Antara Asas Islam dan Asas Pancasila
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam salah satu “serangan” mereka terhadap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), para mubalig sebuah partai selalu menyatakan bahwa PKB bukanlah partai Islam. Sebab, menurut mereka, PKB tidak mencantumkan Asas Islam dalam anggaran dasar (AD)-nya, melainkan berasaskan Pancasila. Benarkah ini? Apa sebabnya sampai menjadi demikian? Dengan begitu, apakah PKB tidak meninggalkan agama terakhir tersebut?
Sederetan pertanyaan itu, tentunya mengganggu pikiran banyak warga NU, karena organisasi ini adalah organisasi agama. Dengan demikian, harapan para anggota dan simpatisannya agar partai itu berasaskan Islam, agaknya semakin jauh dari kenyataan yang ada. Kalau begitu, menjadi relevanlah tuduhan tersebut?
Untuk memberikan jawaban atas semua masalah itu, sebenarnya sangatlah sederhana. Yaitu, bahwa PKB memang bukan partai Islam. Karena apa? Karena, kita memang tidak memerlukan partai berasas tersebut, meskipun para anggota dan simpatisannya kebanyakan berasal dari NU, sebuah organisasi Islam. Mengapakah demikian?
Karena, yang demikian itu merupakan kenyataan sejarah yang memang sejak dulu selalu diabaikan oleh para pemimpin umat Islam, sebagai akibat banyaknya mereka yang bukan anggota organisasi Islam tidak mau mencoblos tanda gambar partai yang tidak berasas Islam. Dan sebaliknya pula, kebanyakan warga organisasi yang tidak berasas Islam itu, juga segan mencoblos partai yang berasas Islam, sebagai akibatnya.
Ini adalah sebuah pengkotakan terhadap mereka yang menggunakan asas Islam dengan mereka yang tidak dalam berorganisasi maupun berpartai. Ini berarti pula, telah terjadi pembatasan dalam “perjuangan Islam” yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan organisasi dan partai yang berasas Islam belaka. Yakni, sesuatu yang tidak menjadi keinginanan kita bersama, karena umat Islam lalu hanya dibatasi pada warga organisasi atau partai yang berasaskan Islam saja.
Padahal, dalam kenyataan tidaklah demikian halnya. Mereka yang beragama Islam banyak yang menjadi warga organisasi atau partai yang tidak berasaskan Islam. Dengan kata lain, sebenarnya kita sendiri yang membatasi jumlah umat Islam di negeri kita yang jumlah penduduknya lebih dari 85% beragama Islam.
Tetap memperjuangkan ajaran Islam
Persoalannya, apakah dengan tidak mencantumkan asas Islam PKB lalu tidak memperjuangkan Islam? Dalam kenyataannya, hal itu tidaklah demikian. PKB tetap memperjuangkan tegaknya ajaran Islam. Tapi, tidak melalui pelaksanaan hukum Islam dalam sebuah negara yang menjadi milik kita bersama.
Miliknya mereka yang beragama Islam maupun yang bukan, warga negara yang berasal dari ras Indonesia asli maupun yang tidak serta bagi mereka yang melarat maupun yang kaya. Artinya, PKB memperjuangkan berlakunya hukum Islam melalui cara lain; pendidikan dan dakwah. Ini berarti bahwa perjuangan penegakan hukum Islam bukan hanya terletak di bidang politik, melainkan pada penegakan moralitas atau akhlak bangsa.
Kita lihat, misalnya, mereka yang katanya memperjuangkan kepentingan Islam melalui negara, kebanyakan hanyalah memperjuangkan kepentingan politik atau ideologis yang mereka miliki sendiri. Bahwa, “kepentingan Islam” yang selalu ribut dipersoalkan akhirnya menutup kepentingan politik sendiri tanpa henti-hentinya. Bahkan tindakan kekerasan pun mereka lakukan, semuanya atas nama Islam. Contoh utama dalam hal ini adalah peristiwa yang terjadi di Ambon. Bukankah itu dilakukan karena “membalas” serangan orang-orang beragama tertentu?
Padahal belum tentu demikian kenyataannya, karena uraian mereka yang menjadi korban ternyata jumlahnya cukup besar, dibandingkan dengan orang Islam sendiri yang turut melakukan “serangan”. Lalu, apa yang mendorong mereka untuk melakukan hal itu, kalau bukan kepentingan ideologis maupun politik.
Bukankah, dengan begitu, berarti Islam digunakan untuk kepentingan kelompok? Dengan menghalalkan segala cara? Padahal, kaum muslimin sejak awal telah dilarang untuk bertindak keras kecuali kalau diserang.
Sedangkan untuk membuktikan adanya serangan itu apakah dari kalangan nonmuslim, haruslah dikaji secara mendalam, bukannya ditentukan secara serampangan. Bukankah sudah dinyatakan “jika datang orang munafik dengan sebuah berita hendaknya kalian menggali dengan jelas (idzaja’a fâsiqun binab’in fatabayyanu)”.
Bukankah kitab suci al-Qur’an telah menyatakan, bahwa memang kita dibuat berbeda-beda; “Kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling kenal mengenal (Wajaalnaakum syu’uban wa qabaa illa lita’aarafu)”. Tentu, ada yang menyanggah pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa orang Yahudi dan orang Kristen justru akan melawan hal ini.
“Tidaklah orang-orang Yahudi dan Kristen rela kepada-Mu (wahai Muhammad) sampai engkau mengikuti agama mereka (wa lantardlo anka al-Yahudu wa la An-Nashoro hatta tattahi’a millatahum)”. Ternyata, jawabannya mudah sekali; bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah persoalan muamalat atau amal perbuatan kita, melainkan kita tidak boleh berganti keyakinan hanya karena mengikuti kepercayaan orang lain.
Bukan masalah prinsip
Maka, jelaslah bahwa pelaksanaan hukum Islam tidak hanya dihasilkan oleh perjuangan politik atau ideologis, melainkan bisa juga dengan pendidikan dan tabligh. Terlebih lagi, ini diperlukan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, di negeri yang demikian besar keragamannya seperti negara kita.
Apa yang tidak bisa dihasilkan melalui perjuangan politik maupun ideologis harus ditekuni melalui perjuangan pendidikan dan penyiaran agama, dengan sebutan lain secara moral.
Inilah rahasia al-Qur’an seperti yang dimaksudkan oleh ayat, “Fatabayyana arrusdhu minal ghayyi“. Telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu. Juga, dari sudut pandang ini harus dipahami firman Allah Swt. “Tiada paksaan dalam beragama (â ikraha fi ad-dien)”. Bahkan, Allah Swt. memerintahkan manusia untuk beragam agama, “bagimu agamamu bagiku agama ku (lakum dienukum waliliyadien)”.
Bahkan, dalam hal perbedaan agama kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh sama-sama dalam hal perbuatan. “Bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu (walana a’maluna walakum a’malukum)”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan cara dan metode bukanlah masalah prinsip, hingga membahayakan persatuan dan kesatuan. Amal perbuatan bolehlah sama, yang membedakan hanyalah keyakinan yang melatarbelakanginya.
Karena itu, tidaklah tepat kalau kita mencampur-adukan antara yang prinsip dan yang bukan, karena asas organisasi bukan menjadi sesuatu yang prinsip dalam perjuangan kita. Oleh karena itu, boleh saja kita berbeda tapi masih tetap menjadi orang Islam.
Dengan uraian di atas, menjadi jelaslah bahwa berpikir tanpa asas Islam dalam perjuangan, bukanlah sesuatu yang ditentang oleh Islam. Bukankah nanti hasilnya adalah sebuah moralitas berdasarkan agama? Bukankah ini yang menentukan corak perjuangan yang tidak menggunakan kekerasan dan menghindari tindakan yang merobek-robek kesatuan dan persatuan bangsa?
Padahal, kenyataan tersebut merupakan sejarah dari masa lampau yang tidak patut diteruskan pada masa mendatang. Bukankah keberagaman kita sebagai bangsa mengharuskan kita menggunakan prinsip itu? Dan bukankah sebaliknya, memaksakan hukum Islam melalui instrumen (perangkat) negara, hanyalah merupakan sesuatu yang bersifat pemaksaan?
Di alam penjajahan, kita sebagai bangsa tidak ingin dipaksa-paksa oleh orang dengan alasan apa pun. Bukankah dengan demikian berarti kita dilarang melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendak juga?