Arti Sebuah Buku
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah diskusi di Gedung Perpustakaan Nasional, penulis (Gus Dur) mengajukan sebuah presentasi mengenai sebuah buku jilid I ‘Das Kapital’ yang ditulis Karl Marx lebih dari seratus tahun lalu. Di samping penulis, juga diajukan presentasi lisan dari penerbit terjemahan karya agung tersebut, pihak penerjemah, dan editor.
Di tengah-tengah diskusi yang berlangsung, Dr Franz Magnis Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Rawamangun, Jakarta, diminta menguraikan karya agung itu. Namun, ia mengelak karena memang bukunya sangat tebal. Ia hanya menyebutkan bahwa karya agung itu adalah karya ilmiah dan penuh dengan hasil-hasil penelitian. Yang menarik, ia menyatakan bahwa karya tersebut tidak menentang kapitalisme melainkan menunjukkan banyak aspek dari pandangan tersebut. Karena Romo Franz Magnis Suseno adalah seorang ilmuan, maka ia tidak berbicara secara emosional, tidak seperti kebanyakan agamawan yang selalu berbicara tentang buku itu secara sepihak saja.
Penulis mengemukakan, bahwa buku itu tidak dapat dibaca sendiri saja, melainkan harus dibaca bersama-sama dengan karya-karya tertulis lainnya. Dalam hal ini, penulis kembalikan jasa terbesar sehingga membacanya 40 tahun lalu kepada Ibu Rubiyah, yang belakangan menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan. Beberapa waktu kemudian, ia menjadi Ketua Perkumpulan Wanita Partai Demokrasi Indonesia di bawah pimpinan Suryadi. Penulis tidak tahu, apakah ia sekarang masih hidup dan kalau demikian apakah ia masuk dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Dulu, ia menjadi guru di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gowongan Lor, Yogyakarta. Walaupun ia beragama Katolik, tapi ia memberikan kepada penulis buku-buku tentang sosialis.
Di samping karya agung itu (Das Kapital), penulis juga mempelajari karya-karya Vladimir Lenin, terutama sebuab pamflet tentang ‘penyakit kiri kekanak-kanakan dari kaum revolusioner’, juga pamflet Mao Zedong terutama yang berisikan ‘tiga langkah perjuangan’ yang klasik: “Kalau musuh mengejar kita lari, kalau musuh berhenti kita ganggu, dan kalau musuh mundur kita kejar.”
Penyakit yang dimaksud Lenin adalah perasaan perjuangan mengalami kegagalan, jika belum berhasil ketika aku berhenti menjadi pemimpin. Dengan kata lain, orang menilai kepemimpinannya sendiri terlalu tinggi, sehingga seolah-olah bagaikan bergantung seluruh sukses kepada kepemimpinan seseorang. Padahal terbukti dari kasus pemimpin revolusioner Rusia, Leon Trotsky, bahwa ia dapat dibunuh oleh orang suruhan Joseph Stalin karena berbeda pandangan, tetapi gagasannya tentang revolusi simultan di seluruh dunia tidak terhenti karena itu, sebagaimana terbukti dalam kiprah Tan Malaka di negeri kita.
Salah satu pertanyaan mendasar yang senantiasa diajukan kepada penulis, ketika membahas arti dan tempat ‘Das Kapital’ adalah: apakah arti karya agung itu bagi penulis sendiri? Penulis lalu menjawab, bahwa penulis tidak pernah memahami karya agung itu sebagai sesuatu yang harus diperlakukan tersendiri, melainkan harus dibaca bersamaan sejumlah karya-karya tertulis lainnya. Sebagaimana penulis katakan di atas, ‘Das Kapital’ penulis baca bersamaan sejumlah karya agung lainnya, seperti manifesto politik Karl Marx dan Friedrich Engels, bahkan bersama-sama dengan karya-karya Berdjrosa Richard dan Adam Smith, dan Luxemburg Dyayef. ‘Bacaan gado-gado’ itu akhirnya membentuk pandangan penulis tentang ekonomi. Penulis menolak anggapan sebagian orang bahwa kita harus berpandangan sosialistik penuh atau kapitalistik penuh. Inilah yang membuat mengapa ada yang tidak percaya kepada penulis.
Penulis sekadar mengikuti tindakan-tindakan yang diambil Bung Karno dan kawan-kawan, ketika mereka mendirikan NKRI. Kalau kita lihat, mereka menciptakan negara yang berorientasi sosialistik, yaitu dengan rumusan negara harus menyediakan hajat hidup orang banyak. Tetapi mereka juga mengambil dari ajaran Islam, kesediaan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Pemikiran sosialistik dalam hal ini, tidak mencapuradukkan antara keadilan dan kemakmuran. Demikian juga, pemilikan barang-barang modal oleh pihak swasta ditiadakan. Ini adalah sikap teoritik yang tidak pernah terbukti dalam praktik. Justru kepentingan ekonomi kapitalistik dari subsistem kapitalistik menurut UUD yang kita pakai sampai saat ini.
Sekarang ini, kita sedang menghadapi pilihan yang harus diambil dalam pengembangan sistem ekonomi yang akan dipakai. Ketika para teknokrat ekonomi, yang dalam Kabinet Indonesia Bersatu, Ketua Bappenas Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie, memilih untuk mengutamakan swastanisasi sesuai dengan kehendak Dana Moneter Internasional (IMF), maka mereka meninggalkan UUD yang kita miliki. Mengapa? Karena mereka membiarkan (bahkan melanjutkan) kebijakan untuk melakukan swastanisasi atas sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjaga keberlangsungan orientasi sosialistik yang dirumuskan, dengan kata-kata sederhana: memenuhi kebutuhan dan hajat hidup orang banyak. Kalau ini saja dilanggar, jelaz kita juga melanggar UUD, karena ia masih berbunyi demikian.
Kebiasaan kita untuk mencari jalan pintas seperti itu, justru akan menghantam kita sendiri. Para pemimpin kita dahulu berlama-lama mencari rumusan kompromistik antara berbagai pendekatan yang kelihatannya saling bertentangan. Demikianlah para pendahulu kita itu mencoba mencari ‘jalan tengah’ yang kapitalistik sebagian dan sosialistik sebagian pula. Ini adalah cara yang sehat untuk keluar dari dialektika (pertentangan, pengertian). Yang kita kenal dengan istilah ‘tesa’, ‘antitesa’, tentu akan berkesudahan pada ‘sintesa’. Inilah hukum alam yang tadinya dipercaya oleh para pendiri negeri ini. Hal itu tentu harus dijalankan, dan untuk mengubah tindakan yang diambil dari pandangan itu, kita terlebih dahulu harus melakukan perubahan pada Pembukaan UUD. Karenanya jalan pintas apa pun, harus ditolak sebagai pelanggaran UUD.
Disinilah terletak arti besar dari sebuah karya agung. Begitu karya itu ‘diambil’ hal-hal yang dimuat dalam sebuah dokumen kenegaraan resmi, seperti UUD untuk membawa perubahan, kebijakan haruslah diubah terlebih dahulu. Barulah dengan demikian, kita terbebas dari upaya melanggar konstitusi. Jika kita diam-diam membuat kebijakan baru, dan pura-pura tidak melihat hal itu sebagai sebuah penyimpangan konstitusional, maka kita lalu langsung menjadi para warga negara yang munafik/hipokrit. Kita harus berhati-hati dan bersikap loyal kepada UUD kita sendiri. Bagaimana kita akan menjadi bangsa yang kuat dan negara besar, kalau kita tidak dipercaya orang lain? Dan, kepercayaan seperti itulah yang harus kita pegang teguh.
Dari apa yang diuraikan di atas, jelas karya-karya agung dari masa lampau memiliki arti besar kehidupan kita sebagai bangsa sekarang ini. Kesetiaan kita pada apa yang diputuskan sebagai bagian dari kehidupan kolektif kita, mengharuskan kita untuk menjaga konsistensi antara perbuatan kita dan dokumen-dokumen resmi negara kita. Setiap perubahan kebijakan mendasar, haruslah didahului oleh perubahan redaksional dalam dokumen-dokumen resmi negara kita. Dengan demikian, baru kita dapat membuat sebuah proses yang benar, guna melestarikan atau membuang sesuatu yang merupakan hal biasa dalam sejarah manusia, bukan?