Kata Pengantar: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi

Sumber Foto: https://basabasi.co/tasawuf-relasi-tuhan-dan-manusia-yang-intuitif/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Buku ini merupakan disertasi yang ditulis oleh Dr. Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Kairo, beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila beberapa materi dalam buku ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan yang terdapat pada masa kini, khususnya setelah masa presiden soeharto lengser dari kedudukan beliau. Hal-hal yang sifatnya kekinian itu, yang dapat ditangkap oleh saya – sebagai penulis pengantar ini – akan saya masukkan ke bagian “yang terjadi sekarang” atau “yang akan terjadi”.

Dalam menguraikan hal yang menjadi kesimpulannya, penulis buku ini mengemukakan adanya pergumulan antara tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi dalam bentuknya yang paling vulgar. Yang dikemukakan itu merupakan pandangan-pandangan reinkarnasi, yang di indonesia disebut wahdah al-wujud – suatu paham yang mengikuti pandangan Ibn ‘Arabi. Ini tentu saja merupakan sebuah kesimpulan yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun, dalam perkembangan sejarah, kita perlu melihat lebih jauh lagi apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

Hal berikut yang menjadi perhatian kita adalah kenyataan bahwa penulis tidak menggunakan buku-buku asli (original), tetapi pendapat-pendapat orang dalam hal ini. Contohnya, penulis tidak merujuk ke buku Hed Ouc van Bonang yang ditulis oleh A.A. Thrues, tetapi hanya mendasarkan diri pada sebuah tulisan dalam sebuah majalah yang ditulis oleh seorang ilmuwan Universitas Indonesia. Tentu akan berbeda kesimpulan yang diambil dari pembacaan asli ataupun pembacaan yang dibuat oleh tinjauan orang. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak begitu saja menerima hal yang dikemukakan oleh penulis, walaupun pada umumnya yang disimpulkan oleh penulis adalah hal yang baik dan dapat diterima.

Kesimpulan bahwa, umpamanya, K.H. hasyim Asy’ari adalah orang yang mengikuti tasawuf Sunni, dengan melihat pada keputusan-keputusan beliau yang terdapat pada dua belas kitab yang beliau karang semasa hidup, tentu tidak sepenuhnya menggambarkan pandangan beliau karena seseorang jauh lebih besar daripada tulisan-tulisan yang dibuatnya semasa hidup. Sebagai contoh, baru-baru ini jelas sekali tampak bahwa K.H. asyim Asy’ari adalah salah seorang yang secara umum menerima tasawuf Sunni, tetapi secara pribadi, beliau mengikuti doktrin tahallul (penempatan diri pada makhluk lain). Hal ini terbetik dari ungkapan-ungkapan para ahli atau para pengikut tasawuf falsafi, yang bergerak masih tetap dalam lingkran Nahdlatul Ulama (NU).

Jadi, tidaklah tepat menganggap bahwa keseluruhan ulama NU adalah orang-orang yang menerima tasawuf Sunni dengan meninggalkan tasawuf Falsafi. Terbukti ada bagian-bagian tasawuf Falsafi yang mereka ambil, termasuk di antaranya doktrin tahallul itu. Kalau tidak demikian, tentu beliau akan dianggap sebagai ulama yang kering oleh kaum kebatinan. Sedangkan kita ketahui bahwa mendiang mantan Presiden Sukarno, pada 1941, berdiam selama empat puluh satu hari di Tebuireng, untuk berkhalwat di kuburan nenek moyang beliau, yaitu Maulana Ishaq Al-Tabarqi. Maulana Ishaq inilah yang kemudian diabadikan peranannnya karena asalnya, Al-Tabarqi, merupakan daerah halilintar. Oleh karena itu, didapatlah gambaran pendiri kerajaan Demak di Masjid Agung Demak dalam sebuah ukiran kayu dengan tanda halilintar itu diukirkan pada sebuah punggung kura-kura.

Dengan demikian, jelas bahwa kura-kura sebagai lambang umur panjang atau ban shui hanya digunakan oleh raja-raja dalam legenda Cina, sedangkan halilintar adalah “merk” khusus Maulana Ishaq. Oleh karena itu, ketika Bung Karno sebagai ketururunan Maulan Ishaq berhasil mendirikan Negara Republik Indonesia dengan membuat tugu proklamasi di pegangsaan (sekarang jalan proklamasi), di atas tugu itu dia letakkan sebuah gambar halilintar, sama dengan yang ada di Masid Demak. Dengan kata lain, Maulana Ishaq melalui keturunannya sukarno, juga adalah salah seorang arsitek Negara Republik Indonesia. Nah, jelas bahwa sukarno – yang boleh dikatakan tokoh merupakan tokoh politis karena mendirikan kerajaan – adalah juga keturunan salah seorang tokoh politik lain, Maulana Ishaq. Oleh karena itu, kita tidak usah merasa heran apabila kemudian beberapa abad berikutnya para Wali Songo pun merupakan tokoh-tokoh politik.

Ini jelas sekali tampak karena menurut cara-cara tahallul dapat diketahui bahwa para Wali Songo sebenarnya dinamai Wali Songo dan bukan dinamai syaikh atau syuyukh, atau mursyid dari tarekat karena beliau-beliau adalah tokoh pemerintahan, yang juga adalah tokoh-tokoh politik. Bahkan ada pandangan yang mengemukakan bahwa Wali Songo itu adalah jabatan yang diduduki oleh orang-orang yang berbeda-beda masanya sehingga, misalnya saja, Sunan Kudus itu mempunyai anak-beranak, termasuk diantaranya Katib Anom yang menjadi pegawai kerajaan di Kartasura di masa Amangkurat II.

Demikian juga keturunan Sunan Giri, yang juga adalah Sunan Giri, terkenal sebagai seorang yang betul-betul merupakan tulang punggung negara sebagai sekretaris negara. Sedangkan Sunan Bonang sendiri adalah perwujudan dari seorang tokoh militer yang sangat besar artinya dalam pembentukan tentara muslim yang menyerbu Majapahit lima abad yang lalu. Oleh karena itu, tidak heran, salah seorang diantara panglima yang bertugas di bawah pimpinan Sunang Bonang, yaitu Mbah Ki Ageng Ganjur, yang dimakamkan di Makan Ngroto di Demak (Purwodadi sekarang) adalah tokoh yang dalam hidupnya dinamai Ki Ageng Ganjur karena dia menggunakan ganjur – yaitu perangkat musik dibawah gong tingkatannya – sebagai alat komunikasi karena belum ada HP atau radio berfrekuensi tinggi.

Ki Ageng Ganjur waktu itu dinamakan Ganjur karna dia memimpin pasukan-pasukanWali Songo yang menyerbu Majapahit menyeberangi Sungai Solo dan Sunan Brantas. Untuk itu, dia menggunakan ganjur yang apabila dipukul, pasukan bergerak; dipukul sekali atau dua kali, maka pasukan berhenti, pasukan rakyat itu berjumlah tiga ratus lima puluh ribu orang, jumlah yang jauh melebihi wujud tentara nasional kita saat ini.

Jadi, dari uraian-uraian yang didapatkan dari model tasawuf falsafi berbentuk tahallul ini jelaslah bahwa para Wali Songo itu adalah tokoh-tokoh yang bergerak di dalam bidang kehidupannya sendiri, yang kebanyakan berurusan dengan pemerinahan.

Sunan Ampel sendiri (Raden Rahmatillah) adalah seorang tokoh yang oleh Dr. Habib dari IKIP Malang dinyatakan – sebagai orang yang diberi gelar semasa wafatnya oleh prabu Brawijaya V dari Majapahit – dengan gelar Romo Bayan Ampel karena jasa-jasanya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pembuatan kapal di pelabuhan Ampel atau Pelabuhan Surabaya. Di dalam uraian Dr. Habib itu tampak jelas bahwa peggunaan istilah sangkala Sirno Ilang Kertaning Bumi adalah sangkala untuk tahun 1400 Soko (saka) yang mencerminkan jatuhnya Majapahit. Sirno Ilang Kertaning Bumi, hilangnya cahaya kesejahteraan bumi atau dunia itu saat hancurnya Majapahit. Ini dikuatkan oleh penemuan kitab Babad Pararaton dari kerajaan Majapahit sendiri yang menyebutkan adanya sangkala tersebut, yaitu Sirno Ilang Kertaning Bumi pada tahun 1400 ketika kerajaan Majapahit hancur.

Dengan demikian, menjadi jelas mengapa para Wali Songo menggunakan kata wali. Wali adalah seseorang yang dapat diterima, baik oleh tasawuf Sunni maupun oleh tasawuf falsafi. Itu mencakup pengertian-pengertian reinkarnasi di samping pengertian-pengertian penguasaan atas ilmu-ilmu kesunnian, termasuk ilmu peninggalan Rasulullah Saw. Jadi, kesimpulan ini perlu memperoleh kajian lebih jauh apakah benar demikian karena merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan Islam di Indonesia.

Dakwah di indonesia sejak semula memang dipenuhi oleh aktivitas-aktivitas para wali yang tidak hanya dibatasi oleh wali embilan. Kesucian mereka yang melakukan tahallul, tetapi tetap berpegang pada tasawuf Sunni dengan ayat-ayatnya dan moralitas atau akhlaknya, dapat disaksikan umpamanya pada Sunan Geseng atau terkenal dengan sebutan Sunan Padanaran. Dikatakan Sunan Geseng karena dia selama hidupnya tidak bisa bahasa Arab. Jadi, hanya mengulang-ulang lafal Ya Hayyu Ya Qayyum menjadi Yo Kayuku Yo Kayumu. Mengapa kayu? Pernah, dia berada ditengah hutan dan ketika hutan ini disambar petir dan terbakar seluruhnya, hanya dia sendiri yang selamat walaupun menjadi hangus, terbakar hitam (geseng).

Jadi, terlihat dalam hal ini bahwa para sunan atau wali itu, di samping mengikuti tasawuf sunni, mereka juga menyimpan dalam diri mereka tasawuf falsafi dari para penganut reinkarnasi. Masih harus dilihat, apakah mereka terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang kemudian muncul dalam kebatinan, yaitu ajaran Hindu dan Buddha karena Ibn ‘Arabi sendiri yang memulai ajaran tahallul itu adalah seorang yang tidak mengenal Hinduisme dan tidak mengenal Buddhisme. Mungkin dia mengenal budaya atau peradaban persia yang melahirkan hal itu, kita tidak tahu. Oleh karena itu sangat riskan menganggap bahwa tasawuf Sunni berlawanan dengan tasawuf Falsafi. Berlawanannya adalah pada masa akhir, memang, yaitu ketika bentuk yang paling mencolok, yaitu kejawen yang menolak ajaran tasawuf Sunni itu berkembang. Akan tetapi, kita tidak dapat mengatakan bahwa keseluruhan tasawuf Falsafi adalah kejawen atau kebatinan. Inilah yang sangat penting yang harus diingat oleh kita dan ini memerlukan kajian-kajian yang lebih jauh dari para penulis dan peneliti di kemudian hari.

Suatu hal yang amat mencolok dari yang diuraikan oleh Dr. Alwi Shihab adalah kenyataan bahwa tasawuf Sunni ini banyak sekali mengambil ajaran-ajaran Al-Ghazali yang memang merupakan satu hal yang bersifat baku di dalam kajian-kajian di pesantren. Akan tetapi, ajaran Al-Ghazali ini tidak hanya tertuangkan dalam bentuk Ihya’ ‘Ulum Al-Din (kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), tetapi juga dalam dua karya utamanya,  yaitu Minhaj Al-Abidin (Metodologi Orang Yang Ahli Ibadah) dan Bidayah Al-Hidayah (Bermulanya Petunjuk).

Minhaj Al-Abidin seluruhna berisi doktrin-doktrin tasawuf yang kemudian oleh Syaikh Dahlan Ihsan di Kediri diberi komentar lewat Sirah Al-Thalibin, yang merupakan dua jilid besar yang sekarang dipakai hingga di Afrika Barat; di Kano, Nigeria. Kiai Dahlan Ihsan ini adalah orang yang menjadi santri (murid) Kiai Hasyim Asy’ari. Dengan demikian jelas bahwa Kyai Dahlan tidak akan mungkin mengarang kitab ini tanpa mendapatkan izin dari Kyai Hasyim Asy’ari. Dari sini, jelas pula bahwa kaitan antara Imam Al-Ghazali dengan pesantren adalah kaitan yang hidup sampai pada masa kini. Tidak hanya dalam bentuk Ihya ‘Ulum Al-Din, tetapi dalam berbagai bentuk sebagaimana diterangkan di atas.

Bahkan, Kiai Dahlan Ihsan ini mengarang juga sebuah buku perbandingan bagi buku Imam Al-Ghazali bernama Isyad Al-Ibad (petunjuk bagi Para Hamba). Syarah (komentar) dari Irsyad Al-Ibad ini, yang dibuat oleh Kiai Dahlan Ihsan, masih berbentuk naskah yang berjudul Minhaj Al-Imdad (Metodolgi Pertolongan Tuhan). Jelas sekali di sini tampak bahwa tasawuf yang digunakannya adalah tasawuf Imam Al-Ghazali. Jadi, karenanya, tepat sekali kesimpulan penulis buku ini bahwa tasawuf Sunni adalah terjemahan dari tasawuf Al-Ghazali.

Hal lain yang sangat penting dari buku ini adalah kenyaaan bahwa melalui pembaruan-pembaruan yang diadakan di kalangan pesantren di Jawa pada permulaan abad ke-20, pesantren dapat tumbuh lagi menggunakan kurikulum yang disebut kurikulum salafi karena kurikulum ini bersandar pada hal-hal tekstual, seperti Al-Qur’an dan Hadis. Pendekatan ini sangat penting artinya karena pendekatan ini adalah pendekatan yang diusulkan oleh Imam ‘Abd Al-Rahman Al-Suyuthi dalam bukunya Itmam Al-Dirayah (Penyempurnaan Cara Penyampaian). Lima ratus tahun yang lalu, Imam Al-Syuyuthi membuat silabus bagi pendidikan agama yang diambilkan antara lain dari Ihya’ ‘Ulum Al-Din karya Imam Al-Ghazali.

Dengan demikian, ada 14 butir atau 14 cabang keilmuan islam yang sampai sekarang diakui atau paling tidak masih menjadi bahan baku bagi pendidikan Islam di negeri ini, termasuk yang dipakai oleh mereka yang mengharamkan dan menolak ajaran Al-Ghazali. Jadi, merupakan satu hal yang sangat penting bahwa pesantren dibangun oleh Kiai Hasyim Asy’ari atas dasar Itmam Al-Dirayh tersebut. Ini menunjukan bahwa beliau memegang sekali arti penting yang dimaksudkan oleh Imam Al-Ghazali dalam buku karya agung beliau, Ihya’ ‘Ulum Al-Din.

Hal ini juga tercermin dalam kenyataan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari menamakan organisasi yang didirikannya sebagai Nahdlatul Ulama (Kebangkian kaum Ulama). Kata-kata ulama ini diambilkan dari kitab Syarh Al-Hikam (Syarah Al-Hikam) yang ditulis oleh Ibn ‘Atha’illah Al-Askandari. Dalam buku tersebut dituliskan bahwa ungkapan terpenting dari seorang muslim adalah la tashhab man la ynhiduka ilallahi haluhu wa la yadulluka illalahi maqaluhu (jangan kau temani orang yang perilakunya tidak membangunkan kalian kepada allah dan kata-katanya tidak menunjukkan kalian kepada-Nya). Ini karena, yang melakukan hal itu, yaitu yang menunjukan dan membangkitkan adalah ulama. Dengan sendirinya, organisasi yang didirikan harus mengikuti para ulama dan karena itu disebut kebangkitan kaum ulama. Tentu, dalam hal ini, yang dimaksudkan kebangkitan ulama oleh Kiai Hasyim Asy’ari ini merupakan sebuah kebangkitan moralitas dan kebangkitan ilmu atau pendekatan keilmuan. Kebangkitan moralitas yang dimaksudkan beliau adalah kebangkitan moralitas yang sesuai dengan ajaran Al-Ghazali.

Merujuk ke uraian diatas tidak heranlah jika dia membangun Nahdlatul Ulama berdasarkan teori-toeri yang diajarkan Al-Ghazali mengenai moralitas (akhlak). Ini penting untuk diingat karena dengan melupakan hal ini, orang akan melupakan Nahdlatul Ulama itu sendiri, yaitu ia bukanlah organisasi politik, melainkan sebuah organisasi yang mengutamakan pengetahuan dan moralitas. Nah, seharusnya juga, keputusan Muktamar Nahdlatu Ulama akhir-akhir ini, selayaknyalah dilengkapi dengan kata-kata menurut ajaran agama.

Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa Nahdlatul Ulama kemudian membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai alat politik dan yang sekarang oleh Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, dikukuhkan menjadi sikap Nahdlatul Ulama yang menyantuni semua orang dari partai-partai islam yang ada. Dengan demikian, ada perbedaan sangat besar antara Nahdlatul Ulama dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Oleh karena PKB sebagai alat politik, dapat saja ia mengumpulkan semua orang bukan NU dalam dirinya dan tidak membatasi orang NU dalam dirinya. Semua itu bergantung pada pola-pola persaingan yang akan dikembangkan lebih jauh.

Dengan kata lain, kita melihat bahwa Nahdlatul Ulama kembali menjadi organisasi agama, menjadi organisasi kemasyarakatan, dan terutama adalah organisasi pendidikan. Kalau ini dapat dilaksanakan, impian Kiai Hasyim Asy’ari membuat pesantren sebagai wadah untuk pendidikan dan pembentukan watak untuk pengembangan ilmu akan tercapai dengan sendirinya.

Dalam buku ini juga dinyatakan bahwa terjadi sebuah proses kesejarahan yang amat panjang, yaitu bermula ketika Al-Raniri mengkritik Hamzah Al-Fansuri dan berdebat dengannya dalam masalah-masalah ketasawufan. Oleh karena itu, langsung kita melihat bahwa pendekatan pada islam di negeri ini tidak dapat dikatakan pendekatan tunggal. Hal ini ternyata dari Uraian Dr. Alwi Shihab yang hanya melihat Jawa dan Sumatra tanpa melihat daerah timur Indonesia.

Sultan Bab dari sebuah kerajaan di Provinsi Maluku, yaitu dari Bacan, adalah penganut mazhab Fiqh Hanafi yang dibawa beliau dari nenek moyang yang melampaui Sinciang dan Campa di Kamboja sekarang. Kemudian, dari Bacan, Mazhab ini langsung berkembang di Bima, tetapi Bima saat itu telah dapat dihadapi oleh mazhab Syafi’i sehingga seluruhnya kemudian bermazhab Syafi’i dan berkembang ke seluruh Indonesia pada waktu itu. Sudah tentu, mazhab Hanafi yang dibawa kesini itu lebih menggunakan keutamaan rasio sehingga wajarlah apabila kita menganggap bahwa tasawufnya yang dibawa kesinipun adalah tasawuf falsafi yang sifatnya akal atau rasio murni. Pengikut gerakan ini memang tidak mengembangkan tasawuf Sunni ataupun Tasawuf Falsafi lain, yaitu yang menjadi pengikut Al-Hallaj dengan teori tahallul atau reinkarnasinya.

Dengan demikian, kita melihat bahwa terbuka pintu sangat luas untuk melakuakan kajian-kajian mengenai daerah-daerah timur indonesia, yang mungkin mengembangkan coraknya sendiri, tetapi yang kemudian dikalahkan oleh kerjaan-kerajaan dari Jawa. Ini menjadi penting karena, dengan demikian, kita akan mengetahui secara lengkap sejarah perkembangan Islam di negeri kita.

Suatu hal yang juga sangat penting dikemukakan oleh penulis buku ini adalah terjadinya perkembangan peranan yang besar dari kaum ‘Alawi (orang-orang Syi’ah pengikut Sayyidina Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, saudara Sayyidina Hasan). Dengan demikian, jelas sekali bahwa tiap-tiap tahap perkembangan tasawuf yang ada di indonesia dan pada pengembangan agama Islam, para ‘Alawiyin atau anak keturunan Sayyid Ahmad Al-Muhajir yang digambarkan juga dalam buku ini, memegang peranan yang sangat penting.

Akan tetapi, dalam hal ini penulis disertasi melupakan satu hal, yaitu bahwa perkembangan orang-orang dari Tanah Arab di Indonesia merupakan perkembangan yang juga sangat rumit dan tidak dapat dibatasi pada satu masa saja – dengan satu corak saja. Masa pertama adalah ketika datangnya Cina disini dalam bentuk paham rasionalis atau akal, yaitu salah satu bentuk tasawuf falsafi, sebagaimana terbukti dari adanya masyarakat-masyarakat Cina di pantai utara Jawa. Masyarakat-masyarakat Cina ini bermazhab Hanafi. Ini juga terlihat dari adanya Masjid Sampotoalang di Semarang.

Kenyataan ini sangat penting karena justru sebagai reaksi terhadap perkembangan tasawuf falsafi yang rasional inilah orang Jawa mengembangkan kebatinan, mengembangkan doktrin-doktrin mereka yang sinkretik yang dapat diatasi ketika doktrin sinkretik dari Al-Hallaj masuk ke negeri ini melalui Syaikh Siti Jenar (Tanah Merah atau Lemah Abang). Doktrin-doktrin Ibn ‘Arabi ini dapat menampung kebutuhan sementara bagi kaum kebatinan atau kaum sinkretik Hindu dan Budha sehingga mereka tidak langsung melakukan perlawanan militer, tetapi membiarkan adanya pertumbuhan kultural.

Bahwasanya kemudian gerakan kebatinan yang merupakan lanjutan dari gerakan Syaikh Siti Jenar ini dapat dikalahkan oleh gerakan tasawuf Sunni, itu dapat terjadi karena sebelumnya telah terjadi proses sinkretisasi antara tasawuf falsafi berbentuk pandangan tahallul-nya Al-Hallaj dan pandangan reinkarnasi dari Hindu-Budha, yang dilupakan dalam ajaran atau doktrin Syaikh Siti Jenar. Saya beranggapan bahwa sangatlah tidak bijaksana menganggap bahwa perkembangan tasawuf Sunni adalah satu-satunya perkembangan Islam di Indonesia dan merupakan perkembangan yang benar. Ini karena hal itu merupakan perkembangan yang belum jelas akhirnya. Kita harus menerima juga bahwa orang-orang berpaham kebatinan yang juga merupakan tetesan penerus dari tasawuf falsafi yang dibawa oleh Al-Hallaj dan diperkenalkan disini oleh Siti Jenar sebagai bagian dari penyebaran Islam.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penyebaran Islam di negeri ini mempunyai dua corak. Orang-orang merasa beragama Islam karena diri mereka merupakan penganut tasawuf Sunni. Akan tetapi, mereka juga merasa beragama Islam karena mereka merupakan penganut dari tasawuf falsafi. Ini besesuaian sekali dengan yang dikemukakan oleh Dr. Taufik Abdullah di dalam uraiannya tentang empat jenis hubungan antara islam dan kekuasaan di Indonesia. Yang pertama adalah corak hubungan aceh, Samudra Pasai, dan Perlak, ketika hukum-hukum atau fiqih mengantarkan kaum di kampung-kampung yang kecil menjadi kerajaan-kerajaan yang besar, seperti Perlak, Samudra, dan Pasai. Dengan demikian, wajarlah jika hukum-hukum Islam menjadi bagian dari kehidupan kerajaan.

Jenis kedua adalah hubungan di Sumatra Barat karena budaya minangkabau tidak mengenal adanya kekuatan pusat yang sangat besar. Karenanya, ketika kaum muda yang menginginkan pembaruan pemikiran secara total dan menghilangkan tasawuf di daerah itu berhadapan dengan kaum tasawuf dan pengikut mazhab-mazhab, terjadilah perang seperti yang disebut Perang Padri, yang berlangsung enam belas tahun (1822-1838).  Hanyalah dengan adanya kekuasaan Belanda (Jenderal De Cock), dapat dilerailah pertentangan antara kaum tua yang bersifat tasawuf Sunni dengan kaum muda yang bersifat pembaruan total. Kaum tua ini telah menerima keudukan ninik mamak, yang berarti adanya masyarakat matriarkal di Minangkabau, suatu hal yang tidak terdapat dalam hukum islam.

Dengan kemampuannya menyerap adanya adat yang berlaku di ranah Minangkabau, kaum tua pada dasarnya menggunakan doktrin atau pedoman al-umur bi maqashidiha (masalah-masalah sesaui dengan maksudnya) di dalam memahami bahwa kaum adat juga mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat minangkabau. Hanya, lain dengan masyarakat dengan pembaruan total yang kembali ke fiqh dengan menganjurkan adat, Belanda memaksakan sebuah titik temu, dalam bentuk pepatah (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah). Dengan adanya penyesuaian atau titik temu ini, dianggap tidak perlu ada peperangan lagi meskipun sebenarnya sampai hari ini pun masih ada masalah-masalah diantara kaum muda dan kaum tua di sana. Gambaran bahwa kaum muda mempengaruhi kehidupan di ranah Minang dapat dibenarkan karena memang sejak awal mereka terorganisasi lebih baik. Akan tetapi, ini tidak berarti hilangnya kaum tua atau kaum sufi segera terbukti dari adanya adat-adat tabut (peti mati) di Payakumbuh, kemudian adanya ulama-ulama tasawuf di Tanjung Pinang, Riau, yang kebanyakan belajar di ranah Minang dan berkuasanya para ulama dari Minang di daerah selatan Aceh (Labuan Haji).

Dengan demikian, tampak bahwa perkembangan-perkembangan yang ada menunjukan keragaman dari penyebaran Islam di negeri kita, hal yang tidak terlihat di dalam buku ini. Akan tetapi, memang, sebagaimana dikatakan tadi bahwa buku ini merupakan rintisan yang harus diperhitungkan, yang akan dilanjutkan oleh temuan-temuan dan peneitian-penelitian berikutnya.