Arah Dua Pola Kehidupan (3)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Penulis tidak tahu benar bagaiman perkembangan dan kapan bermulanya pola kehidupan yang berorientasi niaga laut di kalangan bangsa kita. Secara bertahap pola hidup mementingkan niaga laut itu membentuk diri di daerah pantai sekian banyak pulau kita yang didiami orang. Daerah-daerah pantai itu mulai menyatukan diri dalam kampung-kampung di pedalaman, yang kemudian bergabung menjadi negara yang kuat. Kita ikuti catatan harian seorang penuntut ilmu yang mendalami agama Budha datang dari Tiongkok ke Sumatra bagian selatan di masa Kerajaan Sriwijaya. Kita tidak tahu dengan tepat di mana letak kerajaan tersebut, hanya saja kita tahu ia ada di daerah Tulang Bawang. Ada yang mengatakan Tulang Bawang itu terletak di tepi sungai Musi, di sekitar kota Palembang sekarang. Tapi ada yang menyatakan daerah itu terletak di kawasan Lampung Utara, juga di tepi sebuah sungai besar. Pendapat ketiga menyatakan Sriwijaya terletak di tepi sungai Batanghari. Entah mana yang benar di antara ketiga pendapat itu, penulis tidak tahu karena ia bukan ahli sejarah dan tidak pernah melakukan penelitian secara teratur. Yang ada hanyalah sisa-sisa bacaan puluhan tahun lalu yang masih ada dalam benak penulis. Tetapi apapun yang menjadi kebenaran, kerajaan Budha bernama Sriwijaya itu, jelas berpola hidup niaga laut dan ia menjadi kuat karenanya. Dari daerah-daerah ”jajahannya”, ia memperoleh hasil-hasil pertanian (terutama padi sebagai makanan pokok ) maupun lainnya, baik dengan cara upeti maupun cara lain.
Demikian juga, dari daerah-daerah itu Sriwijaya memperoleh kapal-kapal layar yang berjalan cepat, juga bala tentara yang diperlukan untuk menyerang dan kemudian menjajah daerah-daerah yang direbut itu. Memang tiap daerah memiliki pejabat tinggi (dan mungkin juga raja-raja fatzal ) dari keluarga kelompok yang memerintah Kerajaan Sriwijaya sendiri. Hal itu sesuatu yang “wajar” saja waktu itu dan juga banyak terjadi saat ini dibanyak tempat. Bagi kita tidak penting dimana letak (ataukah letak pertama) bermulanya Sriwijaya, tapi bahwa ia (di waktu itu atau di kemudian hari) merupakan sebuah kerajaan laut yang sangat kuat adalah sangat jelas, sebagaimana dicatat oleh Fahin, sang penuntut ilmu agama Budha yang berasal dari Tiongkok itu, yang mungkin mati di anak benua India. Karena itulah Sriwijaya dapat mengirimkan pasukan demi pasukan untuk mengalahkan kerajaan Hindhu Kalingga di pegunungan Dieng (Jawa Tengah).
*****
Pola hidup niaga laut itu, walaupun tetap mengkonsumsi makanan pokok berupa beras/nasi, namun administrasi pemerintahannya tidak sama dengan sistem pemerintahan pola hidup agraris yang kita temui di Jawa. Karena itu, kita tidak pernah mendengar adanya pegawai-pegawai setempat yang mempunyai ‘lungguh’; yaitu pembesar feodal yang. kekuasaannya di dasarkan atas sedikit atau banyaknya orang yang mengerjakan tanah/ sawah yang di kuasainya. Hal itu hanya ada dalam masyarakat agraris yang berbasis bahasa Jawa yang terdapat pada masyarakat agraris di sekitar masa kerajaan Majapahit. Penulis tidak tahu bagaimana sebelumnya, atau adakah ia terwujud (mungkin dengan istilah-istilah lain) di tempat-tempat lain sebelumnya. Namun yang jelas seluruh kekuatan pemerintahan dipusatkan pada “kekuasaan” sang raja, yang dapat memerintahkan penyerbuan militer sewaktu-waktu kemana saja ia kehendaki. Inilah “wajah dasar” dari kekuasaan feodal yang didirikan/ dipimpin sistem kekuasaan dari pola hidup agraris ini juga berdasarkan pada superstisi, seperti di lingkungan pola hidup niaga-laut.
Keyakinan spiritual berbentuk supravisi itu -bersama-sama dengan beberapa hal lain- ini oleh Prof. Jan Romein dalam bukunya “Aera Eropa” yang di terbitkan dalam bahasa Indonesia di tahun-tahun 50-an”, disebut sebagai beberapa karakteristik pola umum kemanusiaan I (Eerste Algemeene Menselijk Patron) yang membedakannya dari masyarakat Eropa.
Tentu saja, kita harus bersikap hati-hati menerima klasmen yang dibuatnya itu, karena generalisasi yang terdapat dalam “kaidah-kaidah” sejarah, sering tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan dalam rincian “kenyataan-kenyataan sejarah”, dan hanya mementingkan persamaan demi persamaan yang terdapat dalam sejarah sebuah negeri dengan apa yang ada di negeri-negeri lain. Walaupun demikian, “hukum sejarah” yang dihasilkan paling tidak dapat membantu kita mengerti perkembangan bermacam-macam negeri dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Walaupun tidak dapat dipercaya sepenuhnya, hukum-hukum sejarah tersebut dapat membantu kita memahami berbagai corak perkembangan kesejarahan yang pernah, sedang atau akan dijalani manusia dalam jumlah yang banyak di masa depan.
*****
Dalam hal ini, yang terpenting adalah bagaimana manusia menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dalam sistem kekuasaan yang berbeda-beda dalam bentuk luarnya. Bahwa di masa lampau “lungguh” memegang peranan penting dalam menjaga keamanan masyarakat, bisa saja di masa modern ini ia digantikan oleh kekuatan kepolisian, yang juga dapat dikembangkan dalam bentuk bermacam-macam pula, -seperti polisi air dan udara (Airud), Brigade mobil (Brimob) yang mampu bergerak cepat dan sebagainya. Perbedaan seperti itu dinamai spesialisasi yang memerlukan dukungan legiun yang kuat dan alat-alat yang canggih serta komunikasi serba cepat yang akan semakin berkembang.
Aparat keamanan dalam negeri seperti itu harus juga ditentukan apakah ia bersifat lokal ataukah bersifat nasional. Seperti kepolisian di Jepang dan di Prancis, adalah aparat nasional yang tunduk kepada menteri dalam negeri sedangkan di negeri-negeri lain seperti Amerika Serikat, ia adalah aparat lokal yang tunduk pada Gubernur atau Wali Kota. Sedangkan wewenangnya, antara negara-negara itu juga berbeda-beda. Di Amerika Serikat, tugas pihak kepolisian hanyalah menangkap seseorang yang dianggap tertangkap melakukan kejahatan kriminal, tetapi penelitian dalam hal itu dilakukan oleh pihak lain, yaitu Biro Investigasi Federal (Federal Beureau of Investigation, FBI) yang berpusat di ibu kota negara dan memiliki kantor-kantor perwakilan di seluruh negeri. Jelaslah dari uraian di atas, bahwa tugas seorang pemimpin adalah menyelenggarakan pemerintahan, guna kepentingan umum-rakyat yang dipimpin. Kepentingan tersebut, dalam “bahasa agama” dinamakan al-mashlahah al-‘ammah, sering disingkat dengan kata Maslahah. Sebagimana ada dalam ungkapan fi’qh (hukum Islam) yang terkenal “kebajikan/tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpinnya terkait langsung dengan kepentingan kesejahteraan mereka” (Tasharuff al-imam ‘Ala-raiyyah manuthun bi al-mashalahah). Kalau ia tidak membela kepentingan orang banyak melainkan hanya membela kepentingan sendiri, maka ia secara teknis adalah seorang pengkhianat. Yang sulit menentukan adalah bila ia berjasa kepada rakyat namun juga memiliki “titik lemah” terhadap siapapun di hatinya. Mudah mengatakan menjadi pemimpin, namun sulit melaksanakannya bukan?