Mencari Arti Rekonsiliasi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BADAN Pekerja Kongres Kebudayaan (BPKK) menyelenggarakan sebuah diskusi tentang rekonsiliasi. Para pegiat budaya ini telah berkali-kali mengadakan kegiatan pada berbagai tempat di negeri ini, yang terakhir adalah kongres kebudayaan yang berlangsung tahun lalu di Bukit Tinggi (Sumatera Barat). Dari forum itu lahirlah BPKK yang selanjutnya menjadi pelaksana keputusan-keputusan kongres. Dengan demikian diharapkan budayawan akan menjadi lebih arif lagi, karena dua hal. Pertama, keputusan demi keputusan akan diikuti oleh pelaksanaan yang jelas. Maka masalah-masalah yang dibicarakan dalam sebuah kongres akan memiliki urut-urutan yang pasti, sehingga tidak lagi berputar-putar pada hal-hal yang sama dari kongres ke kongres. Kedua, kita lalu dapat melihat hasil-hasil berbagai kongres kebudayaan itu berkembang dan bertambah lama semakin kompleks dan rumit.
Contohnya adalah tentang tema rekonsiliasi. Dengan adanya badan pekerja, maka rekonsiliasi yang memiliki bentuk berbeda-beda dari tempat ke tempat dan waktu-kewaktu, akan ada yang menangani dan mengembangkannya secara teratur. Dari bahasan berbagai permasalahan yang semakin lama akan menjadi semakin kompleks dan rumit, akan lahirlah pengertian kita tentang proses yang dinamakan rekonsiliasi itu secara teratur, dan akan semakin kaya kehidupan kita dibuatnya. Karena itu, penulis sangat gembira dengan ajakan untuk menyampaikan sebuah makalah kunci (keynote speech) dalam diskusi tersebut. Walaupun forumnya sangat terbatas, dan dihadiri hanya oleh beberapa orang saja, tetapi bobotnya memang sangat besar, apalagi jika media massa memberitakannya.
Walaupun cuma sebentar menyampaikan makalah kunci pada pembukaan forum itu, karena harus meninggalkan tempat tersebut menuju ke Rumah Sakit Aini guna mendampingi adik yang sedang menjalani operasi mata, penulis merasa bahwa penulis harus mengikuti pembicaraan-pembicaraan selanjutnya tentang proses dan pengertian mengenai rekonsiliasi bagi bangsa kita. Karena bangsa kita telah memilih untuk hidup dalam kemajemukan/pluralitas, maka diperlukan sebuah proses rekonsiliasi, dengan frekuensi tinggi dan kesediaan yang besar untuk saling mengalah satu sama lain, jika diperlukan. Dengan demikian proses rekonsiliasi, atau lebih tepatnya beberapa kali rekonsiliasi, baru dapat menciptakan apa yang kita kehendaki.
Bangsa kita memang memiliki kemampuan besar untuk mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada, tanpa menjadi terpecah-pecah dalam berbagai unit bangsa. Berbagai gerakan separatis telah muncul di negeri kita selama hampir 60 tahun ini. Namun, terjadinya hal itu tidak membuat kita terpecah-pecah, bahkan dalam kenyataan kita menjadi semakin kuat. Sebagai sebuah bangsa dengan pluralitas yang tinggi dalam hampir semua bidang, karena itulah penulis sebagai Presiden melakukan kunjungan ke 80 negara dalam 20 bulan pemerintahannya. Semua kunjungan itu bermuara pada penerimaan dunia atas keutuhan teritorial/kawasan negara kita oleh dunia internasional. Memang itulah prioritas pertama yang harus dijalani. Bahkan ada perjalanan sangat mengesankan, yaitu dalam sehari semalam penulis lakukan kunjungan ke tiga negara (Inggris, Perancis, dan negeri Belanda) penulis merasakan bahwa tujuannya tercapai dalam menjaga keutuhan negara seperti itu.
Dalam makalah kunci itu, penulis menyatakan bahwa rekonsiliasi dapat dimengerti melalui berbagai proses. Pertama, sebagai produk hukum rekonsiliasi dapat dipahami dari bagaimana jalannya proses itu sendiri. Menurut penulis dari sudut pandang ini, rekonsiliasi baru ada artinya jika ia dilakukan dalam bentuk pengampunan (amnesti dan abolisi) setelah dilakukan proses hukum, seperti jalannya pengadilan atas tiap kasus dan keputusan hukum terhadap pelaku yang diadili itu, telah diambil. Sudah tentu ini akan berjalan sangat lama dan terkadang dapat diganggu oleh upaya menghindarkan diri dari jeratan hukum, seperti terjadi pada Slobodan Milosevic di Den Haag. Pada waktu tulisan ini dibuat, mantan Presiden Yugoslavia itu menggunakan segala cara untuk menghindari hukuman atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya.
Di samping itu, rekonsiliasi juga harus dilihat dari kacamata ekonomi. Rekonsiliasi bidang ekonomi bangsa ini bukan antara kelompok Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan kelompok usaha besar, melainkan dalam pendekatan dan orientasi perekonomian negara. Seperti diketahui, sejak kemerdekaan di tahun 1945 berbagai pemerintahan telah menjanjikan untuk menyediakan fasilitas kredit murah bagi UKM. Dalam kenyataannya janji-janji itu tidak pernah dipenuhi. Bahkan, selama satu dasawarsa pemerintahan Orde Baru, dikumandangkan konsep Bapak Angkat-Anak Angkat. Menurut konsep ini, usaha-usaha besar sebagai Bapak Angkat melakukan berbagai tindakan untuk membantu UKM. Di antaranya, melalui kucuran kredit murah. Konsep itu memang kedengarannya indah, dalam kenyataan kredit murah itu tidak pernah mengucur kepada UKM, bahkan jumlah besar yang disediakan untuk mereka turut diserap oleh usaha-usaha besar, dan dilarikan oleh para ‘konglomerat hitam’ keluar negeri dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kemudian rekonsiliasi dari sudut budaya. Sistem budaya daerah yang besar menerima budaya daerah yang kecil. Seperti dicontohkan oleh pelestarian hukum adat dan penggunaannya ketika sistem pengadilan negeri sebagai bagian dari hukum nasional, belum dapat ditegakkan. Bangsa kita memiliki modal yang kuat dalam berkembangnya tiga buah hal hingga saat ini. Pertama, kita memiliki administrasi pemerintahan tunggal. Kita terbiasa dengan hakim dari Minangkabau di Irian/Papua; seperti halnya kita terbiasa dengan dosen orang Ambon mengajar di Aceh dan Dandim suku Manado bertugas di Pulau Jawa. Kedua, kita memiliki sebuah bahasa nasional, Bahasa Indonesia dengan prosentasi pengguna sangat tinggi di negeri ini. Ketiga, kita memiliki pembangunan daerah dengan ketergantungan sangat tinggi antara berbagai kawasan; seperti Kalimantan Timur yang mengirimkan hasil-hasil kekayaan buminya (minyak bumi, gas alam dan berbagai hasil hutan) ke pulau Jawa; dan Kaltim juga menggunakan berbagai produk dari kawasan Jawa itu.
Berbagai perbedaan yang disebutkan di atas, justru menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Tentu saja hal itu menimbulkan banyak pertentangan, namun hal itu dapat direkonsiliasikan oleh bangsa kita dalam sebuah proses yang sangat panjang. Kesedian menerima perbedaan itu, dengan hanya sedikit menggunakan kekerasan, adalah proses rekonsiliasi yang sebenarnya. Seperti, kearifan yang diunjukkan para pendiri negara ini memandang perbedaan, haruslah dipuji. Ketika para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di tahun 1944-1945 secara bulat menyetujui berdirinya negara kebangsaan dengan membuang Piagam Jakarta (yang berarti berdirinya Negara Islam di kawasan ini) dari konstitusi kita, hal itu menandakan dimulainya proses rekonsiliasi politik yang harus kita hargai. Ini adalah bagian dari proses membuang dan mengambil yang sangat besar artinya bagi kita, bukan?