakan itu maka kehidupan masa depan bangsa kita memberikan optimisme yang tidak berlebihan serta tidak akan menyesatkan.