Demokratisasi dalam Pengertian Kita

Sumber Foto: https://fahum.umsu.ac.id/apa-itu-demokrasi/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kata “demokrasi” memiliki arti yang berbeda-beda bagi bangsa-bangsa yang berlainan pada masa yang tidak sama. Bagi para pemikir di negara-negara yang maju (advanced countries) dalam teknologi, kata itu dianggap bermakna demokrasi liberal. Ada yang bersifat negara kesatuan, dengan kekuasaan pemerintahan pusat yang besar, seperti di Perancis maupun yang bersifat federatif, seperti di Amerika Serikat dan Australia. Tetapi, ada pula yang menggunakan kata itu dalam arti berbeda, yaitu dengan adanya kekuatan-kekuatan politik yang tidak bertentangan, melainkan berbeda pandangan saja, seperti di Israel.

Mantan Perdana Menteri (PM) Inggris, Sir Winston Spencer Churchill pernah menyatakan demokrasi sebagai sistem politik yang sangat lemah, tapi paling baik dibandingkan dengan sistem-sistem politik yang lain. Ia membuktikan hal itu, dengan memimpin bangsa Inggris yang sedikit jumlahnya bilamana dibandingkan dengan musuh–yaitu pemerintahan pendudukan Jerman yang menguasai seluruh daratan Eropa Barat dan sedang menyerang Afrika Utara. Terkenal dalam hal ini pertempuran dengan Beatle of Britain-di mana para penerbang Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) yang berjumlah ratusan pesawat Speed Fires berhadapan dengan ribuan pesawat terbang Luftwave dari Jerman, terutama dengan pesawat Messer Smith yang ditakuti itu. Saat itu, lahirlah pahlawan-pahlawan terkenal-seperti Douglas Bader.

Meski, sering kali kata demokrasi diselewengkan dengan kata lain, seperti demokrasi rakyat dari kalangan komunis maupun dari demokrasi Islam dari kaum “garis keras”, dan demikian menjadi kehilangan makna demokratisnya, kata demokrasi tidak pernah kehilangan arti pendapat berbilang atau bersamaan perlakuan bagi seluruh warga negara di muka Undang-Undang serta penegakan kedaulatan hukum.

***

Bila kita gunakan pengertian ini, maka kita akan melihat adanya perspektif lain. Dalam teropongan seperti itu (kemerdekaan pers), menjadi kata kunci. Adakah kemerdekaan pers yang sudah terwujud masuk dalam kategori ini, dan hal ini berarti tidak mengakui demokrasi dengan kemerdekaan pers yang potensial, seperti di Tiongkok sekarang? Kalau jawabannya positif maka berarti Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Malaysia, dan Pakistan, tidak termasuk negara-negara demokratis. Begitu juga halnya dengan Iran dan Turki yang memperkenankan kritik-kritik terbuka berdasarkan kerangka acuan tertentu.

Di Iran, kritik apa pun boleh disampaikan, asalkan tidak ditujukan pada Islam sebagai jalan hidup (syari’ah). Di Turki sebaliknya, menggunakan kerangka agama saja dengan meninggalkan pandangan positif akan negara sekuler, jelas bertentangan dengan konstitusi. Namun, di kedua negara tersebut, terdapat partai-partai politik yang saling bertentangan dan semuanya bebas mengikuti pemilu.

Akan halnya dengan RRT, para pemimpinnya, menganggap kritikan sebagai sesuatu yang sehat, selama tidak mempersoalkan kebersatuan (unity) negeri China. Sedangkan persaingan bebas antarpartai diperkirakan akan dilaksanakan di masa depan oleh pemerintah, karena ketakutan akan terancamnya gagasaan kebersatuan negeri itu. Kritikan tajam dari para pengikut paham demokrasi liberal di atas, menunjukkan bahwa kedua negeri itu tidak dianggap melaksanakan demokrasi dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak mengenal istilah potential democratics, karena mereka hanya menggunakan pengertian “sudah demokratis” atau “tidak demokratis” belaka.

***

Negeri kita tidak mengalami kenyataan demokratis ini, melainkan menghadapi dilema lain lagi. Pers kita sudah menjadi begitu merdeka hingga mereka pun memuat saja berita fitnah atau kabar bohong, selama ada kekuatan politik “demokratis” yang mereka ikuti. Celakanya, partai-partai politik yang menerapkan kerangka itu, masih kuat sekali melaksanakan KKN. Mereka menakut-nakuti penerapan kedaulatan hukum, dan dengan demikian — mereka menciptakan fitnahan dan kabar bohong tersebut untuk menutupi KKN yang mereka lakukan. Yang terpenting bagi mereka, asal KKN yang mereka lindungi terbebas dari penerapan kedaulatan hukum secara tuntas.

Dengan demikian, mereka menggunakan kekuatan menjadi demokratis yang “berbilang banyak” adalah pihak yang menang dalam pemungutan suara. Bahwa tradisi demokrasi adalah mengutamakan kebenaran, adalah sesuatu yang mereka lupakan. Demokrasi yang mereka gunakan adalah demokrasi kelembagaan, dan sama sekali tidak ada hubungan tradisi dengan “tradisi demokrasi”. Jika dikombinasikan dengan lemahnya aparat penegak hukum dan ketakutan Mahkamah Agung (MA) sekarang ini di negeri kita, hasilnya adalah lelucon besar-besaran tentang Indonesia sebagai negara demokratis.

Kini, kita dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit: kedaulatan hukum hanya dapat ditegakkan sebagian saja. Terdapat kekuatan hukum yang tidak akan dapat dikenakan kedaulatan hukum itu karena kuatnya mereka. Begitu juga, ada pihak yang tidak terkena sangsi Undang-Undang (UU), karena bukti-bukti hukum yang ada tidak cukup untuk menjamin diseretnya mereka ke meja hijau. Dalam hal ini, penulis menggunakan ketentuan teori hukum Islam (ushul fiqh, Islamic legal theory): mâ lâ yudraku kulluh, lâ yutraku julluh (apa yang tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, tidak ditinggalkan yang terpenting). Selama penegakan hukum berjalan, dan persamaan perlakuan di muka Undang-Undang dilaksanakan serta kemerdekaan pers ditegakkan, selama itu pula kita tetap demokratis. Memang tergantung dari diri kita, tetapi apakah ada jaminan lebih baik bagi kita sekarang akan tegaknya demokrasi di negeri kita?