Administrasi Negara dan Dunia Politik

Sumber foto: https://www.maxmanroe.com/vid/manajemen/pengertian-administrasi.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Penulis “pengantar” ini ingin menyoroti hubungan antara reformasi administrasi sebuah negara dan dunia politik pada tingkat nasional. Sebelumnya, perlu ditekankan kenyataan bahwa orientasi kehidupan sebuah negara juga sangat ditentukan oleh kebijakan seorang penguasa. Penguasa Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo, mengubah orientasi kehidupan bangsa sewaktu ia memerintah di abad ke-17. Ketika armada laut yang dia kirim untuk merebut Batavia dihancurkan di Kepulauan Seribu (Teluk Jakarta)–tidak jelas oleh VOC (pihak Belanda) atau badai laut–ia langsung mengubah orientasi kehidupan seluruh kawasan dalam kekuasaannya menjadi berorientasi darat. Padahal, dari masa kerajaan Kutai, Bone, Sriwijaya, Majapahit, dan Aceh, orientasi mereka selalu bersifat kelautan. Hal ini diperkuat oleh adegium terkenal yang diciptakan oleh Empu Tantular dari Majapahit dan diabadikan oleh karya tulis: Negarakertagama, yaitu: “Bhineka Tunggal Ika” atau “Berbeda Namun Tetap Satu”.

Jadi, wajarlah sekarang ini jika kita sebagai bangsa kembali pada orientasi kelautan. Administrasi negara harus ditata kembali agar tidak merusak pola kehidupan kita sebagai bangsa di alam modern ini. Upaya ke arah itu adalah mengetahui hubungan antara berbagai administrasi negara dan dunia politik, baik nasional maupun daerah. Perubahan demi perubahan harus dilakukan juga atas apa yang dinamakan “Pembangunan Nasional”. Perubahan dari orientasi kelautan menjadi orientasi darat menghasilkan administrasi negara dan jenis pemerintahan yang bersifat menentukan bagi jalannya kehidupan bangsa. Setelah mengubah strategi perjuangan kerajaan yang dikuasainya, Sultan Agung Hanyokrokusumo kemudian menyerbu Batavia dan mengurungnya secara total. Ia bermukim di daerah Paseban, tempat rakyat menghadap (seba) kepadanya.

Sedikit ke selatan tentara Mataram dari pasukan-pasukan Jawa berkumpul, kini kawasan itu bernama Matraman. Lebih ke selatan lagi, tempat tinggal pasukan-pasukan Mataram di Bali, sekarang terkenal dengan nama Bali Matraman. Lebih ke selatan lagi bermukim Panglima Mataram bergelar Wiraguna, maka kawasan itu berubah nama menjadi Wiraguna. Karena sang raja menempuh kerja islamisasi secara terbatas, ia menghadapi para ulama yang menginginkan islamisasi secara penuh. Karena itu, Wiraguna diperintahkan untuk membersihkan (tentu saja dengan cara pembunuhan) para ulama itu. Hal itu dilakukan di sebuah tempat yang sekarang bernama Jati Padang (terbuka lebar bersih dari adanya ulama). Dari sini kita lalu dapat menyimpulkan bahwa persoalan politik sangat mempengaruhi administrasi negara di waktu itu.

Pertahanan VOC sangat sederhana, yaitu memanfaatkan strategi Sultan Agung itu. Mereka memusatkan kehidupan di kawasan Welte Freden, yang sekarang bernama daerah Gambir. Pertahanan mereka disesuaikan dengan strategi serangan Sultan Agung. Mereka memutuskan hubungan serdadu dan penduduk di daerah perkembangan yang terletak di pinggiran sungai di Ancol (timur utara), melalui sungai-sungai sebelah selatan (seperti Sungai Ciliwung di kawasan Pasar Rumput sekarang), hingga ke kawasan Kali Cideng di arah barat ke utara. Administrasi negara di bawah VOC ini dirumuskan secara berikut: Pemisahan antara penduduk setempat, penduduk Asing Timur (Oosterlingen) dan orang-orang Belanda sendiri. Karena itulah administrasi negara menjadi berganda, dan semuanya mengabdi kepada strategi militer untuk menghadapi serangan dari pihak Mataram.

Satu hal lain menarik perhatian kita: dalam tahun 1950-an seorang profesor dari Universitas Harvard, Arthur M. Schlesinger Jr., menerbitkan disertasinya yang berjudul The Age of Jackson. Dalam karya itu digambarkan betapa kaum industrialis dan kapitalis berusaha melakukan impeachment atas diri Presiden Jackson, karena ia melakukan pengangkatan Gubernur bagi Bank Sentral (American Federal Reserve System/AFRS). Mereka menggugat Presiden yang dianggap melanggar prinsip kapitalisme yang melarang pemerintah untuk campur tangan dalam soal-soal ekonomi. Jackson mengatakan Gubernur AFRS harus bertanggung jawab atas penggunaan anggaran belanja negara (budget), yang meliputi berbagai bidang (pertahanan, kesehatan, pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan sekarang pengembangan teknologi).

Ia tidak berhasil di-impeach dengan menang satu suara dalam Senat. Ini menunjukkan bahwa masalah itu juga adalah masalah politik. Terlebih lagi jika diingat bahwa ia kalah dalam pencalonan Presiden AS di sekitar tahun 1830-an (abad ke-19). Namun, hubungan erat tetap terjaga antara presiden yang mengusulkannya dan gubernur, seperti terlihat pada Presiden George Bush dan mantan Gubernur Bank Sentral Alan Greenspan selama bertahun-tahun pada akhir-akhir ini. Walaupun secara teroretis sang gubernur berstatus independen dari sang presiden, dalam kenyataan mereka saling mempengaruhi. Hal ini merupakan bukti dari kuatnya penghayatan politik nasional dalam hubungan tersebut, dengan latar belakang pola hubungan saling bertentangan antara hak-hak negara bagian dan hak-hak individu warga negara yang dimulai dari zaman lahirnya Amerika Serikat (pertentangan terkenal antara kepentingan negara bagian yang disuarakan oleh Gubernur Alexander Hamilton melawan orientasi individual para warga negara yang dikumandangkan oleh Presiden Thomas Jefferson).

Dengan demikian, jelas bahwa administrasi negara sangat dipengaruhi oleh dunia politik pada tingkat nasional. Penulis buku ini menggambarkan bagaimana penulis makalah pengantar ini dicoba untuk diadili oleh sebuah panitia khusus DPR-RI (di bawah pimpinan Bachtiar Chamzah dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) antara lain dengan tuduhan melanggar Undang-Undang–juga dituduh tidak diperkenankan membuka pintu sama sekali, padahal ia membukanya selebar sekitar sepuluh sentimeter untuk memungkinkan rekaman oleh para wartawan–yang terkenal dengan nama Pansus Bulog Gate dan Brunei Gate. Setelah gagal mencari “hukuman” legal, ditempuhlah cara melakukan tindakan politik untuk memecat penulis makalah ini dari jabatan Presiden RI. Keputusan MPR-RI itu adalah tindakan politik yang kemudian disusul dengan tindakan-tindakan politik yang lain, setelah berlangsung sebuah rapat di kawasan Kebagusan (rumah Megawati Soekarnoputri–Taufik Kiemas).

Penulis makalah pengantar ini, walaupun mendapatkan dukungan tertulis dari 300.000 orang untuk mempertahankan jabatannya, memilih untuk “di-lengser-kan” dari jabatan itu untuk menghindarkan bangsa ini dari perang saudara. Ketika ditanyakan dalam bentuk surat ke Mahkamah Agung RI, apakah pengumuman keadaan darurat pada tanggal 22 Juli 2001 melanggar UUD 1945 dan benarkah terjadi tindakan insubordinasi (penolakan perintah) oleh Panglima TNI Widodo A.S. dan Kapolri Bimantoro, badan itu tidak mau menjawab hingga saat ini. Jelas sekali dari apa yang dipaparkan di atas bahwa kawan-kawan dekat penulis makalah pengantar ini (seperti Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas, Prof. Dr. Amien Rais dan lain-lain, serta sejumlah perwira tinggi TNI) melakukan pengkhianatan politik yang tidak dibalas sama sekali, hingga hari ini. Seluruhnya, hal itu adalah tindakan politik pada tingkat nasional. Ini saja yang ingin penulis nyatakan, sebagai bukti sejarah yang memperkuat kesimpulan penulis makalah pengantar ini, bahwa ada hubungan langsung dan korelasi antara administrasi negara dan politik pada tingkat nasional.