Arah Dua Pola Kehidupan (8)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sewaktu berkunjung ke Sulawesi Utara baru-baru ini dan beberapa bulan sebelumnya, penulis mendapat pertanyaan dari para petani cengkeh di pulau Sangir; menurut pandangan penulis, apa cara-cara yang dapat dilakukan untuk menaikkan harga cengkeh ke tingkat yang cukup memenuhi penghasilan para petani? Penulis menjawab, hal itu telah didiskusikan dengan Mayor Jendral TNI AD (Purn) Ferry Tinggogoy terakhir menjadi Ketua Fraksi TNI di DPR-RI. Dan kesimpulan dari diskusi pribadi itu adalah bahwa kita harus memperhitungkan stock berupa produksi nasional cengkeh kita, walaupun persediaan stock cengkeh 6 pabrik rokok kretek besar di Indonesia berkisar sekitar 120.000 ribu ton untuk jangka 20 bulan. Caranya yaitu membuat peraturan, bahwa selama cengkeh nasional belum dikonsumsi oleh pabrik-pabrik rokok kretek, kita belum perlu melakukan impor cengkeh dari manapun. Dengan cara ini, maka harga dasar cengkeh akan berkisar sekitar 20.000 sampai 25.000 rupiah per kilogram, dan ini cukup bagi para petani cengkeh yang berbiaya produksi sekitar 12.500 sampai 13.000 rupiah per kilogram.
Memang untuk sementara ada hambatan berupa keengganan tiga pabrik rokok kretek untuk membeli cengkeh nasional. Karena terlalu tingginya biaya pembelian cengkeh dan ongkos-ongkos operasionalnya, plus ‘pungli’ yang harus diberikan kepada sebuah partai politik yang menyongsong pemilihan umum yang akan datang. Ini berarti para petani cengkeh harus turut menanggung biaya pemilihan umum dari partai politik tersebut, sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang.
Keserakahan parpol tersebut, -yang dalam Rakernasnya 2 tahun yang lalu menetapkan angka 5 triliyun rupiah sebagai ‘biaya kampanye’-, tentulah dijadikan alasan korupsi oleh para fungsionaris parpol tersebut. Di sini kita melihat, bahwa beberapa parpol yang hanya berpikir asal menang saja tanpa memikirkan penggunaan etika. Nah, dari parpol seperti itu, bagaimana mungkin diharapkan pemikiran untuk membandingkan pola hidup agraris yang dilaksanakan Sultan Agung Hanyokrokusumo, dan pengembangan pola hidup niaga-laut yang kita perlukan di masa depan? Dapatkah dari mereka diharapkan pemikiran bersungguh-sungguh penting masa depan bangsa ini.
Kembali ke masalah cengkeh tersebut. Kita dihadapkan kepada problem bahwa cengkeh yang dihisap melalui rokok kretek, menurut pihak kedokteran mengandung kadar nikotin yang tinggi. Mau tidak mau ini merupakan persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya, bila kita memang ingin memecahkan masalah-masalah nasional dengan tuntas. Contohnya di Amerika Serikat, walaupun mereka menerapkan tindakan pengamanan dengan mengharuskan adanya peringatan pada bungkus rokok kretek, bahwa menghisap rokok dapat mengakibatkan munculnya penyakit. Namun ‘kebiasaan baru’ tidak mengakibatkan turunnya produksi rokok secara signifikan. Ini dapat dikiaskan kepada kenyataan, bahwa banyak orang mati karena kecelakaan mobil di jalan tol, namun, toch orang banyak masih menggunakan jalan tol juga.
Di sinilah demokrasi, menunjukkan kelebihan sekaligus kekurangannya. Kelebihannya yaitu dengan mengundangkan, hanya perlu mencantumkan pemberitahuan bahaya merokok itu bagi kesehatan. Kalau tidak karena demokrasi, tentulah dipakai cara lain yang berupa pelarangan secara sepihak dan sebagainya. Ini tampak dalam larangan merokok dan mengunyah-ngunyah permen karet dalam kereta api cepat (mass rapid transport/MRT) di Singapura dewasa ini. Peraturan yang bersifat memaksa ini, dapat ‘bertahan’ lama, yaitu sepanjang umur pencetusnya Lee Kwan Yew. Bagaimana jika ia meninggal kelak? Kita tidak tahu apa yang akan diputuskan PM Singapura selanjutnya, meneruskan atau mencabut larangan tersebut.
Rakyat Singapura sekarang memang tampak menjauhi perbuatan menghisap rokok? Karena pemerintahnya hanya memperkenankan hal itu dilakukan dalam tempat-tempat tertentu saja, -yang sudah ditentukan sebagai “ruang merokok” (smoking room)-. Memang sangat sulit untuk mengubah kebiasaan masyarakat akan sesuatu. Untuk mengatasinya dilakukan salah satu dari dua hal berikut: melarangnya dengan undang-undang atau menciptakan kebiasan baru. Terkadang digunakan juga kedua cara diatas secara bersama-sama dan seiring. Kesukarelaan seperti ini dalam pandangan penulis jauh lebih baik, karena sama porsinya antara membela kepentingan masyarakat yang hidup dari sebuah komoditi, dan mengikis habis ‘kebiasaan buruk’ dengan cepat.
Nah, dalam kasus niaga laut cengkeh kita melihat adanya dilema seperti itu. Kalau kita ikuti begitu saja ketentuan-ketentuan dunia kedokteran, maka kita harus melarang penggunaan cengkeh bagi para perokok. Tetapi, kalau hal itu dilarang sama sekali, maka muncul persoalan baru; apakah mata pencaharian baru yang harus disediakan untuk para petani cengkeh? Karena itu, kita harus melakukan dua kerja sekaligus: Di satu pihak menciptakan lapangan kerja baru bagi semua orang termasuk bagi petani cengkeh kita yang ratusan ribu orang itu dimana-mana, dan mencari cara lain melalui riset/penelitian mendalam atas penggunaan cengkeh. Hal inilah yang harus kita lakukan, dalam waktu yang bersamaan, sebelum diketemukan jawaban yang memuasakan yang hanya melalui peringatan dalam bungkus rokok itu.
Tampak jelas bagi kita, bahwa pelestarian/pengembangan pola kehidupan masyarakat berorientasi niaga-laut tidak dapat begitu saja dilakukan, melainkan harus dengan teliti dan berhati-hati. Artinya, tidak seluruh bagian dari kehidupan berorientasi di atas dapat dikembangkan bersama-sama. Ada yang dapat dikembangkan sangat cepat, seperti penangkapan ikan dan pembukaan jalur-jalur niaga baru melalui laut. Ada yang harus dikembangkan dalam jangka panjang, seperti pengeboran minyak bumi dan gas alam di berbagai tempat. Dan justru ada yang dihambat untuk “berkembang” sangat cepat seperti penanaman cengkeh. Esensi permasalahan inilah yang harus kita miliki dalam mengembangkan pola kehidupan niaga-laut.
Perhubungan laut di negeri kita memang cukup unik. Tidak seperti A.S, Inggris Raya ataupun Jepang-Korea., dengan laut lepas di kedua sisinya mereka tidak memerlukan pelayaran Inter-insuler (antar pulau) yang sangat canggih. Kawasan laut kita justru sebaliknya, ada yang memang cukup luas untuk itu seperti laut Jawa dan Arafuru, namun ada pula yang sangat sempit dan memerlukan penanganan serba komplek karean arusnya yang deras. Contoh bagi daerah demikian adalah selat Makasar dan selat Lombok. Namun ada pula yang perairannya berliku-liku, karena begitu banyak pulau-pulau yang ada di dalamnya, sehingga harus melalui navigasi yang cukup rumit, seperti kepulauan Riua. Karenanya, menyusun pola kehidupan niaga-laut yang baru memang mudah dikatakan, namun sulit dilakukan bukan?