Bersatu Dalam Penderitaan

Sumber Foto: https://inharmonia.co/index.php/opini/opini/menjaga-persatuan-indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

JUDUL di atas terdengar sangat dramatik, hampir senafas dengan istilah ‘mutiara dalam lumpur’. Seolah-olah bangsa kita sudah demikian rupa bercerai-berai dalam hidup dan tidak mungkin dipersatukan lagi. Bagaikan gelas yang jatuh di lantai, mereka terbagi-bagi dalam sekian banyak lembaga/institusi. Ada yang bernama parpol (partai politik), ada yang berupa ormas (organisasi kemasyarakat) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan tidak sedikit pula yang berbentuk organisasi keagamaan. Kemudian yang ‘menangani’ beberapa cabang olah raga, seperti Pelti (Persatuan Tenis Lapangan Indonesia) dan lain-lain perkumpulan. Belum lagi kalau dihitung mereka yang bergerak dan mengaku sebagai penyalur bantuan bencana alam seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mudah-mudahan perkumpulan-perkumpulan itu benar-benar menyalurkan, baik bantuan uang maupun barang. Kita berharap semoga segala macam bantuan itu sampai ke tangan mereka yang memerlukan. Penulis menyatakan demikian, karena mendengar masih ada para korban gempa bumi dan gelombang tsunami yang belum dapat bantuan apa-apa.

Penulis tidak menjadi panitia apapun, tetapi berhak untuk mengemukakan catatan di atas, karena memang ada orang yang melakukan hal-hal yang tidak terpuji itu. Masyarakat dari Amerika Serikat yang demikian jauh mengirimkan bantuan, namun di NAD ada korban bencana alam yang menginjak-injak bantuan berupa pakaian dari negeri Paman Sam itu yang direkam gambarnya dan ditayangkan di televisi kita. Mengapakah di negeri kita masih ada yang menjadi demikian tidak berterima kasih lalu melakukan hal itu? Kalau yang melakukan perbuatan itu adalah seorang ‘pemimpin’, kita meragukan kepemimpinannya. Kalau orang itu adalah rakyat biasa, yang sekarang ini di lingkungan PDI-Perjuangan disebut dengan kata “wong cilik”, maka kita pertanyakan kualitas kepemimpinan yang membuat warga negeri itu menjadi begitu tidak berterima kasih. Apa yang salah? Jawabnya, dapat berupa dua buah pertanyaan kita sebagai bangsa.

Pertama, kejujuran dan sikap tidak menghormati orang lain sudah tidak dipakai lagi dalam kehidupan kita. Manusia seolah-olah sudah merdeka ‘segala-galanya’. Bagaimana kita akan menghargai dan menghormati orang lain, kalau terhadap hukum saja kita sudah tidak bersedia mengakui kedaulatannya. Bukti nyata dari hal itu adalah berkembangnya KKN tanpa ada tindakan apa-apa dari kita, seperti ada beberapa koruptor dan pelanggar hukum menjadi pejabat-pejabat penting dalam pemerintahan kita. Bahkan ada koruptor kelas kakap yang mendapatkan SP3 (Surat Penghentian Penyelidikan Perkara). Mungkinkah diharapkan dari keadaan suatu bangsa seperti itu, perbaikan yang diperlukan untuk menciptakan cara hidup yang akan membuat kita kuat dan besar?

Penulis yakin hal itu dapat dilakukan, jika ada seorang — dua tokoh masyarakat yang mempunyai ‘keberanian moral’ dan sadar akan kewajiban mereka untuk keluar dari kemelut seperti itu. Keyakinan inilah yang membuat penulis mengeluarkan ajakan untuk membubarkan KPU.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya diperiksa oleh sistem pengadilan kita pada saat ini. Karena ada pendapat yang menyatakan bahwa ia melanggar berbagai undang-undang dan para fungsionarisnya melakukan tindak korupsi. Namun, hal itu tidak kunjung dilakukan, bahkan diteriakkan di mana-mana bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden sudah ‘beres’. Maka para “pengamat” luar negeri pun mengatakan bahwa Indonesia sudah melaksanakan demokrasi.

Distorsi sejarah seperti ini, harus dilawan dengan bersungguh-sungguh dengan segala risiko dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Tentu saja ini adalah keyakinan penulis, karena penulis yakin bahwa mayoritas bangsa sebenarnya juga seperti itu. Pada umumnya, sebab dari semua itu hanya karena adanya ketakutan akan berbagai macam reaksi dari pihak-pihak pemerintahan. ‘Kelumpuhan moral’ seperti itu dapat saja terjadi, seperti ketika Adolf Hitler di tahun-tahun 20-an dan 30-an ‘menjual gagasan’ demokrasi Weimar di Austria dan Jerman kini.

Kedua, karena mereka yang menjadi ‘pemimpin bangsa’ dalam pemerintahan maupun di luarnya, hanya mengejar kedudukan dan kepentingan pribadi. Mereka tidak ingat kepentingan bersama, hanya mengingat kepentingan diri sendiri dan golongan saja. Kepemimpinan itu pun diperoleh dengan cara-cara yang secara moral tidak dapat dibenarkan. Perebutan jabatan dengan menggunakan uang dan kekuasaan sudah menjadi begitu umum, seperti juga halnya sogokan yang dianggap perlu untuk ‘melancarkan usaha’. Sampai-sampai untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja pun orang harus membayar demikian mahal.

Bagaimana mungkin kita akan mampu menjadi bangsa kuat dan negara yang besar, jika hal itu kita biarkan berjalan terus? Karena itulah, kita mau tidak mau harus mengubah keadaan sendiri. Tidak ada orang lain yang memiliki kewajiban itu, kecuali bangsa kita sendiri. Untuk dapat melakukan hal itu, kita harus bersatu dalam upaya kita mewujudkan sebuah sistem politik baru, yang akan memungkinkan kita untuk memulai menegakkan demokrasi dalam artian yang benar. Yaitu dengan menegakkan kedaulatan hukum dan memberikan hak yang sama kepada semua warga negara tanpa memandang perbedaan asal-usul mereka, baik asal-usul etnis, agama, bahasa ibu (lebih di kenal dengan nama bahasa daerah) dan budaya. Kalau perlu, dengan membiarkan diri kita ‘dikorbankan’ oleh teman-teman sendiri, seperti halnya penulis yang dituntut oleh sementara kawan-kawan yang menjadi korban pemerintahan Orde Baru, yaitu mereka yang dianggap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Penulis justru dituntut karena dinilai telah melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Tuntutan itu memang sangat menyakitkan tapi memang kita harus bersabar.

Penulis tidak akan memperpanjang hal itu di sini, karena tujuan utamanya adalah mengajak kita semua untuk bersatu, guna memulai upaya perbaikan yang kita perlukan. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita harus menghadapi kenyatan bahwa kita terpecah-belah begitu rupa dalam kehidupan? Hal pertama yang harus dilakukan adalah begitu banyaknya bagian kita dalam perkumpulan bermacam-macam, tidak dengan menganggap semuanya itu sebagai lawan. Semuanya adalah bagian dari kehidupan kita bersama, hanya saja dalam begitu banyak wadah yang bermacam-macam. Selanjutnya, mereka yang sudah sadar akan hal ini, haruslah menjadi contoh dari sesuatu yang ingin kita tegakkan bersama dalam kehidupan sebagai bangsa: kejujuran, kesetiaan dan kerja keras. Selebihnya adalah hal-hal yang harus dibuat oleh ia yang berada di atas, alias Tuhan yang kita tunduki bersama.

Berbagai bencana alam merupakan peringatan bagi kita. Kita boleh saja bersikap sinis terhadap hal itu, dan menganggapnya sebagai pemikiran yang terlalu berpihak pada spiritualitas. Kita akan dianggap sebagai paranormal yang tidak berpijak kepada bumi nyata. Di sinilah terjadi kesalahan sangat fatal. Karena seorang yang percaya kepada hal-hal spiritual tidak berarti meninggalkan rasionalitas. Ia sebenarnya hanyalah berupa pengakuan akan pentingnya hal-hal spiritual, tanpa meninggalkan sikap-sikap rasional yang oleh Prof Jan Romein disebut sebagai ‘rekenheid’ (sikap berperhitungan). Sikap berperhitungan alias sikap rasional, yang tidak membuang spiritualitas dan menggunakannya di samping rasio. Sudah tentu, aspek-aspek tidak rasional perlu kita buang, melainkan hanya sekadar ‘pengarah hidup’ dalam menjalani kehidupan yang serba sulit ini. Kita harus bersatu dalam spiritual seperti ini.

Jika kita lihat perkembangan yang terjadi dalam kehidupan kolektif kita seperti itu, lalu judul tulisan ini tidak lagi terasa dramatik. Memang ada ‘kerja-kerja besar’ yang harus dilakukan, yang terasa sebagai sesuatu yang tidak biasa’ dalam kehidupan sehari-hari. Seperti keberanian menjalani penderitaan, dan juga menjalani persatuan. Hal ini tidak lagi terasa sebagai sesuatu yang dramatik, karena ia memang benar. Tanpa keberanian mengalami penderitaan, kita akan menjadi bangsa oportunistik yang tidak lagi sanggup bersatu. Sedangkan tanpa sikap berani menderita dan mampu bersatu, kita tidak akan dapat mengubah kehidupan bersama. Di sinilah terletak pentingnya arti percontohan yang baik, di samping ada kelemahan-kelemahannya. Di sinilah terletak arti upaya kita melestarikan atau membuang hal-hal tertentu dalam kehidupan bersama sebagai bangsa. Ini biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?