Sulitnya Jadi Pengamat
Oleh: K.H Abdurrahman Wahid
PERTENGAHAN Mei 2004, pengamat politik Fachry Ali mengatakan, calon presiden Wiranto “akan dirugikan” oleh tuduhannya atas seorang menteri yang dikatakan menyediakan dana bagi mahasiswa yang berkumpul di rumahnya guna menentang pencalonan seorang calon dari “militer”, yaitu Wiranto sendiri.
Pihak Wiranto ternyata juga memasalahkan sebuah pernyataan dari seorang pengamat lain, Ikrar Nusa Bhakti, dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Pengamat ini menyatakan, menggunakan mahasiswa untuk tujuan yang dimiliki berbagai golongan politik adalah “praktik yang umum”. Ini dinyatakan pengamat itu tanpa ada sanggahan atau protes apa pun terhadap dirinya atas pernyataan demi pernyataan yang lalu terbukti tidak akurat. Kenyataannya, ada seorang menteri yang “membayar” orang untuk berunjuk rasa. Dari situ dapat disimpulkan, pernyataan yang seolah-olah merupakan “netralitas” para pengamat sebenarnya timbul dari ketakutan dalam dirinya melihat kenyataan demi kenyataan politik yang terjadi.
Pendapat Fachry Ali bisa menimbulkan kesulitan baginya karena orang juga bisa menyatakan, ia berpendapat seperti itu karena dibayar orang lain untuk membangun opini “memusuhi” calon presiden eks militer. Akibatnya masyarakat pengonsumsi berita menjadi kian tidak tahu apa pendapat yang harus diikuti. Ini adalah akibat ulah sejumlah pengamat yang oleh publik dilihat sebagai pengambil peran tersendiri dalam percaturan politik dewasa ini. Paling tidak, dari “netralitas” yang menyimpan ketakutan seperti dilakukan para pengamat itu, dunia pengamat dapat kehilangan kepercayaan publik.
Meski mereka dapat hidup dalam fatamorgana, seolah masih dipercaya publik yang dalam kenyataan tidak demikian sehingga yang benar maupun yang berpihak sama-sama tidak dipercaya publik.
Kenyataan seperti itu harus disayangkan karena pers kita yang baru bebas dari berbagai kekangan dan paksaan sebenarnya memerlukan pemberitaan yang jujur dan positif. Ini adalah kenyataan sejarah tidak terbantahkan sehingga harus diperhatikan dunia pers kita termasuk pengamat. Kejujuran memang diperlukan jika kita menginginkan arus informasi kepada publik melalui pers dapat diterima masyarakat. Karena itu, pers tidak selayaknya mengabdi pada kepentingan banyak pihak dan melupakan kepentingan bangsa dan negara. Jika hal itu terjadi, mungkin saja adagium “perang terlalu penting untuk diurus hanya oleh para jenderal” nantinya berubah menjadi “pers terlalu penting untuk diurus hanya oleh kalangan mereka sendiri”.
Kemungkinan amat buruk seperti uraian di atas seharusnya memicu pers kita sebagai suatu entitas yang “bebas” untuk berbuat seobyektif mungkin.
Kesimpulan itu penulis ajukan karena demikianlah kenyataannya. Hal seperti itu akan berakibat amat buruk bagi perkembangan pers di Tanah Air karena pers kita sama pentingnya dengan perkembangan pers yang sehat di negara-negara demokratis lain. Hal itulah yang diinginkan, yaitu pers yang berkembang “secara alami” dengan keakuratan arus komunikasi dari pers kepada wilayah publik negeri kita. Ini namanya “belajar sambil melaksanakan” (learning by doing). Jatuh bangun sebagai bangsa, ditentukan oleh hal-hal semacam itu.
***
KEMBALI kepada “keharusan” seorang pengamat memiliki kejelian dan obyektivitas. Ketika menghadap Panwaslu, penulis mengemukakan kepada pers, jika tidak diizinkan oleh Komite Pemilihan Umum (KPU) menjadi calon presiden, akan banyak pemilih yang tidak memberikan suara dalam pemilu presiden 5 Juli 2004. Penulis menyatakan kepada pers, menurut laporan para asisten, mereka akan mencapai 70 persen pemilih jika penulis ditolak KPU. Dua hari kemudian Ikrar Nusa Bhakti dalam wawancara dengan Radio Jakarta News FM mengemukakan, penulis mengancam dengan pernyataan itu. Bukankah ini sebuah sikap tidak terpuji karena pengamatannya ditentukan oleh ketakutan yang dimiliki?
Mengapa ia tidak lebih dulu meneliti bahwa apa yang dikemukakan penulis adalah laporan lapangan, bukan ancaman penulis. Dengan demikian, bukankah Ikrar Nusa Bhakti telah berpihak kepada sikap KPU bahwa tidak ada yang salah dalam proses pemilu presiden kali ini? Bukankah ini berarti seorang pengamat melegitimasi SK KPU yang minimal melanggar UU No 4 tahun 1997? Salahkah jika penulis menarik kesimpulan, pengamat itu terkena “intimidasi” KPU yang dengan arogan menganggap diri dapat menentukan syarat-syarat menjadi calon presiden bagi “masyarakat umum”. Dari hal itu, penulis menyimpulkan, membiarkan terjadinya pelanggaran atas UU di atas, maka Ikrar Nusa Bhakti juga dihinggapi ketakutan seperti itu.
Penulis melihat, ketakutan “masyarakat” sudah dimulai dari penerimaan hasil-hasil pemilu legislatif tahun 2004 yang prosesnya penuh kecerobohan, kecurangan, dan manipulasi KPU guna kepentingan pihak peserta. Sungguh menyedihkan, sebuah bangsa yang besar dan memiliki warga dalam jumlah amat banyak (205 juta lebih) “tidak mampu” menjaga kepentingan sendiri. Bukankah dengan demikian bangsa ini telah menjadikan dirinya sendiri lemah dan miskin, dan dengan sendirinya mudah dikuasai negeri-negeri lain?
Atas kenyataan itulah penulis menyatakan, kita memerlukan demokratisasi. Salah satu hal dasar yang menjadi ciri utama demokrasi adalah kedaulatan hukum. Maka menjadi jelas, kita harus menegakkan demokrasi guna menghilangkan KKN dan sebagainya dalam hidup bangsa. Mungkin karena mengajukan perlunya demokratisasi di negeri kita, melalui pemilu presiden 2004, penulis tidak dikehendaki menjadi calon presiden oleh pihak yang mempertahankan status quo.
***
SUNGGUH tragis jika pengamat seperti Ikrar Nusa Bhakti takut meneliti pendapat penulis. Penulis bukan meminta dukungan, tetapi minimal obyektivitas sikap dan pendapat. Dalam hal ini, sikap seorang pengamat yang mewakili lembaga terhormat seperti LIPI mau tidak mau harus menyuarakan “kebenaran” melalui penelitian dan pemeriksaan. Inilah yang tidak dilakukan kebanyakan kalangan pengamat saat ini.
Kealpaan pengamat terbukti, justru beberapa hari kemudian timbul berbagai protes yang menolak pelanggaran KPU dalam pemilu presiden. Kalangan pengamat dan dunia pers mau tidak mau harus mengakui kenyataan ini, sebagaimana parpol-parpol yang ada, birokrasi dan pihak TNI dan Polri.
Kita tidak akan menjadi bangsa besar dan kuat tanpa memiliki negara besar, makmur, berkeadilan, dan demokratis. Hanya dengan keuletan dan ketahanan moral membuat diri berani menghadapi aneka kekuatan status quo. Mengembangkan sikap berani seperti itu mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan.