Kata Pengantar: Apakah Itu Ekonomi Rakyat?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Penulis kata pengantar buku Perekonomian Indonesia dari Bangkrut Menuju Makmur (Teplok Press, Januari 2003), bukanlah seorang ahli ekonomi. Karena itu, tidak mengetahui lebih mendalam tentang ekonomi rakyat (people economics), dan tidak tahu hal-hal lain mengenai sebuah perekonomian, kecuali dua hal saja. Pertama, ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan manusia, dan bahwa ia memiliki mekanisme sendiri. Selebihnya, haruslah dirumuskan oleh para ahli ekonomi sendiri, dan mereka harus mempertimbangkan kaitan sebuah perekonomian dengan hal-hal lain dalam kehidupan seperti, politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain-lain. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga harus selalu diingat keterkaitan ekonomi dengan hal-hal lain dalam kehidupan sebuah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah terlepas dari perdagangan, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat untuk memisahkan perekonomian kita sendiri dari perekonomian global, yang membuat kita sengsara lebih dari perkiraan kita sendiri.
Hal ini dapat kita lihat pada perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia ini, yang baru berjalan puluhan ribu tahun saja. Karenanya, sangatlah menarik untuk melihat bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil dalam sejarah sebuah bangsa. Hal itu memberikan pengaruh sangat besar kepada para pemimpin bangsa yang bersangkutan, dalam menentukan kebijakan demi kebijakan selanjutnya. Ini adalah bidang tersendiri, yang sering dinamai sejarah perekonomian (economic history), yang merupakan disiplin ilmu, yang harus diketahui seorang penguasa pemerintahan. Namun wajar saja, jika seorang penguasa tidak mengetahui hal itu, mereka mengira apa yang mereka putuskan hanya bersifat teknis belaka, paling tinggi sebagai sebuah “keputusan politik”. Dengan demikian, mereka tidak menyadari keputusan mereka sebenarnya menyangkut bidang politik ekonomi. Bagaikan susu seekor kerbau yang diberi nama sapi, artinya “susu kerbau dianggap sebagai susu sapi” hanya karena sama-sama putih warnanya.
Kerancuan mengira apa yang dibacanya atau diamatinya dari sejarah sebuah bangsa, adalah sebuah keputusan politik, padahal itu adalah keputusan politik ekonomi, pernah juga dialami oleh penulis kata pengantar ini (selanjutnya disebut penulis). Pada waktu baru diterbitkan, penulis membaca karya Arthur M. Schlesinger Jr, penulis pidato masa mendiang Presiden Kennedy, yang berjudul The Age of Jackson. Sebagai dosen Universitas Harvard di bidang sejarah, ia menghasilkan apa yang oleh penulis dianggap sebagai buku sejarah. Baru belakangan disadari penulis, bahwa yang dilakukan Presiden Jackson itu adalah mengambil keputusan politik ekonomi yang sangat mendasar. Jackson memutuskan untuk mengangkat Kepala Gubernur Bank Sentral Amerika dari seorang Jerman berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia memimpin sekian orang direktur dengan jabatan gubernur, dan bersama mereka mengemudikan Federal Reserve System.
*****
Keputusan Jackson membawa perubahan mendasar atas jalannya sistem ekonomi di negara tersebut. Karena ia menganggap pemimpin Bank Sentral di negerinya harus ditetapkan presiden dengan persetujuan kongres. Padahal teori kapitalisme klasik menyatakan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan ekonomi nasional, dan pengangkatan pejabat ekonomi dan finansial sepenuhnya menjadi wewenang pihak swasta bukan pemerintah. Tetapi Jackson justru mengangkat para pejabat pemerintahan untuk mengelola Bank Sentral itu. Hal ini menunjukkan keyakinan Jackson, bahwa urusan Bank Sentral tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi saja, melainkan juga menyangkut pengelolaan uang pajak yang dibayarkan rakyat sebagai warga negara. Untuk melakukan pengelolaan itu dan seterusnya, juga menggunakannya untuk keperluan rakyat, harus dilakukan oleh “orang-orang pemerintah”. Dengan demikian, Jackson berkeyakinan Bank Sentral bukanlah semata-mata bertanggung jawab atas jalannya perekonomian nasional, melainkan juga bertanggung jawab atas tingkat kesejahteraan rakyat.
Apa yang dilakukan Presiden Jackson itu, melahirkan apa yang disebut sebagai “kapitalisme rakyat” (folks capitalism). Bahwa negara biangnya kapitalisme seperti Amerika Serikat, dapat mengembangkan paham kerakyatan seperti itu, adalah suatu hal yang sangat menarik. Ini menunjukkan kapitalisme bukan barang mati melainkan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan. Kebencian Bung Karno terhadap kapitalisme, sebenarnya adalah penolakan terhadap kapitalisme klasik itu, yang hanya dipergunakan untuk mencari keuntungan maksimal bagi para pemilik modal belaka. Jika kapitalisme itu dapat menerima modifikasi, dan dapat dipakai untuk tujuan memperbaiki tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat di sebuah negara, ia tidak patut lagi dibenci seperti itu. Karena itu, kebencian Bung Karno terhadap kapitalisme klasik, bukanlah sesuatu yang harus berlaku secara tetap atau permanen, melainkan juga harus diarahkan kepada modifikasi ideologi tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan besar antara berpikir ilmiah dan berpikir ideologis. Secara ilmiah pandangan apa pun memiliki kemungkinan menerima modifikasi, yang terkadang merubah orientasi dan sejarah pandangan itu sendiri. Sedangkan pemikiran ideologis adalah sesuatu yang “jahat”. Karena itu kita harus bedakan benar pemikiran ideologis dan pemikiran ilmiah. Sewaktu membuat pledoi (pembelaan) di muka pengadilan kolonial di tahun 1931, sikap Bung Karno memang benar, melawan kapitalisme klasik itu. Ini karena pandangan tersebut digunakan untuk menindas bangsa kita. Karena itulah, Bung Karno menulis pledoinya tersebut, yang belakangan diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Indonesia Menggugat.
*****
Sebuah contoh lain dapat dikemukakan dalam hal ini yaitu kebijakan Dr. Hjalmar Schacht, Menteri Perekonomian Jerman tahun 30-an, di bawah Kepala Pemerintahan Adolf Hitler. Ia memutuskan membangun jaringan jalan aspal yang halus (autobahnen) di seluruh negeri, sepanjang lebih dari 80.000 kilometer. Pembuatan jalan raya mobil menggunakan hotmix itu, dengan sendirinya menaikkan pendapatan bangsa tersebut, yang kemudian mendorong munculnya industri pembuatan barang (manufacturing industry) yang kuat. Kita ingat pabrik lokomotif Kruff dan mobil Volkswagen yang tangguh. Bahwa kemudian Hitler tidak mengikuti konsekuensi pandangan Schacht itu, yaitu dengan menempuh kebijakan lebensraum (ruang hidup), dengan negeri-negeri lain, tidak merubah kenyataan bahwa pandangan Schacht itu merupakan sesuatu yang sangat diperlukan bangsa Jerman.
Kesalahan Hitler itu, yang berakibat pecahnya Perang Dunia II dengan korban 35 juta jiwa melayang, kemudian diganti oleh sebuah pandangan lain yang belakangan dikemukakan oleh Kanselir (Perdana Menteri) Jerman Barat Ludwig Erhard. Dengan pandangan yang terkenal “Sozialen Marktwirtschaft”, adalah sebuah upaya untuk meneruskan upaya Schacht itu. Dengan pandangannya itu, Erhard mementingkan fungsi sosial, peningkatan kesejahteraan dan perebutan pasar bagi industri di Jerman di seantero dunia. Yang direbut bukanlah negara, melainkan pasar tanpa melalui peperangan dan melanggar perikemanusiaan. Jelas ini merupakan modifikasi atas kapitalisme klasik yang oleh Karl Marx dan Friederich Engels dianggap mengandung benih-benih “kontradiksi struktural” yang akan menimbulkan kekerasan. Kaum kapitalisme akan berhadapan dengan kaum proletar dalam sebuah kontradiksi maha dahsyat, yang akan meliputi seluruh dunia.
*****
Buku yang ada di tangan pembaca ini, ditulis oleh Hendi Kariawan memang tidak banyak kalangan menyebutkan kontradiksi seperti itu, ataupun menggambarkan modifikasi atas kapitalisme klasik yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Andrew Jackson. Tetapi buku ini sendiri adalah pencerminan dari sebuah pandangan, bahwa perekonomian nasional sebuah negeri memang harus mengabdi kepada kesejahteraan dan tingkat hidup tinggi (high living standard) suatu bangsa. Ini adalah juga pandangan dari kapitalisme klasik yang mengalami modifikasi. Bahwa hal itu kemudian dinamai pandangan ekonomi rakyat, tidak dapat menghilangkan kenyataan adanya modifikasi itu sendiri. Selama perekonomian nasional berdasarkan persaingan atau kompetisi terbuka, dan tetap dalam lingkup perdagangan internasional yang bebas dan menggunakan prinsip efisiensi rasional. Selama itu pula ia tetap akan memelihara semangat kapitalisme walaupun dengan nama lain.
Sumbangan pemikiran ekonomi dari buku ini, adalah sesuatu yang harus kita hargai. Dalam bahasa lain, buku ini manyajikan daya hidup (vitalitas) yang terkandung dalam paham kapitalisme, perlu dikaji secara ilmiah, bukan secara ideologis. Bahwa kemudian muncul sosialisme sebagai lawan kapitalisme tidak berarti “konfrontasi” itu bersifat tetap/permanen. Kalau meminjam filsafat Hegel tentang thesa melawan anti-thesa akan lahir sinthesa, maka dari kapitalisme klasik melawan sosialisme akan lahir pandangan ekonomi rakyat seperti yang digambarkan buku ini.