Kata Pengantar: Benarkah Buya Hamka Seorang Besar?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Untuk menulis tentang seseorang, terlebih dulu harus meletakkan pandangan kita sendiri terhadap orang itu. Harus tahu siapa diri kita, sebelum mencoba mengerti orang lain. Dengan demikian, secara sengaja kita memasukkan unsur subyektivitas ke dalam kerja kita, walaupun bukan subyektivitas yang timbul dari hubungan pribadi dengan orang yang kita tulis (personalized subjectivity). Titik tolak kita bukanlah bagaimana kita berpapasan terhadapnya, melainkan dari titik mana kita akan melihat dirinya, lingkungannya dan peranan yang dilakukannya dalam lingkungan tersebut.
Hal itu telah dilakukan oleh sejarawan terkemuka Arthur Schlesinger terhadap Presiden Jackson yang memerintah di Amerika Serikat di abad yang lalu, lebih satu dasawarsa sebelum berkecamuknya Perang Saudara Utara-Selatan. Oleh sejarah, Jackson telah “dihukum” sebagai kepala pemerintahan yang tidak cakap, bermoral bejat dan tidak menyumbangkan apa-apa kepada kehidupan bangsa. “Hukuman sejarah” itu sudah lebih seabad diterima oleh kalangan sejarah sendiri, ketika Schlesinger mempertanyakan kebenarannya. Sebagai sejarawan, Schlesinger menundukkan diri sebagai seorang populis, yang menekankan perhatian kepada aspek-aspek pemerintahan yang menunjang peningkatan derajat dan nasib rakyat kecil. Sikap ini timbul dari keterlibatan sejarawan itu sejak semula kepada ideologi populistis yang dibawakan Presiden Franklin Delano Roosevelt di tahun-tahun sembilan belas tiga puluhan dan empat puluhan, semasa ia sendiri masih menjadi mahasiswa dan kemudian mulai bekerja pada profesinya. Kebijaksanaan New Deal yang dibawakan Roosevelt adalah tambatan hatinya sebagai seorang intelek membuatnya mencari ada atau tidaknya unsur populisme dalam pemerintahan para presiden Amerika Serikat sebelum Franklin Delano Roosevelt itu. Akhirnya ia mendapati bahwa pemerintahan Jackson sangat populistis, terutama dengan penolakannya untuk memberikan izin bagi sebuah bank sentral yang dimiliki oleh swasta. Bank sentral harus berada di tangan pemerintah federal, yang mewakili seluruh bangsa, bukannya hanya segelintir pemilik modal belaka. Berdampingan dengan sejumlah kebijaksanaan lain yang senada, kebijaksanaan populistik Jackson itu dikaji oleh Schlesinger secara terperinci, dan hasilnya adalah gambaran seorang presiden berkaliber besar, bukannya gambaran sepihak yang merendahkan yang dibuat oleh kalangan sejarah sendiri sebelum Schlesinger.
Para sejarawan itu mendasarkan kesimpulan mereka atas “pendapat umum” yang tercermin dalam pemberitaan dan ulasan dalam media massa waktu itu. Oleh Schlesinger dibuktikan dalam The Age of Jackson bahwa media massa waktu itu dikuasai oleh dan melayani kepentingan lawan-lawan politik Jackson. Dari hasil kajian Schlesinger itu pendapat umum di Amerika Serikat berubah dalam abad ini, sehingga Jackson sering disejajarkan dengan presiden-presiden terbesar negeri itu, yaitu Washington, Jefferson, Lincoln dan Franklin Delano Roosevelt. Dari contoh tentang titik tolak Schlesinger di atas, saya menjadi terpana oleh besarnya kekaguman dan pujian orang kepada Buya Hamka. Terpana, kalau digunakan sebagai sebuah “titik tolak” keberadaan saya sendiri sebagai orang muda “masa kini” jelas sekali sulit dimengerti rasa kagum terhadap Buya Hamka itu. Mula-mula tulisan ini akan membicarakan hal itu, yang menyangkut rasa tidak mengerti akan “kebesaran” Buya Hamka sebagai seorang sastrawan, budayawan, ilmuwan, ahli ilmu-ilmu agama Islam, ulama, mubalig, politisi, penganjur asimilasi etnis, pembimbing orang yang ingin memeluk agama Islam, pendidik dan pemimpin. Setelah memeriksa “kebesaran” Buya Hamka dalam kapasitas berbagai “profesi”-nya di atas, akan saya coba untuk mengerti di mana letak kebesarannya secara global dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Sebagai orang muda yang pernah juga turut membaca sejumlah karya sastra dunia, dan tidak lagi dapat dibatasi perhatiannya kepada sastra kita sendiri, sudah tentu saya tidak melihat sesuatu yang istimewa dalam karya-karya sastra Buya Hamka yang sempat saya baca. Apalagi karya-karya sastranya ditulis semasa ia masih muda, belum memiliki kebulatan pandangan tentang manusia, selain kebutuhan menampilkan tokoh-tokoh beberapa karyanya sebagai “muslim yang baik”. Simpati yang ditunjukkannya kepada tokoh-tokoh utama yang senantiasa bernasib malang, pada umumnya berbau kecengengan sikap. Alangkah jauhnya dari kadar watak tragis dan simpati yang halus yang ditunjukkan Dostoievski atas tokoh-tokoh utama semua novelnya, atau katakanlah “keberadaan biasa-biasa saja” (ordinariness) tokoh nelayan tua yang harus bertempur melawan ikan hiu dalam karya Hemingway, The Old Man and The Sea! Apa anehnya orang putus cinta lalu melarikan diri ke Mekah, atau “terputus lakon” dengan jalan tenggelam bersama sebuah kapal, seperti dikisahkan Buya Hamka dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck? Tidak ada yang istimewa, karena tidak diletakkan dalam sebuah tema besar yang benar-benar terasa universal. Kalaupun dicoba untuk dikaitkan dengan “nasib kemanusiaan”, maka hanyalah secara sambil lalu, sama sekali tidak memiliki kedalaman. Tidak ada perkembangan psikologis para pelaku dalam karya- karya sastra Buya Hamka. Seorang pengamat sastra kawakan seperti S.I. Poeradisastra bahkan tidak mampu mengangkat sesuatu yang lebih baik dari karya-karya Buya Hamka, seperti dilakukan dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam buku ini, selain hanya pernyataan Buya Hamka berhasil memasukkan unsur dakwah dalam karya-karya sastranya. Kalau hanya itu kualitas karya-karya sastranya, maka apa bedanya dengan “lakon Islam” melodramatis yang berkualitas buruk, yang disajikan sekian malam per minggunya pada layar televisi kita belakangan ini?
Pendapat di atas tidak berarti saya menolak perlunya “sastra lokal dengan keterbatasannya sendiri, karena pada analisis terakhir sastra hanya akan melahirkan karya-karya raksasa kalau diletakkan dalam konteks lokal. Perang dan Damai-nya Tolstoy tidak akan begitu mengagumkan dan mencekam kalau tidak diletakkan dalam lokasi kalangan bangsawan dan kelas menengah Rusia kala itu. Begitu juga kuatnya warna lokal Jakarta di masa permulaan revolusi kita dalam karya Mochtar Lubis Jalan Tak Ada Ujung memberinya kekuatan luar biasa sebagai sebuah karya sastra. Prinsipnya mudah saja: warna lokal itu memberikan kepada sebuah karya sastra kerangka kongkret dan hidup untuk mengekspresikan tema-tema umum kemanusiaan. Tema umum itu akan didukung oleh warna lokal itu, sehingga terasa benar bahwa tema itu bukannya sesuatu yang dipaksakan, melainkan sesuatu yang memang sudah inherent ada dalam kehidupan yang dicoba digambarkan oleh warna lokal itu. Realitas yang dimunculkan oleh warna lokal dengan demikian akan diangkat derajatnya menjadi keprihatinan universal yang memiliki keabsahan sebagai persoalan siapa pun di dunia ini. Kualitas sebuah karya sastra ditentukan oleh halusnya jalinan antara tema umum dan warna lokal yang disajikan, tidak peduli dari jenis apa pun karya sastra itu berasal, sastra kapitalistis yang dekaden maupun sastra sosialistis yang ideologis, sastra agama maupun sastra sekuler dan sastra yang semata-mata untuk seni maupun sastra yang sarat dengan pesan-pesan kemasyarakatan (walaupun tetap belum berwatak ideologis).
Walaupun karya-karya sastra Buya Hamka mengasyikkan untuk dibaca, karena warna lokalnya begitu hidup menggambarkan keadaan para pelaku yang hampir semuanya muslim taat yang menjadi perantau di tanah orang, tetapi tidak terasa adanya jalinan yang mengangkat masalah yang dihadapi para pelaku itu menjadi masalah umum kemanusiaan. Persoalan Hamid dan Zainuddin diputar balik tetap hanyalah merupakan persoalan mereka masing-masing, bukannya persoalan kita semua. Paling-paling hanya persoalan sejumlah anak muda yang kebetulan bernasib sama. Hal ini berbeda dengan masalah ketakutan yang begitu mencekam guru Isa dalam Jalan Tak Ada Ujung, yang membuatnya menjadi impoten. Namun ketakutan yang semula digambarkan sebagai masalah pribadi guru Isa, dilambangkan oleh impotensi yang diakibatkannya, akhirnya “diangkat” menjadi tema umum universal, karena di dalamnya ada sebuah proses yang ditunjukkan dapat kita lalui untuk mengatasi kelemahan kita: kalau mampu kita hilangkan ketakutan yang ada dalam diri kita, maka kelemahan yang ada tidak lagi akan menjadi kelemahan, bahkan berubah lagi menjadi kekuatan. Kemalangan yang dihadapi para tokoh dalam karya-karya sastra Buya Hamka tidak menimbulkan apa-apa dalam diri kita di luar rasa kasihan dan simpati sesaat kepada diri mereka belaka, tetapi kemalangan guru Isa (yang jauh lebih dahsyat, karena menyangkut fungsi biologis dan sekaligus keberadaan seksualnya sebagai seorang pria) mengajarkan kepada kita pentingnya arti menyelesaikan ketakutan-ketakutan kita sendiri.
Sepintas lalu cara seperti ini yang digunakan untuk mendudukkan nilai karya-karya sastra Buya Hamka mungkin terasa tidak sepadan dengan sikap pengarangnya sendiri, yang tidak pernah menonjolkan karya-karya itu sendiri sebagai produk sastra kelas satu. Dilihat dari uraian Emzita dan lain-lainnya dalam bagian lain buku ini, jelaslah bahwa kehendak Buya Hamka justru lebih sederhana, yaitu sekadar dapat “diterima masyarakat”. Penilaian dari sudut pandangan kritik sastra sudah tentu tidak terasa adil, karena pengarang karya-karya itu sendiri tidak mempersiapkan diri bagi “pembedahan” seperti itu. Tetapi penglihatan lebih dalam akan menunjukkan kepada kita pentingnya arti telaahan seperti dilakukan di atas. Pertama, karena dengan itu lalu terjawab ketidakmengertian saya sendiri tentang tempat Buya Hamka, yang saya rasakan semula ketika membaca pandangan orang tentang karya-karya tersebut. Kedua, karena pengetahuan lebih mendalam akan karya-karya sastra Buya Hamka itu akan mematangkan kita lebih jauh kalau akan melakukan telaahan karya-karya sastra para agamawan, tidak terbatas hanya pada ulama muslim saja, atau ulama Indonesia belaka.
Kadar keberagamaan karya-karya sastra untuk memasukkannya ke dalam kategori “karya agama” (dalam kasus Buya Hamka kategorinya menjadi “karya dakwah”) sulit ditetapkan. Seri novel komedinya Guareschi tentang pastor Don Camillo di sebuah desa Italia setelah Perang Dunia II jelas bersifat satire, menertawakan sikap-sikap beragama tidak rasionalistis yang ditunjukkan olah para agamawan Katolik dan gembalaan mereka. Tetapi di balik sindiran-sindiran halus (tetapi sering tajam) yang diarahkan kepada lembaga-lembaga keagamaan Katolik itu tersembunyi dalam kekaguman akan vitalitas agama tersebut untuk turut membangun kembali Italia yang habis dilanda kehancuran akibat perang. Demikian pula, hedonisme masyarakat kelas menengah Amerika Serikat di masa purnaindustri sekarang ini sama sekali tidak memberikan tempat bagi agama dalam novel John Updike, Couple. Ritus pergi ke gereja di hari Minggu hanyalah menyembunyikan kemunafikan masyarakat kecil yang dipotretnya dengan sangat menawan: alkoholisme adalah ciri umum warga masyarakat itu, hubungan seksual di luar perkawinan adalah pola utama “hubungan sosial” di dalamnya (termasuk meluasnya rasa cemburu, kedengkian dan kemarahan antara mereka yang terlibat di dalamnya), dan ketidakpedulian kepada aspek-aspek transendental kehidupan ini adalah wajah utamanya. Namun, di balik gambaran serba duniawi itu dapat ditemui pengembaraan spiritual dengan pola keinginan tahu yang membawa kepada tuntasnya mengenyam “kenikmatan dunia” (worldly pleasures), akhirnya membawa kepada kejenuhan, dan berujung kepada kesadaran (betapa rapuhnya sekalipun) akan sebuah wujud yang transendental. Bukankah ini esensi agama, menurut pemahaman orang seperti Updike? Kalau memang demikian, dapatkah novel laris itu dimasukkan ke dalam “sastra agama”? Apakah batasan kategori itu yang sebenarnya? Sastra “baik-baik” sajakah yang patut dimasukkan ke dalam kategori tersebut, sarat dengan khotbah dan pesan-pesan moral yang berwatak idealistik? Ataukah mungkin juga “sastra urakan” dan “sastra sekuler” dimasukkan ke dalam lingkupnya? Jelaslah dari pertanyaan-pertanyaan tak berjawab itu, hubungan antara sastra dan agama sangat kompleks, dan dari titik tolak kompleksitas inilah harus dilakukan kajian dan telaahan atas karya-karya sastra Buya Hamka, bukan dengan hanya sejumlah pernyataan kekaguman yang tidak akan membawa kita ke mana pun. Demikian juga upaya setengah-setengah untuk melakukan analisis “sastra” atas karya-karya tersebut, tanpa berani menggunakan ukuran-ukuran paling keras atasnya. Sikap dan kecenderungan seperti itu hanya akan merugikan citra Buya Hamka saja sebagai seorang sastrawan.
Demikian juga, sebagai seorang budayawan Buya Hamka tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Kecuali kalau dengan kata budaya dimaksudkan hafalan, karena memang perbendaharaan hafalannya terkenal legendaris (walaupun hal itu biasa-biasa saja di kalangan dunia pendidikan yang menjadi latar belakang hidupnya, yaitu dunia surau di Sumatra dan pesantren di Jawa). Data informasi dan fakta yang diketahuinya memang banyak sekali, merupakan kekayaan tersendiri. Tetapi jelas pula, Buya Hamka sangat dirugikan oleh keterbatasan yang bersifat sarana, yaitu sedikitnya bacaan bermutu tinggi yang sampai ke tangannya di luar soal-soal keagamaan Islam. Hal ini disebabkan oleh pincangnya penguasaan Buya Hamka atas bahasa asing Yang benar-benar dikuasainya, baik sebagai bahasa percakapan maupun bahasa literer, hanyalah bahasa Arab, di samping bahasa ibu dan bahasa nasionalnya. Masalah- masalah budaya yang dihayatinya, dengan demikian, sangat kekurangan informasi tentang masalah-masalah besar dalam percaturan antarbudaya pada tingkat dunia. Perhatian “internasional”-nya masih terbatas pada perkembangan budaya di Timur Tengah, atau pada masa lampau kebudayaan “oikumene Islam”. Kalau mau digunakan istilah sejarawan Arnold J. Toynbee.
Memang, Buya Hamka dengan gigih membela kebebasan menyatakan pendapat dan memperjuangkan penghapusan segenap jenis sensor dan kekangan menyatakan pikiran, tetapi itu tidak berarti ia mengajukan kerangka konseptual yang berwatak operasional untuk memenangkan perjuangan itu sendiri. Di manakah letak hak dasar untuk menyatakan pendapat secara bebas itu dalam kerangka umum kebudayaan nasional kita menurut Buya Hamka? Bagaimanakah hak dasar itu akan diperjuangkan, sebagai bagian dari sebuah perjuangan struktural untuk mengubah seluruh susunan kehidupan masyarakat, ataukah hanya bersifat perjuangan kultural untuk menyadarkan semua pihak saja, tanpa melakukan perubahan apa pun dalam struktur kehidupan masyarakat? Di balik begitu banyak produk tulisannya, yang memasukkan Buya Hamka ke dalam kategori budayawan kalau digunakan pengertian budaya sebagai semua hasil karya manusia yang bersifat pemikiran dan budi, hampir tidak dapat ditemui pembahasan tentang konsepsi kebudayaan yang benar-benar utuh dan bulat (bukan hanya sekadar deretan pertanyaan yang terlepas satu dari yang lain) di dalamnya, apalagi yang bersifat operasional.
Buya Hamka adalah peminat budaya hanya dalam artiannya yang paling dasar, bukannya budayawan dalam arti yang lebih khusus. Mereka yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang kebebasan berpikir dan kemerdekaan berpendapat secara penuh. Karena itu, misalnya, tidak kita temui polemik berkepanjangan antara Buya Hamka dan para budayawan lain tentang corak kebudayaan yang diingininya. Dalam sejumlah tulisannya yang sedikit banyak menyinggung tentang masalah kebudayaan, jelas sekali adanya kelangkaan pemikiran strategis tentang hal itu. Kenyataan ini menerangkan mengapa sebenarnya sedikit sekali terjalin hubungan pemikiran antara Buya Hamka dan kelompok-kelompok budaya yang terdapat di Indonesia masa kini. Lingkaran-lingkaran budayawan di berbagai tempat, seperti Jakarta dan Yogyakarta, seolah-olah tidak pernah mengenal siapa Buya Hamka dari sudut bidang spesialisasi mereka itu. Yang dekat dengan Buya Hamka adalah lingkaran para budayawan muslim tua yang memang sejak dulu menjadi pengagumnya. Tampak nyata dalam hal ini, bahwa Buya Hamka yang sering melontarkan pendirian dan sikap kontroversial dalam berbagai masalah, malahan hanya menjadi penonton pasif saja di bidang kebudayaan, yang seharusnya merupakan inti kegiatan berpikirnya selaku seorang yang memiliki fungsi ganda dalam kehidupan bangsa: ulama yang sekaligus sastrawan, dan pemimpin sebuah lembaga keulamaan berlingkup nasional yang juga adalah komunikator ulung dalam kapasitas perorangan.
Padahal Buya Hamka sebenarnya memiliki perhatian serius atas masalah-masalah kebudayaan, seperti terbukti dari kritiknya yang tajam atas adat yang usang di daerah asalnya, kecintaannya yang mendalam kepada sejarah (walaupun terbatas sejarah bangsa sendiri, di samping sejarah bangsa- bangsa muslim) dan penjelajahannya yang tuntas atas perkembangan pemikiran di dunia berbahasa Arab. Ada sebuah sebab yang mungkin dapat ditunjuk sebagai penyebab langkanya perhatian Buya Hamka secara serius dan konsisten atas masalah-masalah dasar pengembangan sebuah kebudayaan nasional bangsa kita di masa kini dan masa depan. Sebab itu adalah begitu penuhnya keterlibatan Buya Hamka kepada “keIslaman hidup” (the Islamicity of life, Islamiyyatul hayah), yang membuatnya sering menomerduakan hal-hal yang tidak langsung berkaitan dengan jalan hidup dan ajaran Islam. Padahal dunia budaya suatu bangsa justru sering tidak memiliki kaitan langsung dengan agama, melainkan menjadikan agama hanya sebagai salah satu (bukan satu-satunya) unsur pemberi corak kepada kehidupan bangsa itu sendiri. Di samping itu, pemikiran budaya harus didasarkan pada sebuah kerangka pemikiran yang berwatak falsafi, dan dengan demikian diarahkan kepada sebuah konsep dasar tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan. Pemikiran falsafi inilah yang sebenarnya justru asing bagi Buya Hamka, karena kecurigaan aliran pemikiran Islam yang dianutnya (kaum muda, mereka yang kembali kepada kedua sumber Islam. Al Qur’an dan Hadis) yang sangat berlebih-lebihan terhadap falsafat. Hal ini pada gilirannya adalah akibat perkembangan sejarah masa lalu Islam sendiri, yang membuat artodoksi agama di dalamnya bertempur habis- habisan, yang dilambangkan oleh “kemenangan” Al Ghazali seribu tahun lampau atas para filsuf muslim sendiri. Tidak adanya Buya Hamka dengan pemikiran falsafi ini tampak antara lain dalam caranya menggunakan kata falsafat itu sendiri dalam tulisan-tulisannya. Seperti yang digunakannya sebagai judul salah satu bukunya, Falsafat Hidup, yang isinya justru mencerminkan refleksi yang nonfilosofis! Tidak ubahnya orang Jawa yang menyatakan: “Falsafat saya adalah alon–alon waton kelakon.”
Karena itulah, kaitan Buya Hamka dengan kebudayaan lalu tidak berbentuk pemikiran budaya, melainkan hanya sampai taraf “semangat budaya” saja. Semangat dalam arti ia merasa dekat, tanpa memberikan prioritas kepada penyusunan pemikiran konsepsional tentang kebudayaan itu sendiri. Bak orang tua yang akrab dengan anaknya, tetapi menyerahkan konsepsi pendidikan sang Anak itu kepada guru yang mengajar di sekolah. Tidak merugikan siapa pun, melainkan harus disayangkan, karena kita justru kehilangan peluang untuk memperoleh sudut lain sama sekali dari yang biasa kita dengar dari pandangan para budayawan umumnya. Peluang emas yang hilang begitu saja, karena kita tidak tahu lagi kapan akan mendapatkan seorang ulama yang sekaligus sastrawan dan memiliki perhatian besar kepada kehidupan sebagaimana adanya saja, atau dengan kata lain bebas dari sikap apriori dan jauh dari sikap doktriner dalam menilai segala sesuatu.
Sebagai ilmuwan, juga tidak ada sesuatu yang istimewa pada diri Buya Hamka, selain fakta sebagai seorang otodidak ia memang berhasil menyerap banyak sekali informasi keilmuan yang akhirnya menyatu dalam dirinya, dan akhirnya dengan dirinya dalam sebuah sikap hidup yang menghargai ilmu pengetahuan pada umumnya. Tetapi kekaguman orang atas kemampuannya sebagai otodidak untuk menyerap begitu banyak informasi, menyembunyikan di balik “kehebatan”-nya sebuah harga yang sangat mahal yang harus dibayarkan sebagai “orang pandai”: informasi keilmuan yang dicernakannya secara keseluruhan berwatak sporadis, tidak disertai kelengkapan dan peralatan metodologis yang akan mampu memanfaatkan ke semua informasi yang masuk itu sendiri bagi penyusunan sebuah kerangka berpikir yang tuntas dan memiliki kedalaman. Sudah bukan rahasia lagi, kilatan-kilatan pemikiran Buya Hamka lebih banyak berupa “pernyataan umum” saja tentang sesuatu persoalan, tanpa ada penguasaan penuh atas apa yang dipermasalahkan itu sendiri. Ini tampak nyata dalam bidang yang paling dibanggakannya, yaitu sejarah (lebih khusus lagi, sejarah perkembangan Islam). Begitu banyak nama, tanggal dan peristiwa yang diingatnya di luar kepala, sehingga boleh dikata dapat dinamai “pengetahuan ensiklopedis”. Tetapi anehnya. Sekalipun belum pernah Buya Hamka menyinggung masalah historiografis yang berkaitan dengan rekonstruksi sejarah masa lampau Islam, sepanjang ingatan kita. Padahal, tanpa peralatan seperti historiografi, falsafat sejarah dan sebagainya, fakta sejarah (yang juga masih harus didudukkan apakah benar fakta sejarah) tidak akan memberikan kesimpulan memuaskan bagi keperluan pemahaman masa lampau umat manusia bagi kepentingan bersama di masa depan. Kalau dipaksakan, maka yang muncul adalah penafsiran sporadis yang asal menafsirkan saja atas sejarah!
Sebagai akibat, kesimpulan yang dibuat Buya Hamka dari begitu banyak data historis yang ditumpukkannya di hadapan kita sering terasa hampa, tidak mampu berbicara sebagai sesuatu yang benar secara keilmuan. Dalam istilah keilmuan. “kebenaran” seperti ini dinamai kebenaran semu (halftruths), yang hanya memberikan kepuasan rohani untuk sesaat, tanpa memberikan pemecahan berarti bagi soal-soal besar yang kita hadapi. Seperti dikemukakan di atas, yang diproduksinya akhirnya hanyalah pernyataan-pernyataan umum belaka, yang sebenarnya bisa saja datang dari orang yang bukan ilmuwan. Demikianlah gambaran dari mahalnya harga yang harus dibayar Buya Hamka karena proses belajar yang dilaluinya dulu — sebagai seorang otodidak yang mengabaikan prinsip- prinsip keteraturan ilmiah. Ini bukan hanya terbatas pada Buya Hamka saja, melainkan umumnya para pemimpin bangsa kita produk masa lalu. Soekarno, Moh. Yamin dan M. Natsir adalah contoh-contoh yang paling mudah dikenal (dan untuk adilnya, juga ayahanda penulis, K.H.A. Wachid Hasjim). Dengan mengemukakan ini, tidak ada maksud untuk meremehkan prestasi keilmuan angkatan pendahulu itu, karena di sini disadari sepenuhnya bahwa mereka menjadi demikian semata- mata disebabkan kondisi obyektif di luar diri mereka, sebagai akibat dari kenyataan bahwa mereka hidup dalam masa penjajahan. Di bidang masing-masing, mereka memiliki penguasaan penuh atas semua faktor pendukung bidang itu sendiri. Soekarno menguasai bidang teknik secara tuntas, Moh. Yamin demikian pula di bidang ilmu hukum. Sedangkan Buya Hamka tentunya di bidang ilmu-ilmu agama Islam (yang juga masih harus dikaji lebih jauh nanti). Di luar jangkauan bidang masing- masing barulah dapat dilihat kekurangan mereka sebagai otodidak. Dari sudut penglihatan inilah harus dipahami kesimpulan berikut: baik Soekarno, Yamin maupun Buya Hamka adalah sejarawan amatir yang tidak memiliki penguasaan profesional.
Sebaliknya Mohammad Hatta adalah otodidak yang harus dikagumi di bidang falsafat (walaupun juga terbatas hanya pada penguasaan elementer belaka), termasuk falsafat pengetahuan. Ia tidak memperoleh pendidikan formal penuh di bidang tersebut, tetapi kekurangan itu ditutupnya dengan ketekunan mempelajari falsafat sebagai wilayah perhatian yang digarap dengan serius, yang terletak di bidang ilmu ekonomi yang menjadi spesialisasinya sejak semula. Tetapi Hatta dapat berbuat demikian, karena memang metode berpikir dasar secara keilmuan, yang diperolehnya dari pendidikan formalnya dulu, memungkinkan ia mendalami wilayah perhatian barunya itu secara berarti. Dilihat dari sudut penglihatan ini, tampak antara Hatta dan Buya Hamka terdapat perbedaan menonjol: Hatta menjadi ilmuwan karena menguasai permasalahannya, sedangkan Buya Hamka dianggap ilmuwan juga karena penyerapannya yang luar biasa atas informasi keilmuan. Keragaman yang seperti inilah yang sebenarnya memperkaya kehidupan ilmu pengetahuan satu bangsa, tetapi adalah jauh dari kebenaran untuk mengajukan penilaian bahwa Buya Hamka adalah ilmuwan dalam bidang yang menjadi wilayah perhatiannya. Citra “kehebatan” Buya Hamka di bidang ilmu pengetahuan, katakanlah dalam semacam “acuan serba bisa” (jack–of-all–trades), pada akhirnya justru membahayakan kebolehannya yang memang harus diakui, yaitu bidang ilmu-ilmu agama Islam. Kebolehan Buya Hamka di bidang yang satu ini memang meyakinkan. Pengetahuannya tentang Islam sudah bulat dan utuh tinggal terserah Buya Hamka sendiri akan diapakan. Ilmu- ilmu agama klasik, keempat belas mata pelajaran yang dirumuskan oleh Al-Sayuti dalam Itmam Al–Dirayah-nya, seluruhnya dipelajari Buya Hamka di bawah bimbingan ayahnya. Dengan demikian, pengetahuan agamanya bersifat menyeluruh, baik menyangkut “materi inti” berupa ajaran- ajaran agama itu sendiri dalam berbagai pembidangannya, tetapi juga metode-metode yang digunakan untuk memahami ke semua materi itu dan menyusunnya ke dalam sebuah disiplin tunggal. Ditambah oleh perhatiannya yang besar kepada sejarah bangsa-bangsa muslim dan keasyikannya kepada ungkapan-ungkapan (dan kutipan) sastra Arab klasik, apa yang disajikannya dalam masalah-masalah keagamaan umumnya terasa sangat menawan. Ditambah pula oleh orientasi pemikirannya yang bersifat tanggap kepada kebutuhan masyarakat akan perubahan, sajian (discourses) yang dikemukakannya terasa “menghanyutkan” bagi banyak orang, tidak terkecuali mereka yang mengetahui secara pasti kekurangan Buya Hamka di bidang- bidang lain.
Kedalaman pengetahuannya di bidang ilmu-ilmu agama Islam itu akhirnya membawa Buya Hamka kepada keleluasaan untuk mencapai beberapa hal sekaligus. Pertama, rampungnya karya monumental Buya Hamka, yang diselesaikan penerbitannya secara lengkap hanya beberapa waktu saja sebelum ia wafat, yaitu Tafsir Al–Azhar yang dimulainya ketika ia berada dalam tahanan di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Karya tersebut monumental, karena di dalamnya Buya Hamka mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam, ditambah pengetahuan non-keagamaannya yang begitu kaya dengan informasi. Kedua. Buya Hamka berhasil mendudukkan kembali beberapa aspek ilmiah yang tadinya hilang dari perhatian sebagian kelompok muslim dalam pengetahuan tentang agama mereka, yaitu tentang Tasawuf. Sebagai obyek kajian ilmiah, Tasawuf pernah menjadi momok bagi kalangan pembaruan diperempat pertama abad ini, sebagian besar karena penolakan mereka atas praktek-praktek kaum tarekat penganut Tasawuf, yang salah dan bahkan bertentangan ajaran agama dalam pandangan mereka. Dengan Tasawuf Modern, Buya Hamka mengembalikan kedudukan Tasawuf sebagai wahana peribadatan yang mendekatkan seorang muslim dan Allah, dengan memisahkannya dari ekses-ekses yang terjadi dalam penerapan. Keharuan pengalaman spiritual dalam berdoa dan menempuh pola kehidupan asketik akan menambahkan dimensi lain pada kekakuan dan kekerasan sikap yang umum terdapat di kalangan kelompok pembaruan di mana pun di dunia, tidak termasuk kaum muda muslim yang menjadi afinitas Buya Hamka sendiri. Sangatlah besar jasanya dalam mengembangkan sikap asketik (atau yang dinamakan Mitsuo Nakamura sebagai “akhlak tasawuf”) dalam kehidupan warga Muhammadiyah dan gerakan-gerakan pembaruan modernist lainnya. Dampak buku Tasawuf Modern ternyata sangat besar, karena ia memberikan legitimasi kepada kecenderungan yang memang sebenarnya sudah ada, tetapi masih tersembunyi oleh semangat “memperbarui” yang mewarnai sikap para pengikut gerakan Muhammadiyah pada masa-masa permulaan pertumbuhannya. Kalau dibandingkan sikap orang muda Muhammadiyah dari masa sebelum Perang Dunia Kedua dengan sikap warga Muhammadiyah sekarang terhadap kebiasaan “tirakatan” dalam peribadatan murni, akan tampak beda yang sangat besar antara keduanya. Perbedaan itu, yang menunjukkan kematangan sikap, tidak lain datang dari pengetahuan bahwa “tirakatan” itu sendiri bukanlah sesuatu yang harus ditolak, selama tidak nyata-nyata bertentangan dengan ajaran agama. Dari sudut pengenalan hal-hal seperti itu dari sudut pandangan ilmu-ilmu keagamaan justru harus dimengerti sumbangan Buya Hamka, antara lain melalui buku Tasawuf Modem tersebut.
Walaupun cukup besar sumbangannya kepada pengembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam di negeri ini, sebenarnya apa yang diperbuat Buya Hamka juga bukan sesuatu yang harus diterima secara berlebih-lebihan. Kalau dibandingkan dengan sejumlah orang lain yang memberikan sumbangan lebih besar, akan tampak kecil sumbangan Buya Hamka itu. Misalnya saja kalau dibandingkan dengan beberapa tokoh pesantren terkemuka, seperti K.H.M Nawawi Banten di penghujung kedua abad yang lalu K.H.M Hasjim Asj’art yang meninggal tahun 1947, dan bahkan Tengku Hasbi Ash-Shiddieqy yang meninggal lebih dulu beberapa tahun dari Buya Hamka. Kiai Nawawi Tanara berjasa besar dalam menegakkan supremasi penguasaan ilmu-ilmu keagamaan Islam dalam Dunia Islam semenjak pertengahan abad yang lalu. Para ulama Indonesia (dikenal dengan sebutan Ulama Jawa) di Mekah merupakan saingan berat bagi lembaga- lembaga pengetahuan keagamaan seperti Al-Azhar di Kairo, Mesir, dan Madrasah Al-Zaituniyah di Tunisia waktu itu. Demikian penuh penguasaan mereka atas kehidupan ilmu-ilmu keagamaan Islam, sehingga Kiai Nawawi memperoleh gelar “pemuka ulama Hijaz” (sayyid ‘ulama al–Hijaz, dengan Hijaz dimaksudkan kawasan Saudi Arabia sekarang yang meliputi kedua kota suci Mekah dan Madinah). Kiai Nawawi-lah yang membina dan kemudian mengembangkan tradisi keilmuan berstandar tinggi dan akhirnya ulama-ulama kelas satu sebagai hasil yang logis. Dari “tangan” beliau lahirlah ulama-ulama besar seperti Syaikh Khatib Padang, K.H.M. Hasyim Asy’ari Tebuireng, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Ihsan Kediri, K.H.A. Wahab Chasbullah Jombang dan K.H.M. Bisri Syamsuri yang menjadi Ra’is ‘Am Nahdlatul Ulama dan Partai Persatuan Pembangunan yang meninggal dunia tahun 1980.
K.H.M. Hasjim Asj’ari, pendiri formal Nahdlatul Ulama juga besar sekali jasanya dalam meningkatkan standar ilmu-ilmu keagamaan Islam di negeri ini. Di pesantrennya di desa Tebuireng tergembleng santri-santri yang dikemudian harinya akan menjadi ulama besar, seperti terlihat dari banyaknya jumlah pengasuh pesantren “kelas satu” di masa ini, yang dulunya lulus dari Pesantren Tebuireng. Terkenal sekali keahliannya dan penguasaannya yang penuh atas ilmu-ilmu Tafsir dan Hadis. Tetapi, yang lebih besar lagi tetapi tersembunyi dari pandangan orang banyak, adalah sikapnya yang keras terhadap ekses-ekses yang terjadi dalam penerapan ajaran Tasawuf di kalangan para pengikut Tarekat pada awal abad ini. Sikap itulah yang akhirnya membawa kepada munculnya para ulama Fiqh (Hukum Agama) sebagai kelompok yang mendominasi kehidupan beragama Islam minimal di lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi pesantren yang kuat. Perbedaan antara K.H.M. Hasjim Asj’ari dan Buya Hamka terletak pada tingginya standar penguasaan ilmu-ilmu keagamaan yang mendukung kiprah mereka untuk mendudukkan kembali Tasawuf. Demikian pula, hasil akhirnya ternyata berbeda: pada K.H.M. Hasjim Asj’ari kiprahnya berujung pada peningkatan standar Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmiah, pada Buya Hamka berkesudahan pada perubahan perilaku keagamaan Muhammadiyah.
Tengku Hasbi Ash-Shiddieqy juga jelas sangat besar jasanya, karena di tangannyalah terjadi kepesatan sebuah disiplin ilmiah baru di lingkungan ilmu-ilmu keagamaan Islam, yaitu ilmu perbandingan mazhab dalam lingkup Ilmu Fiqh. Ini dapat disaksikan dalam karya-karyanya di bidang itu, hasil memberikan kuliah di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Jasa ini besar dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan Islam, yang boleh dikata mengalami kemacetan di bidang-bidang lain. Dalam hal ini, sumbangan Buya Hamka sebenarnya sangat sedikit, bila dibandingkan sumbangan Tengku Hasbi Ash-Shiddieqy, sedangkan dalam ketinggian standar pengetahuan tradisional juga kalah sumbangannya dengan apa yang diberikan Kiai Nawawi, K.H.M. Hasjim Asj’ari dan Kiai Ihsan Jampes dari Kediri. Yang terakhir ini adalah pengaruh Pesantren Jampes, yang meninggal dunia tahun 1936. Karya monumentalnya adalah Siraj Al–Thalibin, komentar atas traktaat kecil yang ditulis Al-Ghazali seribu tahun lampau, Minhaj Al-‘Abidin. Karya Kiai Ihsan itu kini merupakan textbook yang dipakai dalam tingkat pasca sarjana di seluruh dunia, termasuk Universitas Al-Azhar. Seorang dosen ilmu pemerintahan pada Universitas Georgetown di Washington, D.C., memberitahukan kepada penulis bahwa kitab tersebut juga diajarkan di Nigeria. Ironisnya. Karya tersebut hingga saat ini belum juga diajarkan di IAIN! Apalagi karya terakhirnya yang belum juga diterbitkan saat ini, Minhaj Al–Imdad, komentar atas sebuah traktaat kecil lain yang populer dan digunakan di semua pesantren, Irsyad Al-‘Ibad. Buya Hamka adalah seorang ulama, ini tidak dapat dibantah. Keseluruhan pola hidupnya menggambarkan hal itu, walaupun di masa mudanya ia mencoba mengembangkan karier lain, yaitu sebagai seorang jurnalis, dan kemudian sastrawan. Akhirnya, karier jurnalis itu berujung pada kepemimpinan jurnal agama Panji Masyarakat dan organ resmi Majelis Ulama Indonesia, Mimbar Ulama. Karier sebagai sastrawan juga berujung pada karya-karya yang ditulis semasa muda belaka, tidak menjadi karier tetap yang akan menempatkannya dalam barisan sastrawan yang harus bergulat dengan masalah- masalah sastra sampai akhir hayat masing-masing.
Karier sebagai ulama adalah satu-satunya profesi yang secara konsisten oleh Buya Hamka dengan tidak berkeputusan sepanjang hidup, berakhir pada penetapannya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (dan terakhir sekali pengunduran dirinya dari jabatan itu secara tragis beberapa waktu sebelum kepulangannya ke alam baka). Keulamaan yang diakui oleh masyarakat luas, yang merupakan salah satu kriteria yang umum diterapkan atas keulamaan seseorang. Tetapi ada sejumlah kriteria yang dapat dipergunakan untuk mengukur derajat keulamaan, yang tidak dapat dihindarkan lagi harus diaplikasikan dalam kasus Buya Hamka. Tak terhindarkan, karena ia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, sebuah jabatan yang sangat tinggi derajatnya. Penilaian seperti itu diperlukan, untuk melihat sudah sesuai atau tidaknya pengisian jabatan itu dengan demikian dapat dinilai sudah berbobot atau belum jabatan itu sendiri selama ini. Ini penting bagi kelangsungan lembaga Majelis Ulama Indonesia itu sendiri. Tanpa kepemimpinan berbobot yang diakui oleh kalangan ulama sendiri, lembaga itu akan senantiasa memerlukan dukungan pihak luar untuk menegakkan wibawanya, dan itu berarti pola kehidupan yang tidak sehat.
Sebuah forum ilmiah telah menunjuk beberapa aspek yang dapat digunakan sebagai kriteria keulamaan. Di antaranya adalah aspek sumber pemikiran yang direguknya semasa dalam pendidikan, aspek pengakuan atas keulamaan seseorang, aspek posisi atau status sosial yang dimilikinya dan aspek tempat sang Ulama dalam hirarki intern keulamaan sendiri. Buya Hamka mendapatkan pendidikan agama dari sumber yang memiliki keabsahan penuh, dilihat dari sudut pandangan ortodoksi agama. Konformitas yang dimilikinya dengan ajaran formal yang diterima ortodoksi sudah begitu penuh, sehingga kita lihat terkadang ia memiliki juga kepicikan pandangannya sendiri. Yaitu seperti yang terlihat dalam sebuah episode yang dikisahkan juga dalam buku ini, ketika ia berkunjung ke Pakistan untuk menghadiri sebuah forum Islam. Ketika forum itu memutuskan gerakan Ahmadiyah sebagai paham yang terlarang dalam Islam, maka Buya Hamka membakar buku-buku yang diterimanya dari gerakan tersebut. Kita tidak usah terkejut karena orang seperti Buya Hamka masih juga “berbudaya membakar buku”, karena sikap itu timbul dari sikap keagamaan yang dibentuk oleh sumber pemikiran absolut yang bersifat sangat eksklusif dalam memperlakukan kebenaran. Terlepas dari setuju atau tidaknya kita kepada “budaya” seperti itu, Buya Hamka bukanlah orang satu-satunya yang bersikap seperti itu. Itu adalah bagian dari “keulamaan” yang dibentuk oleh sumber pemikiran yang sudah puas dengan kebenarannya sendiri.
Pengakuan atas keulamaan Buya Hamka diperoleh dari segala lapisan masyarakat, dan memiliki lingkup sangat luas pula. Itu pun tidak hanya terbatas di Indonesia saja, melainkan menembus garis perbatasan negara, hingga ke seluruh Asia Tenggara. Tetapi pengakuan itu masih memperlihatkan sebuah sisi belaka, yaitu sisi popularitasnya bagi masyarakat luas belaka. Yang belum terungkap justru adalah “pengakuan profesional” para ulama lain, yang justru akan memperlihatkan pola berbeda-beda, sesuai keahlian dan status masing- masing. Bagi “ulama organisasi” Buya Hamka memang mungkin diterima secara penuh, sebagaimana terlihat dalam ketaatan mereka kepadanya dalam kapasitas selaku Ketua Umum MUI. Tetapi manakah ajakan para ulama fiqh kepada Buya Hamka untuk membahas, dan memperdebatkan kalau perlu, masalah-masalah yang berhubungan dengan spesialisasi mereka? Saya menjadi teringat penilaian K.H.A. Wahab Chasbullah atas lawan berdebatnya yang sangat tangguh, Kiai Hajid dari Muhammadiyah “Ia itu baru benar-benar kiai!” kata tokoh Nahdlatul Ulama itu. Kita tidak pernah mendengar penilaian seperti itu, yang menunjukkan pengakuan tulus dan penuh akan keulamaan seseorang dilihat dari salah satu bidang spesialisasi ilmu-ilmu keagamaan Islam. Dengan demikian, tidaklah terlalu salah kalau disimpulkan, bahwa keulamaan Buya Hamka diterima oleh semua lapisan masyarakat dalam pengertian umum, bukannya pengakuan khusus yang timbul dari pengenalan sepenuhnya akan keahlian tertentu yang dimilikinya.
Dilihat dari sudut pandangan status sosial yang dimilikinya sebagai seorang ulama, dapatlah diidentifikasi status Buya Hamka sebagai seorang ulama “tingkat nasional”. Dimaksudkan dengan status tersebut adalah pengakuan umum di atas dan pemberian kepercayaan untuk mengurus masalah-masalah makro, tanpa memberikan pengakuan akan “prestasi mikro”- nya di bidang yang diharapkan menjadi kompetensi ulama secara umum. Tidak ada kebutuhan bagi “ulama tingkat lokal” untuk membawa kepadanya persoalan-persoalan mereka yang bersifat khusus. Bahkan dapat dikatakan sampai akhir hayatnya Buya Hamka masih dianggap “orang luar” oleh kalangan para pengaruh pesantren yang terkemuka. Jelaslah dengan demikian, bahwa pengaruh Buya Hamka memang terlihat luas jangkauannya, tetapi tidak begitu dalam tertanam pada tingkat lokal. Perkecualian dalam hal ini tentu dapat dikemukakan, yaitu mengenai masyarakat Minangkabau, yang mengenalnya secara keseluruhan hingga ke desa terpencil di pelosok sekalipun. Bahkan ada kesan kuat, bahwa pengaruh Buya Hamka hanya kuat pada lapisan tertentu, saja dalam kehidupan masyarakat, yaitu lingkungan menengah dan lapisan atas belaka. Kesan ini timbul dari pengamatan akan corak bahasan dan tingkat pesan-pesan yang disampaikannya dalam tulisan begitu banyak khotbah dan ceramahnya yang dihadapi golongan menengah. Dalam hal hirarki intern para ulama, tempat Buya Hamka juga terlihat tidak jelas. la dihormati oleh umumnya ulama, tetapi tanpa ada rasa kebutuhan untuk lebih dekat lagi berhubungan. Seolah-olah tidak banyak dapat mereka harapkan dari keulamaannya, tetapi juga tidak patut untuk dianggap bukan ulama. Bagaikan ahli ilmu politik yang enggan berkonsultasi dalam kepelikan disiplin ilmiahnya kepada seorang politikus praktis, karena tokh tahu tidak akan menemukan darinya jawaban yang dicari itu. Penerimaannya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia lalu berwatak demikian: ia dianggap yang paling banyak menghimpun kelengkapan bermacam- macam dirinya (termasuk kecakapan organisatoris dan pengaruh luas yang bersifat popularitas) yang diperlukan untuk jabatan itu, tetapi bukan karena dominasi intelektual di bidang pengetahuan agamanya.
Buya Hamka dikenal sebagai pembicara yang memikat, sebagai pembawaan orang Maninjau, kata Leon Agusta dalam tulisan yang dimuat pula dalam buku ini. Kemampuannya meyakinkan orang akan pesan-pesan yang dibawakannya harus diakui. Pepatah-petitih, dirangkaikan dengan kutipan ayat suci Al Qur’an, Hadis maupun ucapan-ucapan para ulama terdahulu, dibumbui syair-syair Indonesia maupun Arab, dengan kombinasi informasi kontemporer, merupakan “formula” yang mengasyikkan pendengar atau pembaca. Apalagi dibawakan dalam bentuk yang mudah dimengerti orang, diceritakan dalam narasi yang memikat (sesuatu yang datang dari “kemampuan bercerita”-nya sebagai seorang pengarang roman). Sebagaimana diungkapkan salah seorang penyumbang tulisan bagi buku ini, satu jam ceramah Buya Hamka terasa bagaikan baru seperempat jam berlangsung. Orientasi pesan (tablig) yang dibawakannya juga sangat baik, umumnya bersangkutan dengan ajakan untuk bersikap toleran kepada orang lain. Sebuah orientasi yang benar-benar relevan dengan kebutuhan bangsa kita akan kesediaan untuk saling harga-menghargai antara begitu banyak ragam kelompok dalam masyarakat bangsa. Namun kebenaran orientasi tablig-nya itu sayang sekali jarang didukung oleh kejelasan tentang kerangka operasional yang berlingkup kolektif guna menjaga kelestarian toleransi yang diinginkannya itu. Seolah-olah diabaikannya kenyataan adanya sebab-sebab fundamental bagi langkanya toleransi dalam kehidupan masyarakat. Bahwa toleransi yang penuh dan benar hanya akan dapat diperoleh dalam masyarakat yang benar-benar menegakkan kedaulatan hukum, jarang terlihat dari uraiannya. Bahwa kepicikan pandangan mayoritas bangsa disebabkan oleh kemiskinan yang mendera meraka, boleh dikata hampir tidak pernah disusurinya. Dunia Buya Hamka adalah dunia kesadaran orang dalam kapasitas individual, dan dengan demikian dunia idealistis yang kita tidak diberitahu bagaimana harus mencapainya. Dalam banyak hal pesan yang dibawakannya sebagai mubalig justru membuat kita bagaikan tak pernah menemukan pemecahan kongkret atas persoalan-persoalan hidup yang sebenarnya, melainkan hanya berkisar pada masalah-masalah sekunder belaka bagi dasar-dasar kehidupan bermasyarakat yang harus diperjuangkan. Kalau dilihat dari “kaca mata keras”, fungsi Buya Hamka sebagai mubalig hanyalah untuk melupakan kita sebagai bangsa dari kenyataan-kenyataan pahit yang ada di depan mata. Atau kalau digunakan kategorisasi Marxist, apa yang dibawakan Buya Hamka hanyalah “opium bagi rakyat jelata” belaka. Sebagai politisi, jelas bahwa Buya Hamka tidak termasuk “kelas kakap”. Secara umum ia memang mampu menjembatani kelompok-kelompok yang saling bertentangan, termasuk pemerintah dan sebagian warga masyarakat, tetapi fungsi itu dijalankannya lebih banyak melalui pelaksanaan fungsi sebagai ulama, bukan dalam kerangka politis yang jelas. Seorang politisi yang ulung harus mampu mengarahkan semua aspirasi dan kebutuhan orang lain di sekitarnya, termasuk lawan-lawannya, untuk kepentingan yang digariskannya sendiri. Jelas sekali ada kerangka yang pasti tentang “siapa yang mempergunakan dan siapa yang dipergunakan” dalam mempengaruhi tercapainya suatu tujuan. Pola operasional yang dengan benarnya diungkapkan orang sebagai “politik tidak mengenal lawan permanen, melainkan kepentingan permanen” Kalau tidak demikian, ia bukanlah politik. Kalau diukur dari sudut pandangan ini, tampak jelas bahwa kaliber Buya Hamka sebagai politisi tidak sebanding dengan kalibernya di bidang-bidang lain. Politik bagi Buya Hamka mungkin justru merupakan suatu hal yang menjengkelkan, dan membawa kepada keruwetan belaka, seperti ketika ia harus mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI karena berbeda dalam pandangan dengan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama. Kalau memang benar Buya Hamka seorang politisi ulung, tentu ia tidak akan sampai harus tersudut hanya oleh sebuah persoalan taktis seperti itu. Bung Hatta, umpamanya, memang mengajukan pengunduran diri dari jabatan yang secara protokoler lebih tinggi lagi, tetapi sikap itu diambil justru karena persoalan sangat strategis yang bersangkutan dengan corak pemerintahan. Sama-sama mempersoalkan sesuatu yang bersifat prinsipil, tetapi antara kedua sikap itu terdapat beda yang sangat besar. Peri laku politisnya sangat ditentukan oleh berbagai pengaruh pada masa berbeda-beda. Di masa mudanya Buya Hamka sangat terbawa oleh profesinya semula selaku seorang jurnalis, dan pandangan politiknya juga nyata sekali terpengaruh oleh “kejurnalisan”-nya itu. Sebagai misal, beberapa pihak sempat melontarkan tuduhan Buya Hamka muda “terbeli” oleh kekuasaan yang sedang memerintah. Sebenarnya kejujuran sikap politis yang diperlihatkan Buya Hamka di masa pemerintahan Presiden Soekarno, yang mengakibatkan ia ditahan selama beberapa tahun, cukup membuktikan Buya Hamka tidak begitu saja dapat dibeli oleh kekuasaan yang ada. Tetapi karena kepekaan politiknya tidak demikian tajam, sehingga mampu menghindarkan citra yang sebenarnya, sebaliknya yang kuat pada masa mudanya justru adalah sebaliknya, terutama berkenaan dengan hubungannya dengan pemerintahan militer Jepang yang menjajah negeri ini. Hampir seluruh pemimpin bangsa melakukan kerja sama dengan pihak Jepang, tetapi anehnya Buya Hamka saja yang tidak mampu memproyeksikan diri bahwa kerja sama yang dilakukannya itu adalah untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan di kemudian hari. Tidak dapat hal itu dipersalahkan pada Buya Hamka, tetapi jelas bahwa kualitas Buya Hamka tidak setinggi kualitas dirinya sebagai ulama, dan bahkan lebih rendah lagi dibandingkan dengan kualitasnya sebagai sastrawan.
Ada sebuah fungsi vital yang dijalankan Buya Hamka di masa-masa terakhir hidupnya, yaitu sebagai penganjur asimilasi etnis, yang terutama ditujukan kepada warga masyarakat keturunan Cina. Sudah tampak hasilnya sedikit banyak, walaupun tidak begitu spektakuler karena pendeknya waktu bagi Buya Hamka untuk melakukannya. Rekaman kesan-kesan warga masyarakat dari keturunan Cina itu, ada yang dimasukkan dalam tulisan yang dimuat dalam buku ini, memperlihatkan bagaimana dengan pendekatan manusiawinya Buya Hamka telah sanggup menumbuhkan benih-benih tali persaudaraan dalam diri mereka. Kembali terlihat betapa dengan kemampuan mengkombinasikan antara cara-cara bergaul konvensional dan pendekatan yang tidak konvensional, semisal mengambil beberapa orang di antara mereka sebagai anak angkat, Buya Hamka melakukan hal-hal yang cukup berarti bagi integrasi nasional yang penuh di kemudian hari. Sayangnya, justru “masa kerja” pendek sebagai penganjur asimilasi etnis itu tidak sempat memberikan gambaran jelas apakah Buya Hamka telah memiliki sebuah strategi jangka panjang, yang memasukkan dalam dirinya kebutuhan untuk menumbuhkan persepsi kultural yang mendalam atas kebudayaan kaum Cina perantau (hoakiauw). Apa yang terlihat barulah upaya sepihak untuk memberikan informasi kepada mereka, tanpa ada umpan balik berupa penumbuhan apresiasi budaya kaum perantau Cina. Padahal sebenarnya cukup banyak nilai-nilai yang bersamaan antara mereka yang menamakan diri “mayoritas pribumi” dan golongan yang dianggap sebagai “non-pribumi” selama ini.
Menarik untuk dicatat, bahwa apa yang diperbuat Buya Hamka dalam bidang integrasi nasional dengan jalan mendekati keturunan Cina juga dilakukan oleh tokoh lain yang di kemudian harinya juga berpredikat ‘pemimpin Islam’, yaitu bekas Perdana Menteri Malaysia. Tengku Abdulrahman Putra. Pendiri negara modern Malaysia itu bahkan jauh-jauh hari telah mengangkat dua orang anak Cina sebagai anak angkat. Tengku Abdulrahman lebih jauh lagi menggunakan organisasi asuhannya, Perkim, sebagai wahana integrasi antaretnis itu secara teratur, sebuah kerangka institusional yang sayang sekali belum sempat ditumbuhkan oleh Buya Hamka.
Erat hubungannya dengan fungsi integratif di atas adalah fungsi Buya Hamka yang juga tampak menonjol dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya sebagai pembimbing pribadi bagi mereka yang ingin memeluk atau kembali kepada agama Islam. Ratusan, mungkin ribuan, orang yang berhasil “diseberangkan”-nya ke tepian yang ideal bagi mereka dalam pandangan Buya Hamka sendiri. Fungsi “mengislamkan orang” ini direkam dengan baik dalam jurnal yang diasuhnya, Panji Masyarakat. Fungsi ini adalah sebuah fungsi vital dalam jangka panjang, karena ia merupakan jawaban positif terhadap rasa terancam dan kekhawatiran mendalam di kalangan cukup luas pimpinan umat Islam akan berkurangnya jumlah kaum muslimin karena berbagai sebab: proses modernisasi dengan besarnya penetrasi kebudayaan non-muslimin kemari, akibat kerja penyebaran agama oleh pihak-pihak non-muslim (ang tersimpul dalam tuduhan adanya upaya “Kristenisasi”), dan lain-lain sebab lagi. Rasa khawatir dan terancam itu dapat membawa kepada akibat-akibat serius di kemudian hari, seperti terlihat dalam bermunculannya sejumlah gerakan sempalan dalam tahun-tahun terakhir ini, yang mengambil bentuk gerakan-gerakan messianistis dan millenarianistis (teror Warman, kasus Imran dan sebagainya).
Juga dapat menjurus kepada proses alienasi yang meliputi kelompok-kelompok besar, seperti kalangan dosen yang frustrasi dan mahasiswa yang tidak puas dan “menempuh cara mereka sendiri”. Kesalahpahaman antarkelompok, baik yang berbeda budayanya secara umum maupun yang berbeda dalam hal-hal khusus belaka (agamanya, asal-usul etnisnya atau pandangan politiknya), juga dapat menjadi semakin besar, akibat rasa terancam dan khawatir di bidang keyakinan agama itu. Apa yang diperbuat Buya Hamka, dengan mempublikasikan upacara penerimaan calon-calon warga baru ke dalam pelukan Islam, dengan demikian merupakan sedikit obat penawar bagi rasa terancam dan khawatir akan nasib Islam di kemudian hari itu.
Yang belum diketahui juga adalah strategi Buya Hamka untuk menjaga agar para muslimin baru itu juga turut meredakan kekhawatiran dan rasa terancam yang terdapat di kalangan saudara-saudara mereka yang sudah lama memeluk agama Islam. Karena tanpa strategi “pendayagunaan” para muslimim baru itu, justru hanya cerita-cerita negatif tentang agama mereka semula saja yang akan keluar proses perpindahan kepada agama Islam. Cerita-cerita bernada negatif itu akan lebih menambah rasa terancam dan khawatir yang sudah ada. Sepanjang yang ditemui penulis, sejumlah muslimin baru itu, yang menyatakan diri masuk Islam di bawah bimbingan Buya Hamka, tidak menunjukkan adanya “penggarapan” berdasarkan strategi tertentu, guna turut mengendurkan atau mengurangi kesalahpahaman yang ada antara umumnya kaum muslimin dan umat beragama lain. Dengan demikian, tidak jelas “proyeksi kesejarahan” yang melandasi prestasi Buya Hamka di bidang ini.
Sebagai pendidik, Buya Hamka telah membuktikan mampu menunjukkan bukti meyakinkan akan keberhasilannya. Walaupun tidak menjadi pendidik dalam arti guru profesional, ia memancarkan secara keseluruhan sikap mendidik sepanjang hidupnya. Ini adalah karakteristik yang umum terdapat di kalangan ulama, karena salah satu etos yang paling umum dianut adalah keharusan menjadikan diri contoh dan teladan moralitas keagamaan. Di samping memang menjadi keyakinan agama bagi mereka untuk menanamkan pengertian dan sikap yang benar dalam hidup beragama. Sebuah traktaat kecil yang dibaca sebagai bacaan umum dasar di pesantren dan menjadi semacam pengantar teori pengetahuan menurut pandangan agama, berjudul Ta’lim Al–Muta’allim, merumuskan etos itu dengan singkat: jadilah penuntut ilmu atau pengajarnya! Ini sepenuhnya tercermin dalam setiap aspek kehidupan Buya Hamka, mungkin sejak ia masih menjadi jurnalis dan sastrawan, dan belum membulatkan diri untuk berprofesi ulama”. Watak mendidik itu akhirnya mencapai titik optimalnya ketika ia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, dan berpuncak pada “efek mendidik” dari keputusannya untuk mengundurkan diri dari jabatan itu sebagai perwujudan rasa tanggung jawabnya yang besar atas kelangsungan hidup organisasi yang semula dipimpinnya itu sebagai lembaga yang independen. sebagai perwujudan rasa tanggung jawabnya yang besar atas kelangsungan hidup organisasi yang semula dipimpinnya itu sebagai lembaga yang independen.
Penunaian tugas sebagai pendidik itu dipermudah oleh ketekunannya menjalankan peribadatan perorangan, sebagaimana diceritakan Rusjdi Hamka dalam tulisannya yang dimuat dalam buku ini. Kebiasaannya untuk bangun dini hari, guna menunaikan salat subuh tiap hari, daya tahan tubuhnya untuk tetap melakukan sembahyang tengah malam, ketika orang umumnya membutuhkan masa istirahat panjang pada usia lanjut, dan keteraturan irama hidupnya, mendukung dengan kuat fungsi yang kemudian ditunaikannya secara pribadi sebagai pendidik. Kerja mendidik yang dijalaninya secara fisik itu menjadi wahana yang serasi bagi pesan-pesan keagamaannya yang jelas sekali bernada mendidik pula. Efektivitas pesan- pesan itu tercermin dari kenyataan, bahwa apa yang dikumandangkan Buya Hamka bagaikan “terpaku” pada sejumlah tema dasar, seperti perlunya dikembangkan kasih sayang antara sesama muslimin, perlunya sikap saling menghormati dengan orang lain, perlunya solidaritas yang jujur antara sesama warga masyarakat, dan seterusnya. Terlepas dari kenyataan langkanya kerangka kemasyarakatan yang seharusnya “menerima umpan” berupa tema-tema dasar itu, kemampuan Buya Hamka untuk menyampaikan pesan memang efektif. Efektivitas itu antara lain juga ditunjukkan oleh pilihan atas tema-tema dasar itu, karena pilihan itu tentunya dilakukan atas dasar responsi masyarakat sendiri. Bagaikan penyanyi yang hanya mengulang-ulang lagunya yang menjadi favorit pendengarnya saja.
Karena Buya Hamka hanya membatasi diri pada fungsi mendidik masyarakat secara umum, lalu menjadi sulit kerja mengukur kedalaman persepsinya sendiri tentang fungsi yang dilakukannya itu. Dengan kata lain, kuantitas hasil didikannya sulit untuk diukur kualitasnya. Ini berarti efektivitas Buya Hamka sebagai pendidik adalah sesuatu yang dapat dirasakan dan diterima berdasarkan pengamatan lahiriah, tanpa dapat dibuktikan secara ilmiah menurut kriteria yang beragam yang dikembangkan oleh ilmu pendidikan sendiri. Pendekatan psikologis yang digunakannya, umpamanya, jelas sekali sulit disusuri metode-metodenya, sepanjang yang dikembangkan oleh psikologi sendiri. Dengan demikian, keberhasilan Buya Hamka secara umum sebagai pendidik belum berarti ia memiliki kemampuan pedagogis penuh, kalau diukur menurut ilmu pendidikan. Untuk itu diperlukan kajian lebih mendalam akan peranannya di bidang pendidikan. Yang sudah pasti adalah kenyataan bahwa Buya Hamka sangat dicintai oleh kalangan luas yang merasa menjadi “murid”nya. Prestasi ini jarang sekali dapat dicapai oleh tokoh-tokoh pendidik, dan berhasil direngkuhnya karena ia memiliki keutuhan pribadi sebagai seorang ulama. Prestasi yang umum dicapai oleh kalangan ulama, bahkan rohaniwan pada umumnya, dengan tidak memandang agama mereka. Mungkin akan ada yang memberi nilai lebih pada fungsi mendidik dari Buya Hamka ini, karena ia adalah seorang otodidak. Pendapat seperti ini sebenarnya tidaklah tepat, karena Buya Hamka menjadi otodidak hanyalah dalam mencari informasi belaka, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian muka tulisan ini. Tetapi dasar-dasar berpikirnya, yang justru menentukan coraknya sebagai pendidik, diterimanya dari pendidikan dalam ilmu-ilmu keagamaan yang penuh disiplin dan ditempuh berpayah payah Karenanya, dapatlah disimpulkan bahwa sebagai pendidik, Buya Hamka telah mencapai prestasi gemilang, kalau fungsi itu dibatasi pada acuan keagamaan yang bersumber pada kenyataan dirinya sebagai seorang ulama. Di luar itu, masih harus dikaji terlebih dahulu secara mendalam.
Terakhir, sebagai pemimpin Buya Hamka tampak jelas telah menampilkan kepemimpinannya sendiri. Adakalanya ia diterima sebagai anutan spiritual oleh para “murid”-nya, melalui pendekatan perorangannya yang sangat manusiawi dalam pergaulan. Adakalanya pula ia dilihat terutama sebagai contoh ketulusan sikap dalam memimpin sebuah lembaga, seperti tampak dalam sikap pengunduran dirinya dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Namun tidak kurang pula yang melihatnya justru sebagai “tokoh moderat” yang meleraikan banyak kesalahpahaman dalam masyarakat, baik antara sesama umat Islam maupun antara golongan tersebut dan golongan-golongan lain yang ada. Ada yang mengukur Buya Hamka dari sikap moralnya yang justru menghasilkan dua buah kesan yang bertolak belakang: bagi sementara pihak (seperti teman-temannya sepergerakan di Medan di masa permulaan pemerintahan penjajah Jepang) ia dianggap mudah tertarik kepada janji-janji penguasa, tetapi bagi pihak lain ia adalah justru perwujudan sikap moral yang teguh di hadapan kekuasaan itu sendiri (karena ia “berani masuk penjara” untuk membela keyakinannya di masa pemerintahan Presiden Soekarno, juga karena pengunduran dirinya dari kedudukan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia). Penerimaan berbeda seperti ini justru menunjukkan bahwa Buya Hamka memiliki kualitas kepemimpinan, dalam arti mampu menimbulkan kebutuhan pengikutnya untuk melakukan identifikasi diri dengan membuat proyeksi mereka sendiri atas kepemimpinan sang Pemimpin.
Salah satu kriteria kepemimpinan adalah kewiraswastaan yang dimiliki sang Pemimpin. Kewiraswastaan dalam arti kemampuan memulai sesuatu yang tadinya belum menjadi kebutuhan masyarakat, kemampuan menjadikan sesuatu itu pada akhirnya diterima oleh masyarakat, dan terakhir kemampuan menyelesaikan periode penubuhan sesuatu itu secara mantap. Selama ketiga tahap itu belum tercapai secara keseluruhan dan merupakan suatu keutuhan prestasi, selama itu pula kepemimpinan itu masih bercorak potensial belaka, kalau kriteria ini diterapkan pada diri Buya Hamka, sebenarnya Buya Hamka telah mencapainya berulang kali. Pertama, ketika ia merintis jurnalisme Islam melalui Pedoman Masyarakat dan berbagai media massa keagamaan lainnya. Fungsi itu ditunaikannya dengan baik dan tuntas, dalam arti kelanjutan usaha yang dirintisnya itu dapat terpelihara, kini dalam bentuk jurnal Panji Masyarakat. Setelahitu, BuyaHamkamemulaiusaha lain, yaitu membuat sebuah “pangkalan kegiatan” berupa masjid Al-Azhar di bilangan elite Kebayoran Baru, Jakarta. Bermula dari “pengambilalihan halus” tanah wakaf orang-orang Nahdlatul Ulama, tetapi yang tidak terkelola dengan baik, akhirnya kompleks yang berdiri teguh di tempat itu menjadi bukti sebuah kerja monumental tersendiri. Kompleks yang berisi kantor dan induk bermacam-macam kegiatan, dari pengajian bulanan kaum ibu, melalui “pangkalan kegiatan” remaja masjid hingga beberapa jenis sekolah (taman kanak-kanak hingga sekolah lanjutan atas). Terakhir adalah Majelis Ulama Indonesia, yang di tangan Buya Hamka bermula dari titik nol tetapi kemudian telah berdiri teguh ketika ditinggalkannya. Kepemimpinan yang terbukti baik secara fungsional (memberikan dampak mendalam dan mengubah orientasi kehidupan masyarakat) maupun institusional.
Di samping kriteria di atas, yang sebenarnya sudah sangat berat untuk dilaksanakan, ada juga kriteria lain yang lebih berat, yaitu kemampuan mengarahkan kehidupan masyarakat yang dipimpin kepada orientasi baru secara total. Para pemimpin kemerdekaan kita, misalnya, mencapai hasil penuh kalau diukur dari kriteria tersebut: dari alam pikiran bangsa terjajah, dalam waktu hanya dua puluhan tahun saja berhasil “dibalikkan” menjadi orientasi hidup sebagai bangsa yang merdeka. Walaupun harus diakui juga, bahwa orientasi kemerdekaan itu juga belum tuntas tumbuhnya hingga kini, dalam arti masih luas wawasan feodalistis (salah satu bentuk penjajahan juga) dan masih berkecamuknya sektarianisme dalam lingkup sangat luas (yang berarti kemerdekaan belum diilhami dalam pengertian transformatif). Buya Hamka jelas berusaha mengubah orientasi kehidupan masyarakat, dari yang berwatak sekularistis (minimal pada tingkat pemerintahan dan di lingkungan elite bangsa) kepada sebuah orientasi kehidupan yang dilandasi wawasan keagamaan. Keberhasilan memang banyak dicapainya di bidang ini, kalau dilihat dari pola hidup perorangan banyak orang dari lingkungan “cabang atas”. Apa yang dirintisnya dengan sebuah masjid elitist urban telah menemukan gemanya dalam serangkaian lembaga yang sama di hampir setiap kota besar di negeri ini. Tetapi, benarkah sudah tercapai ketuntasan dalam transformasi orientasi kehidupan yang dibawakan oleh Buya Hamka sendiri?
Jawabnya ternyata tidak, karena kebanyakan hanya mengalami transformasi ritualistik dalam hidup pribadi masing-masing, tanpa terlihat pengertian mendalam terhadap aspek-aspek paling dasar dari orientasi kehidupan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sendiri: orientasi populistis. Cabang atas yang dipimpin Buya Hamka ternyata tetap pada orientasi elitis mereka, dan pada analisis terakhir bukan Buya Hamka yang mentransformasikan mereka, melainkan sebaliknya merekalah yang mengubah sedikit banyak orientasi Buya Hamka sendiri. Ini dapat dibuktikan dengan persetujuan Buya atas pengembangan lembaga pendidikan di lingkungan masjid Al-Azhar menjadi sekolah elitis, terlepas dari kenyataan bahwa pola hidup pribadi Buya Hamka sendiri tetap sederhana dan tidak tergoyahkan oleh pengaruh tersebut. Citra Buya Hamka dengan demikian adalah menjadi “ulamanya kaum berada”, yang menunjukkan dengan jelas betapa rapuhnya claim akan kepemimpinan Buya Hamka, kalau digunakan kriteria paling keras ini. Perbandingan dalam hal ini dapat dilakukan dengan kepemimpinan para kiai pesantren, yang mampu bertahan pada populisme mereka di hadapan desakan-desakan untuk menggarap lembaga pendidikan elitis. Sejarah jualah yang akan menjawab, apakah mereka akan tetap dapat bertahan di kemudian hari atau tidak.
Salah satu anjuran utama Buya Hamka adalah agar kita pandai- pandai menarik pelajaran dari sejarah. Penerapan kriteria kepemimpinan yang serba keras di atas adalah pelaksanaan aktual dari anjuran itu, karena kepemimpinan Buya Hamka juga adalah bagian dari sejarah umat Islam di negeri kita. Kajian seperti ini atas prestasi Buya Hamka di berbagai lapangan harus tetap dilanjutkan, kalau kita benar-benar menghargai kepemimpinannya. Kemalasan untuk itu adalah peremehan arti Buya Hamka bagi kehidupan umat.
Setelah sekian jauh kita jelajahi kehidupan Buya Hamka dan ternyata kita dapat banyak butir-butir penting dari kehidupannya itu, sampailah akhirnya kita pada peluang untuk menjawab pertanyaan yang terpampang sebagai judul tulisan ini: benarkah Buya Hamka orang besar? Kalau benar, apakah alasan untuk beranggapan demikian, walaupun kita telah melihat betapa banyak keterbatasan yang dimilikinya dalam hampir tiap aspek hidupnya yang pada umumnya dianggap sebagai tempat kiprahnya? Apakah pelajaran yang dapat kita ambil dari kebesaran itu, kalau memang ada? Beberapa pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, dan kalaupun dijawab memerlukan pertanggungan jawab besar, karena ia menyangkut tempat salah seorang putra terbaik Indonesia dalam sejarah bangsanya, minimal sejarah golongan dari mana ia berasal, di samping karena di atas telah kita gunakan ukuran-ukuran ketat untuk menilainya. Sudah tentu tidak masuk akal untuk kita tegakkan Buya Hamka secara asal tegak saja.
Buya Hamka memang orang besar, sejarah telah mencatat kenyataan itu secara final. Kalaupun kita tidak mengerti di mana letak kebesarannya, itu adalah persoalan kita, bukan persoalan sejarah. Kebesaran itu dibuktikan oleh penerimaan luas atas dirinya, baik tulusnya penerimaan secara kualitatif maupun luasnya penerimaan secara kuantitatif. Walaupun ia lebih banyak pula rakyat kecil menangis dan merasa kehilangan besar dengan kepergiannya ke alam baka. Meski tak seberapa yang diberikannya bagi dunia pengetahuan, namun para ilmuwan merasa bersedih hati dengan kepergiannya ke dalam akhirat demikian pula orang-orang dari bermacam-macam bidang spesialisasi yang lain. Walaupun bukan organisator ulung dan lebih-lebih lagi tak berperan apa pun dalam masa dua puluh tahun di bidang politik, tetapi organisasi-organisasi keagamaan, tidak hanya yang dari kalangan golongan Islam saja, menyatakan penyesalan mereka atas kepergiannya menemui Allah yang telah memanggilnya.
Letak kebesaran Buya Hamka, kalau ingin dirumuskan secara bersahaja, adalah pada kemampuannya menjadikan diri berharga dan berarti bagi aneka ragam manusia yang disebutkan di atas. Bukan secara manipulatif, karena ia melakukannya melalui sikap yang sangat positif dan konstruktif: ia menghargai manusia lain secara tulus. Semakin tinggi kedudukan Buya Hamka, semakin berharga penghargaan yang datang dari Buya Hamka, dan itu dilakukannya tanpa berhenti sama sekali Pada dasarnya, Buya Hamka adalah seorang optimistis, dan dengan modal itulah ia mampu untuk terus menerus menghargai orang lain secara tulus, karena ia percaya bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Bertolak dari kemampuannya menghargai orang lain karena memang manusia patut dihargai itulah, dan bukannya karena terlalu mengharapka “imbalan” penghargaan bagi dirinya sendiri, Buya Hamka lalu mampu juga menempatkan diri sebagai salah satu titik penting dalam kehidupan bangsa: penghubung atau komunikator yang menjembatani banyak pihak dalam kompleksitas hidup yang semakin bertambah kompleks pula dari hari ke hari.
Ia mampu memperkenalkan dunia agama kepada dunia sastra, sehingga keduanya merasa akrab, melalui karya-karya roman dan cerita pendek yang ditulisnya di masa muda. Apa pun kelemahan karya-karya Buya Hamka itu ditilik dari sudut kritik sastra, yang jelas lalu tidak muncul kecurigaan antara kedua dunia yang sangat jauh perbedaannya itu. Dengan ungkapan lain, ia memberikan legitimasi bagi pengolahan secara sastra atas kehidupan beragama, dan sekaligus memberikan tempat terhormat bagi agama dalam kehidupan sastra kita setelah itu. Jamil Suherman dan M. Fudholi Zaini memperoleh bagi karya- karya mereka, karena dunia sastra kita sudah mampu menerima keabsahan tema agama yang ‘hanya’ sekadar deskriptif saja coraknya. Sastra kita lalu tidak hanya mencari tema pemeriksaan “klinis” saja atas kehidupan beragama, seperti dilakukan A.A. Navis dalam Robohnya Surau Kami, tetapi sanggup mentoleransi jenis pengolahan apa pun atas wilayah perhatian yang bernama agama. Tidak ada yang remeh. Jasa terbesar atas tercapainya orientasi yang demikian berkeseimbangan itu haruslah dikembalikan sebagian terbesar kepada Buya Hamka. Demikian pula dilakukan Buya Hamka dengan semua bidang kehidupan yang lain. Ditumbuhkannya saling penghargaan antara agama dan ilmu pengetahuan, antara agama dan peri laku hidup di alam modem, antara agama dan kenyataan-kenyataan hidup sebagai bangsa, dan terutama antara agama dan diri kita masing-masing. la mampu mengkomunikasikan keprihatinan dan keresahan di sektor kehidupan yang kita jalani masing-masing, dan memproyeksikan agama sebagai alat penunjang untuk melerainya. Pada saat yang sama, ia proyeksikan kehidupan ini dalam kompleksitas dan dinamikanya sendiri, sebagai salah satu jalan untuk mengerti hakikat agama secara penuh. Dengan kata lain, Buya Hamka berhasil memfungsikan agama dan kehidupan kita, baik secara keseluruhan maupun secara sektoral, satu sama lain secara simbiotik. Keberhasilan itu bahkan dapat dirasakan dalam sikap Buya Hamka sendiri sebagai komunikator: ia tidak pernah peduli apakah pesan yang dibawakannya akan diterima orang atau tidak. Tidak mencari muka dengan membawakan pesan yang terbungkus, tidak mengejar popularitas dengan melihat dahulu pihak lain akan menerima pendiriannya. Pokoknya telah ditentukannya sendiri titik tolak komunikasinya, selanjutnya dilakukan secara apa adanya. Karenanya itu, kita memang tidak melihat kritiknya yang prinsipil terhadap Orde Baru, umpamanya, tetapi kita tahu bahwa ia mengharapkan perbaikan-perbaikan fundamental dalam kehidupan kita sebagai bangsa saat ini. La pun damba akan penegakan hukum dan kebebasan tuntas untuk menyatakan pendapat, seperti halnya ia damba akan kerukunan antargolongan dan saling pengertian penuh antara pendirian yang berbeda-beda.
Karenanya, dalam kebesarannya kita lihat Buya Hamka menyampaikan apa yang menjadi buah pikirannya secara apa adanya. Berapa banyakkah antara kita yang mampu berbuat demikian, tanpa ketakutan akan kehilangan jabatan, status sosial dan kekayaan? Sebagai seorang penghubung, ia menentukan sendiri topik pembicaraan dan gaya penyampaiannya. Berapa banyakkah di antara kita yang terbebas dari keharusan mencari acara kegiatan yang menyenangkan pemerintah, atau lebih buruk lagi, yang akan dapat dipakai untuk memancing simpati pengikut? Terlihat adanya semacam kejujuran, yang timbul dari konsistensi antara tujuan dan cara. Di tengah banyak pengulas muslimin yang menggunakan standar ganda kalau berbicara tentang orang lain dan tentang golongan sendiri, Buya Hamka justru menggunakan kriteria yang sama bagi keduanya. Betapa banyak penulis dan pemikir muslim yang menggunakan kriteria idealitis berupa ajaran formal agama, kalau membuat kepuasan tentang agama mereka sendiri, sedangkan atas agama lain mereka gunakan kriteria pelaksanaan ajaran agama dalam prakteknya. Standar ganda yang menerapkan apa yang baik hanya bagi diri sendiri, tetapi yang terburuk bagi orang lain. Buya Hamka justru terbebas dari sikap yang tidak jujur ini, karena pembicaraannya tentang keadaan kaum sendiri menggunakan kriteria yang sama dengan apa yang diterapkannya pada agama lain. Ini terlihat sejak semula, ketika ia mengajukan gugatan terhadap adat lapuk yang diikuti kaumnya di tanah kelahiran, yang menyengsarakan hidupnya di masa kecil dan remaja. Konsistensi sikap itu ditunjukkannya ketika ia mengajukan kritik atas praktek merendahkan derajat kaum wanita, yang masih saja diperlihatkan kaum muslimin. Karena konsistensi kriteria yang digunakannya untuk menilai peri laku manusia itulah Buya Hamka diterima oleh semua pihak secara luas. Konsistensi yang muncul dari kejujuran sikap terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Kebesaran sebagai penghubung dan komunikator antara begitu banyak kelompok masyarakat yang beraneka ragam keinginan dan kecenderungan masing-masing, bukanlah prestasi yang kecil. Bung Karno menjadi besar dalam sejarah, karena ia menghubungkan antara aspirasi bangsa yang idealistis untuk mencapai kemerdekaan (dan kemakmuran setelah itu dan kenyataan-kenyataan politis). Dengan peran penghubung itu ia akhirnya menyandang predikat bapak kemerdekaan dan pemersatu bangsa. Bung Hatta menjadi besar pula karena menghubungkan antara naluri demokratis yang dimiliki tiap bangsa dan kehidupan pemerintahan yang masih mewarisi sisa-sisa feodalisme dari masa lampau. Dengan tidak bermaksud membandingkannya dengan kedua tokoh di atas, jelas bahwa Buya Hamka memiliki kebesarannya sendiri dalam fungsi yang sama, walaupun dalam medan dan antara pihak- pihak yang sama sekali berlainan.
Karenanya, kita tidak akan mengecilkan arti kebesaran Buya Hamka sedikit pun, kalau kita dudukkan kebesarannya itu pada fungsi penghubung. Mengapa tidak? Bagaimanapun juga, harus ada yang berperan dalam mendirikan dan membuat sesuatu, umumnya melalui proses revolusioner. Ada juga yang menjebol, kalau dipakai istilah Bung Karno, tanpa mampu mendirikan apa pun sebagai gantinya, dan ada yang berfungsi memelihara dan mengembangkan kegiatan melalui kerja rutin. Sudah wajar pula kalau ada yang karena menghubungkan semua pihak guna mencapai kesatuan dan keutuhan bangsa di masa depan, lalu tercatat namanya dengan tinta emas dalam sejarah. Buya Hamka adalah orang yang berfungsi, berprestasi dan akhirnya diakui oleh sejarah sebagai orang yang berfungsi demikian.
Kita akhiri pengantar ini dengan menyampaikan rasa hormat dan pengakuan akan kebesaran Buya Hamka yang telah mencapai kebesarannya dengan menjadi apa yang oleh bahasa cerita silat berbahasa Melayu-Cina sebagai wot atawa jombatan!