Dari Merinding Sampai Kata “Awas!”
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Banyak yang salah memahami kata-kata jihad. Jihad selalu dikonotasikan dengan perang dalam arti fisik. Ada yang bilang, “mendengar jihad itu kayak berada di Koramil, merinding”. Padahal sebenarnya dalam sebuah traktat agama yang sudah 300 tahun umurnya dan diajarkan di pesantren-pesantren, terdapat empat macam jihad.
Yang pertama, jihad itu menegakkan wujud Tuhan, baik melalui perdebatan, peribadatan, dan sebagainya. Dengan menegakkan wujud Tuhan itu sesungguhnya sudah berjihad. Kedua, menegakkan hukum-hukum Tuhan. Mana yang dilarang Tuhan itu mesti dijauhi dan mana yang diperintahkan Tuhan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Itu juga jihad.
Ketiga, baru berperang di jalan Allah kalau diserang. Artinya, kalau tidak diserang, ya tidak perlu berperang. Ternyata konsep ini dapat dijalankan. Bosnia, misalnya, yang baru berperang dengan Serbia, ternyata sudah berkomunikasi secara baik seperti sediakala.
Konsep keempat, menjaga orang yang dilindungi Islam dari kerusakan. Siapa yang dilindungi oleh Islam itu? Di sana dinyatakan orang muslim dan nonmuslim yang hidup dalam satu masyarakat. Kaum muslimin harus ikut menjaga agar jangan sampai warga nonmuslim yang hidup dalam satu masyarakat itu dirusak atau tidak terhindar dari kerusakan. Bentuk perlindungan bisa bermacam-macam. Misalnya menyediakan pangan jika dibutuhkan. Konsep Bulog dalam mengendalikan harga bahan makanan dan penyediaan stok yang cukup dan segala macam itu sebenarnya sesuai konsep ini. Itulah sebenarnya agama dalam bentuk kemasyarakatan.
Penyediaan pakaian untuk menutup aurat merupakan bahan garapan yang dapat dikerjakan bersama-sama. Islam menggarap bareng berdasarkan atas keyakinan agamanya, demikian juga orang Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya dapat melakukan hal itu berdasarkan keyakinan masing-masing. Penyediaan papan (perumahan) juga termasuk dalam konsep itu. Bahkan ada istilah ujratut tamridh watsamanit dawa’, atau biaya perawatan dan obat yang terjangkau masyarakat, juga termasuk dalam jihad.
Kalau begitu jihadnya orang Islam sama dengan jihadnya orang beragama lain? Memang konsep jihad, kalau saja tidak “diborong” oleh orang Islam, sebenarnya dapat dipakai penganut agama lain. Demikian konsep kasih sayang orang Kristen juga dapat diambil oleh orang Islam di saat mengusahakan agar nilai-nilai kemanusiaan benar-benar diterapkan dalam kehidupan. Di situ kita bisa memahami konsep kasih sayang yang mutlak dan demikian menyeluruh.
Kalau kita hanya bicara yang baik-baik itu baru separuh jalan. Baru mimpinya. Realitasnya belum kita sentuh. Realitasnya adalah kepahitan. Bahwa kehidupan keberagamaan kita belum terlepas dari kesalahpahaman. Ada sebuah ayat dalam al-Qur’an yang biasa ditafsirkan kurang pas, “Walan tardla ankal yahudu, walan nashara hatta tattabi’a millatahum. (Wahai Muhammad, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikut agama mereka).”
Kata “rela” itu apa sih artinya? Tidak rela seolah-olah tidak menginginkan hidupnya. Gampangnya orang yang kita tidak relai itu supaya mati saja, deh! Tidak rela kalau mereka hidup.
“Rela” di sini sebenarnya mengandung arti yang sederhana, tapi, kompleks. Tidak rela artinya tidak dapat menerima konsep kebenaran abadi yang dibawakannya. Kita mesti memahami ini dalam konteks bahwa tentu saja orang Yahudi dan Nasrani tidak rela kepada kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad. Sebab kalau mereka rela berarti mereka sudah tidak menjadi Kristen lagi, tidak menjadi Yahudi lagi. Mereka sudah menjadi Islam.
Nah, karena dipahami secara salah, maka sampai keluar kata-kata “Orang Kristen nggak rela sama kita, awas!” Juga ada pidato-pidato bahwa semua jabatan dalam pemerintahan harus dipegang oleh orang Islam, sebenarnya itu sudah terlalu jauh.
Ini sebenarnya realitas tadi. Ini yang perlu diluruskan dan dipahami bersama agar tidak menimbulkan kerawanan-kerawanan. Memang diperlukan upaya-upaya komunikasi secara intensif antarumat beragama, sementara di dalam umat masing-masing agama perlu dilakukan pelurusan-pelurusan terhadap pemahaman yang menyimpang.
Di kalangan Islam tengah terjadi proses pemindahan identitas, dari identitas muslim lama menuju ke identitas muslim baru. Kalau dulu yang ada hanya sikap ritualistik, semata-mata peribadatan, kini sikap itu dikembangkan lebih jauh, bahwa peribadatan itu meliputi semua sisi kehidupan termasuk semua sisi kehidupan, termasuk soal-soal sosial, pendidikan, dan budaya.
Perubahan identitas itu juga menimbulkan kegoyahan dan kegoncangan. Juga muncul reaksi yang bermacam-macam. Termasuk di dalamnya reaksi skriptualisme yang keras, dengan membaca al-Qur’an dan hadis secara verbatim, literer, dan harfiah saja. Tidak dilihat dalam pemikiran lebih jauh dalam konteks tradisi pemikiran yang sudah berkembang selama 14 abad dalam Islam sendiri.
Kalau kita hanya terlalu banyak memberikan perhatian kepada dimensi keyakinan dan kebenaran, maka kehidupan kita akan terasa kering. Kehidupan akan menjadi sangat ideologis, sangat formal, dan sangat sarat dilingkupi oleh aturan-aturan. Padahal tidak tertutup kemungkinan aturan-aturan itu justru akan menjerat manusia dalam pola kehidupan menghadapkan satu dengan yang lain.
Apabila manusia terlalu banyak memberikan tempat kepada rasio, kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kepada sikap memperhitungkan segala sesuatu an sich, maka dengan sendirinya manusia juga akan mengalami kekeringan batin. Manusia akan mengalami kegalauan perasaan. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi pada analisis para pakar terakhir ternyata tidak mampu memecahkan segala masalah yang ada. Bahkan kemungkinan ia menjadi tambahan masalah yang baru. Setiap kali kita menemukan penemuan ilmiah yang baru, muncul pula dampak negatifnya bagi kehidupan manusia. Penemuan plastik, misalnya, semua sangat menggembirakan, karena mampu memberi fungsi yang lebih efektif, ringan dan murah. Tapi ternyata ujung-ujungnya medatangkan malapetaka. Antara lain dapat menjadi penyebab tersumbatnya saluran-saluran air dan pada akhirnya menjadi penyebab banjir di kota-kota.
Terakhir teknologi kloning, dari segi iptek merupakan penemuan luar biasa, tapi sekarang mendatangkan kecemasan jika diterapkan pada manusia. Maka jika kita hanya berbangga-bangga dengan iptek semata, kita akan kehilangan dimensi kehidupan yang paling berharga, yakni adanya pengertian dalam keseimbangan hidup. Kehidupan akan timpang manakala kita mengabaikan kehalusan budi dan rasa, jika kita megabaikan apresiasi yang benar terhadap kehidupan. Sekalipun terkadang apresiasi itu tidak sejalan dengan ideologi dan keyakinan rohani. Sebagai contoh, seorang sahabat saya, K.H. Mustofa Bisri memberi nama mushalla di belakang rumahnya dengan pasujudan. Nama itu diprotes dan diributkan orang. Gus Mus dianggap kejawen dan abangan. Padahal yang dilakukannya adalah dengan kehalusan rasa ingin mencari makna kata lain yang lebih halus dari mushalla, yakni pasujudan, yang berarti bersujud kepada Allah Swt., meletakkan muka dilantai dengan menelungkupkan badan, dan merasakan diri sebagai makhluk yang paling hina di hadapan kemahakuasaan Allah Swt. Mereka yang memprotes sebenarnya dilatarbelakangi oleh minimnya rasa halus yang mereka miliki. Mereka hanya berpegang pada aturan-aturan dan kelaziman-kelaziman.
Di sinilah arti penting rasa halus. Jika kita tidak memiliki, terlalu gampang terlanda kesalahpahaman. Satu contoh lagi, sekitar sepuluh tahun lalu saya merasakan kehalusan, getaran yang sangat dalam dan luar biasa. Yaitu saat muslimat NU mengadakan rapat kerja nasional di Tegal, Jawa Tengah. Pada pembukaan rakernas itu tampil ibu-ibu Muslimat dengan pakaian hijau-hijau muda, tampak asri dan anggun. Bayangan saya seperti biasanya mereka akan mengalunkan Shalawat Badr. Tapi yang terjadi ibu-ibu itu melantunkan tembang Jawa, Ilir-ilir. Apa yang dilakukan muslimat itu di luar tradisi NU, namun memberikan kesejukan yang luar biasa. Bukan hanya pada saya, tapi pada Menteri UPW dan Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu.
Di sinilah kita mendapati hal-hal yang halus merupakan yang esensial dari kehidupan kita. Ternyata kehidupan itu memerlukan dimensi-dimensi yang lain. Kehidupan kita juga tidak hanya diarahkan oleh kepastian-kepastian ideologis, kebenaran dan formal. Kita ternyata juga memerlukan ketidakpastian, kebimbangan, kegalauan, dan kesenduan.
Dalam sebuah novel berbahasa Prancis-dalam bahasa Indonesia berjudul Gerbang yang Tertutup— dikisahkan seorang gadis bernama Allisa. Dia mencintai sepupunya. Kegalauan gadis Allisa terombang-ambing oleh rasa cinta, rasa takut, dan rasa bimbang, yang akhirnya justru menghaluskan perasaannya. Membawa diri kepada kesadaran bahwa di balik semua itu yang mengacaukan, membingungkan, dan menggalaukan, tampak yang abadi, yaitu Tuhan. Karena itulah hanya orang-orang yang mendapatkan kebesaran Tuhan dalam konteks ini, maka bagi merekalah jalan untuk membuka gerbang yang tertutup itu menjadi sangat luas. Sedemikian besar pengaruh ketokohan dari sosok Allisa dalam diri saya, sehingga nama itu saya berikan untuk putri pertama saya.
Dari sini kita dapat memahami seni dan budaya berfungsi agar hidup kita tidak terlalu serba pasti dan tidak serba benar.