Agama: Antara Keyakinan dan Kelembagaan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa tahun yang lalu, saya ditanya oleh seorang wartawan Palestina. Inti pertanyaan itu, mengapa saya mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) bersama agamawan-agamawan lain. Saya mengerti bahwa pertanyaan itu timbul karena gerakan demokrasi di kalangan mereka juga tumbuh dalam gerakan agama, Hammas.
Bukankah sebelumnya gerakan prodemokrasi hanya muncul di kalangan non-agama, seperti al-Fattah? Inilah sebenarnya yang ingin dia tanyakan karena dia tahu saya adalah lulusan Fakultas Syari’ah di Universitas Baghdad dan juga pada fakultas yang sama di Al-Azhar, Kairo.
Saya menjawab bahwa, baginya dorongan untuk untuk memperjuangkan demokrasi dan persamaan adalah agama Islam. Bahwa, sebagai seorang muslim yang meyakini kebenaran agamanya, saya percaya Islam memerintahkan tegaknya demokratisasi. Karena itu, saya ikut membentuk forum tersebut bersama-sama dengan orang yang mungkin anti Tuhan (atheis). Dengan kata lain, saya melihat watak demokratis dari Islam hingga pada hal-hal yang selama ini dianggap tidak benar bagi seorang muslim: membenarkan atheisme.
Atheisme adalah perjuangan untuk tidak bertuhan dan melawan kebanyakan pendapat orang-orang beragama. Tapi, saya beranggapan sebaliknya bahwa menjadi hak tiap warga negara untuk percaya terhadap Tuhan atau tidak. Bukankah itu sebuah upaya untuk mencari kebenaran juga? Hanya, orang itu belum menemukannya karena cara yang dipakai tidak benar. Karena itu, cara yang tepat adalah memperkenalkan kebenaran melalui berbagai cara hingga dimengerti orang.
Dengan marah-marah pada mereka, kebenaran tidak akan tercapai dan apa yang kita maksudkan tidak akan terpenuhi. Bukankah ada film yang berjudul the Single Not the Song (penyanyinya, bukan nyanyiannya) yang menggambarkan bagaimana seorang bandit besar mengikuti keberanian seorang pendeta, bukan kebenaran ajaran yang dibawakannya?
Dalam jawaban saya itu terdapat hal yang sangat penting yaitu keyakinan. Saya yakin salama ajaran agamanya berintikan demokrasi. Dengan demikian, perjuangan menegakkan demokrasi menjadi inti kehidupan saya. Artinya saya juga menghargai setiap hak warga negara untuk berpindah agama. Dan, itu adalah salah satu hak asasi yang dinyatakan dalam piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1948. Hal ini bertentangan dengan hukum Islam (fiqh) yang ada –yang menganggap hal itu sebagai tindakan salah. Kalau orang itu memenangkan ajaran lain di luar Islam, maka berarti musyrik (apostate). Dan, setiap tindakan kemusyrikan harus dihukum mati, karenanya hukuman setimpal bagi yang berpindah agama adalah hukum mati.
Bagi saya, hukum seperti itu jelas tidak demokratis. Sebabnya, orang tidak diberi kesempatan untuk bersikap ragu-ragu. Kita hanya melihat hasil akhir, bukan prosesnya. Hal ini berarti juga sikap terlalu formalistik terhadap ajaran agama. Padahal, agama senantiasa menganjurkan agar selalu berporses. Bukankah kata Islam yang artinya penyerahan menunjukkan agama sebagai proses, bukan hasil akhir?
Dalam proses itulah orang akan mencapai kebenaran yang di carinya, baik itu Islam maupun bukan. Bagi saya, Islam tetap yang terbaik, tapi tidak menghalangi pemikiran bahwa agama lain pun baik. Saya menganggap semua agama ditentukan oleh keikhlasan dan kesungguhan pemeluknya. Itulah yang saya minta untuk dihormati, bukan penafian satu terhadap yang lain.
Dengan demikian, saya memasuki sebuah fase baru dalam memandang agama. Fase baru itu adalah pentingnya kesadaran nasional bagi seorang muslim. Saya meyakini diktum al-Qur’an: “Kuciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal satu sama lain“. Kalau Al-Maudoodi berpendapat Islam tidak mengenal batas-batas kebangsaan, menurut saya hal itu tidak mencerminkan ajaran Islam.
Pandangan tersebut tidak berarti saya larang beredar, hanya menyanggah ajaran itu sebagai satu-satunya kebenaran. Karena itu, diperlukan demokrasi untuk menentukan di antara keduanya mana yang diingini rakyat banyak. Mereka yang menolak cara ini sebenarnya tidak bersifat demokratis meskipun mengajukan sesuatu kebenaran ajaran.
Monopoli kebenaran tidak diterima olah agama, sebagaimana juga ia ditolak oleh demokrasi. Dalam hal ini, kita harus menjauhi sikap menghakimi seseorang. Inilah sikap yang logis dalam hal beragama dan hal yang sama juga berlaku sepenuhnya pada proses demokrasi.
Sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita tentang kelembagaan agama. Betapa hebatnya sebuah agama sekalipun, pendiriannya tidaklah mengajarkan orang untuk mencintai kelembagaan apa pun. Yang disampaikan adalah kebenaran, yang dalam Islam berupa tauhid (ajaran tentang keesaan Tuhan dan keutusan Muhammad Saw.). Atas dasar itu, segala macam institusi yang mengatasnamakan Islam sebenarnya hanya bersifat perkiraan (ijtihadi) belaka.
Maka, dalam hal ini saya memahami kebenaran ajaran bermazhab. Karena saya tidak mampu memahami seluruh ajaran, maka ia menyerahkan pada cara yang dia sepakati mazhab-mazhab untuk menghukum segala sesuatu dari sudut agama. Jadi, saya menolak kebenaran anggapan bahwa di samping tauhid dan sejumlah kecil ajaran lainnya (rukun Islam) terdapat kebenaran yang mutlak berlaku untuk segala zaman dan tempat. Semuanya juga bergantung cara menggunakan mazhab untuk mencari status hukumnya. Dengan demikian, dari dalam mazhab juga diambil ketentuan yang benar adalah caranya; bukan hukumnya.
Dengan begitu, saya mempertahankan keyakinan dari kekakuan penerapannya oleh lembaga-lembaga yang mewakili agama. Dalam hal ini, termasuk agama Islam yang tampak dalam bentuk hukum-hukum agama dan ajaran-ajarannya dalam keseluruhan. Perkecualiannya hanyalah ajaran yang paling inti belaka, yang kesemuanya dipertahankan oleh proses demokratisasi kebebasan menyatakan pendapat, persamaan kedudukan, pertanggungjawaban yang terbuka, dan tanggung jawab moral pemimpin terhadap rakyat.
Inilah inti semua ajaran agama, di samping beberapa hal yang khusus, seperti disebutkan di atas (tauhid dan sebagainya). Esensi yang demokratis inilah yang membuat demokrasi berlaku bagi semua agama, termasuk Islam dalam pandangan saya. Karena itu, keyakinan agama arus dihormati, bukan kelembagaannya.