Bukan UU, Tetapi Pelaksanaannya

Sumber foto: https://www.hipwee.com/feature/golput-hak-atau-merugikan-negara-ini-9-suara-anak-muda-soal-tidak-memilih-dalam-pemilu/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

DR. Arief Budiman, seorang dosen pada Universitas Melbourne, Australia, adalah seorang intelektual Indonesia yang sangat dihormati oleh para ahli tentang negeri ini, baik di dalam maupun luar negeri. Sewaktu tulisan ini dibuat, ia berada di Indonesia dan tinggal di rumahnya di dekat Universitas Kristen Satya Wacana, di Salatiga, Jawa Tengah.

Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan Trans TV, Selasa (6/7) malam, sosiolog terkemuka itu ditanya pendapatnya mengenai mereka yang tidak memberikan suara alias golongan putih (golput) dalam pemilihan umum (pemilu) presiden 5 Juli 2004. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bersedia menyebutkan angka tersebut dalam siaran-siarannya, ternyata suara golput itu hingga bilangan sekitar 30 persen dari pemberi suara. Walaupun angka tersebut nantinya akan disiarkan, tentu setelah diperbaiki.

Ini adalah “tindakan” KPU yang ringan dibandingkan dengan pelanggaran atas Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan No 4/1997 tentang Penyandang Cacat, dengan menentukan sehat atau tidaknya seorang calon presiden. Melalui manipulasi, KPU membunuh demokrasi dengan bertindak diskriminatif menghalangi pencalonan penulis untuk jabatan di atas. Jabatan itu sendiri tidak begitu penting artinya secara pribadi bagi penulis. Namun, tindakan mematikan demokrasi pada saat ini haruslah dilawan dalam pandangan penulis. Karena, tanpa demokratisasi Indonesia tidak akan memperoleh pemimpin yang kuat saat ini. Dan mengapa harus saat ini? Karena, keterlambatan demokratisasi ini akan menjadikan Indonesia sebagai “negara boneka” yang dipermainkan negara-negara lain untuk kepentingan mereka sendiri. Jadi, benar atau tidaknya pendapat penulis itu akan ditentukan oleh masa depan bangsa ini.

Namun sebaliknya, Dr. Arief Budiman justru “membela” pemilu tersebut. Dalam pandangannya, ia memberikan suara dalam pemilu disebabkan oleh adanya UU yang dinilainya demokratis, yaitu UU No 12/2003 tentang Pemilu, yang kemudian dijabarkan oleh KPU melalui lebih dari “seribu” surat keputusannya. Dr. Arief Budiman adalah “pengamat” yang sangat dihormati orang, karena itu pendapatnya boleh dikomentari warga Indonesia yang berbeda maupun sama pandangannya. Ia adalah milik publik yang dapat saja diterima atau ditolak pendapatnya, karena itu akan sangat penting bagi bangsa kita. Karena ada kemungkinan pendapat itu akan “dipakai” orang banyak, pendapat bandingan tersebut disiarkan melalui tulisan ini. Bukan sebagai kritikan semata-mata, melainkan untuk menumbuhkan diskusi yang sehat tentang pemilu kita tahun ini.

Dr. Arief Budiman mendasarkan pendapatnya itu pada UU di atas, sedangkan penulis berpendapat bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Persoalannya menyangkut kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan kepada semua warga negara di hadapan UU, betapapun berbedanya asal usul budaya, agama, bahasa ibu, cara hidup, tingkatan masyarakat dari mana mereka berasal, dan seterusnya.

Oleh karena itu, perjuangan mereka yang menentang pemilu tersebut dengan sikap golput harus didasari pada tujuan melakukan perubahan demi perubahan di negeri kita mulai saat ini sebagai bagian dari proses demokratisasi. Sebaliknya, dalam pandangan penulis, sikap mempertahankan keadaan ini digunakan oleh mereka yang memelihara status quo demi “kepentingan pribadi” mereka sendiri.

***

PADA acara yang sama di stasiun TV itu, penulis ditanya sang pewawancara, bukankah sikap golput itu justru berarti meninggalkan “perjuangan” menegakkan demokrasi di negeri kita saat ini? Penulis menjawab, sikap itu adalah “suara protes” atas pandangan memelihara status quo, paling tidak, oleh elite politik kita saat ini.

Sebenarnya penulis ingin mengemukakan argumentasi lain, yaitu yang bersifat geopolitik atau berdasarkan keperluan menciptakan sistem ekonomi nasional dengan orientasi baru guna melawan “peninaboboan” rakyat selama ini. Di mana pada saat ini pihak elite kita memberikan perhatian serius melalui pemberian kredit murah bagi usaha kecil dan menengah. Namun dalam kenyataan, hanya usaha-usaha besar saja yang “diberi perhatian” dengan berbagai jenis kredit oleh bank-bank pemerintah.

Penulis memandang perubahan orientasi ekonomi tersebut merupakan topik tersendiri yang harus dibicarakan lain waktu, sama dengan masalah pendidikan nasional yang menurut penulis seharusnya tidak didasari pada positivisme yang dilancarkan John Dewey yang sebenarnya berwatak materialistis. Seharusnya, yang kita pakai di bidang itu adalah pengembangan konsep pendidikan berbasis massa (comunidad de base), yang dilancarkan oleh mendiang Uskup Agung Dom Helder Camara dari Recife, Brasil. Konsep itu dikembangkan di sini, dahulu oleh mendiang Romo J.B. Mangunwijaya dan sekarang, antara lain, oleh Dr. Moeslim Abdurrahman. Pendapat-pendapat seperti itu tidak akan berkembang di Tanah Air kita jika tidak ada proses demokratisasi yang dimulai dengan sungguh-sungguh tahun ini.

Penulis pernah ditanya seorang wartawan dari Australia Barat, mengapakah ngotot dengan memulai upaya demokratisasi sekarang juga? Padahal, itu adalah sebuah proses yang akan memakan waktu 80 hingga 90 tahun lamanya Penulis menjawab, menurut sebuah pepatah kuno dari Tiongkok: “perjalanan 10.000 lie (sekitar 5.000 kilometer) dimulai dengan ayunan langkah pertama”. Dikombinasikan dengan “keharusan” memulai proses demokratisasi sekarang juga agar Indonesia tidak menjadi permainan negara-negara lain yang kuat dan mampu berbuat demikian, tidak salah-lah kiranya pendapat dan sikap penulis kalaupun tidak diterima oleh bangsa ini. Sudut pandang ini merupakan sumbangan pemikiran yang positif bagi bangsa kita dan akan sangat berarti, setidak-tidaknya, bagi masa depan negara kita.

Jelaslah dari uraian di atas, semakin banyak diskusi dilakukan tentang pemilu legislatif dan presiden (eksekutif) bulan April, Juli, dan September 2004, akan menjadi lebih baik bagi kita semua. Persoalannya menyangkut kehidupan kita bersama dalam jangka panjang. Dapatkah didirikan masyarakat demokratis yang sesuai dengan kebutuhan kita sendiri? Ataukah justru dengan “acuan” bangsa-bangsa lain yang akan diajukan melalui berbagai hal, seperti globalisasi perdagangan internasional, penetrasi budaya yang “mematikan” budaya sendiri, dan pendidikan yang elitis. Inilah pokok persoalan sebenarnya yang harus kita jawab secara kolektif.

***

KARENA itu, persoalan pelaksanaan pemilu saat ini bukanlah pada UU yang disebutkan di atas, melainkan pada pelaksanaannya secara salah oleh KPU. Penulis dan sepertiga para pemilih lainnya beranggapan harus mengambil langkah golput, alias tidak memberikan suara dalam pemilihan presiden putaran pertama tahun ini. Sikap itu sama-sama menjadi hak pemilih untuk bergolput ria atau memilih dan tidak menjadi kewajiban siapa pun, seperti dikemukakan oleh seorang warga masyarakat dalam tayangan televisi Kupas Tuntas itu.

Sikap tersebut adalah bagian dari dialog yang dilakukan masyarakat sebagai sebuah proses “mengambil dan membuang” pikiran-pikiran yang diajukan ke masyarakat, dan dengan sendirinya merupakan sesuatu yang mendasar bagi proses demokratisasi kehidupan bangsa itu sendiri. Namun, ini mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?