Demokratisasi dan Terorisme Internasional
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Upaya menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di dekat ibu kota Amerika Serikat, telah melumpuhkan–untuk sementara waktu, urat saraf penting di negeri Paman Sam itu. WTC sebagai pusat saraf ekonomi dan Pentagon sebagai pusat saraf militer Amerika telah melumpuhkan keangkeran negara tersebut dalam tata pergaulan internasional. Di sini jelas, bahwa tidak hanya satu pihak saja yang melakukan perbuatan terkutuk itu, tapi tampaknya beberapa pihak ikut terlibat dalam aksi terorisme internasional.
Segera saja timbul banyak tuntutan agar langsung dapat diambil tindakan tegas kepada para teroris. Hal inilah yang justru ditakuti mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Eagleburger. Dia mengkhawatirkan pembalasan seperti itu akan mengaburkan masalah saja. Memang masyarakat dapat dipuaskan, tapi pencarian penyebab sebenarnya bisa jadi mengalami kegagalan. Seperti halnya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang membebaskan pelaku peledakan bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan hukuman Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas pelaku pemboman tersebut, berarti gagalnya upaya pencarian penyebab peristiwa sebenarnya–yang, mungkin saja masih berkeliaran hingga hari ini. Sejarahlah nanti yang akan memberikan keputusan yang benar mengenai beberapa kejadian tersebut.
Yang ingin penulis sampaikan dalam artikel ini adalah himbauan untuk melihat segala sesuatu secara konsisten atau taat asas. Kejadian di New York dan Pentagon itu memang perbuatan biadab dan tidak berperikemanusiaan. Hal itu menjadi nyata dari penglihatan yang sepintas lalu saja bahwa ribuan orang meninggal karenanya. Dan, kekejaman seperti itu memang mudah membuka emosi kita. Kemarahan akhirnya menjadi sesuatu yang wajar dan laporan dari CNN tentang peristiwa itu justru meningkatkan daya amarah dan emosi kita. Namun, bisakah kita anggap beberapa peristiwa ini sebagai sesuatu yang terlepas dari perkembangan dunia pada umumnya?
***
Ternyata tidak. Peristiwa biadab memang mudah memancing emosi, karena segera tampak di mata kita derajat kebiadabannya. Tapi, timbul pertanyaan, bukankah terhadap hal-hal lain yang memiliki derajat kebiadaban yang sama telah kita biarkan terjadi di seluruh dunia ini?
Kejadian di Rwanda-Burundi, umpamanya saja, ratusan ribu orang meninggal karena kita membiarkan suku Hutu dan Tutsi saling membunuh tanpa ada campur tangan sedikit pun dari kita. Bahkan, hingga saat ini masih saja terjadi pembantaian besar-besaran di beberapa negera Afrika tanpa ada upaya melerai sedikit pun dari kita.
Jelas semua itu merupakan sebuah hal yang sangat memalukan walaupun bukan kita yang melakukan. Tapi, bukankah yang melakukan pembunuhan massal di New York dan dekat Washington DC itu juga sama? Mengapakah terhadap kejadian itu kita bersikap emosional, tapi terhadap kejadian lain kita dingin-dingin saja? Bukankah ini menunjukkan sikap hipokrit kita?
***
Senator Bob Taft adalah seorang yang dianggap dapat menjadi calon Presiden dari Partai Republik di tahun 1948, asalkan dia tetap menjadi calon yang manis dan tidak membuat gara-gara. Karena itu, tidak heran jika dia lalu bergerak hanya di belakang layar saja. Pada saat itu, Amerika Serikat yang baru saja menang perang menganggap para petinggi Nazi sebagai orang-orang yang bersalah. Mereka dijatuhi hukuman gantung, yang justru melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar Amerika sendiri. Dalam hal ini, Bob Taft menyadari bahwa dia akan kalah jika dia berbicara masalah itu. Namun, konstitusi telah dilanggar dan–dalam hal ini, ia harus mengemukakan sebuah pendirian secara terbuka, apa pun risikonya. Dan ternyata benar, dia kalah. Tapi dengan demikian ia telah mnyelamatkan demokrasi di Amerika. Kebesarannya tak pernah berkurang, meski dia tidak jadi Presiden.
Ketaatan pada konstitusi ini adalah sikap dasar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karenanya, konstitusi sebuah negara haruslah dihormati tidak hanya oleh para warga negara tersebut, tetapi juga oleh dunia internasional. Maka, akibat dari sikap tidak menghiraukan hal ini, sama saja dengan sikap membiarkan terorisme internasional. Bahkan mungkin akibat yang ditimbulkannya dapat berupa sesuatu yang lebih besar ukuran kerusakannya.
Sikap seperti inilah yang kita harapkan dari kampiun demokrasi, atau–setidak-tidaknya mengajukan claim kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat. Karenanya, sangatlah mengherankan sikap Amerika yang membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar di sebuah negara, seperti yang terjadi di negara kita baru-baru ini.
Sikap mendukung pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar kita adalah sikap hipokrit, yang menunjukkan standar ganda (double standard) Amerika yang menganggap dirinya polisi penjaga demokrasi di dunia ini. Kita memang tidak mampu berbuat apa-apa, tapi pendapat ini juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Amerika terlalu sering menganggap pendapatnya sendiri yang benar dan pendapat yang lain salah, seperti pendapat Alen Dulles yang bekerja untuk Central Intelligence Agency (CIA)-pada waktu Dien Bien Vhue jatuh ke tangan Vietkong di awal-awal tahun 50-an. Pendapat Dulles ini dianggap sebagai pendapat yang benar, yang dikenal dengan sebutan teori kejatuhan domino (domino fall theory) dari awal tahun 1950-an. Ternyata Amerika Serikat sendiri lalu mengubah strateginya, yang berarti mengakui ketidakbenaran teori tersebut.
***
Dengan demikian jelaslah, perjuangan mencegah terorisme internasional hanya akan didukung oleh semua negara jika sikap Amerika sendiri tidak lagi menggunakan standar ganda. Kalau dia sendiri berteriak-teriak tentang terorisme internasional dan pada saat yang sama membiarkan pelanggaran Undang-Undang Dasar suatu negara, maka hilanglah hak moralnya untuk meminta negara-negara lain mendukung upaya perlindungan hak-hak asasi warga negara Amerika sendiri. Dengan kata lain, dalam penegakan nilai-nilai demokrasi dan pencegahan terorisme internasional harus ada konsistensi (ketaatan asas).
Ini semua adalah pelajaran berharga yang harus selalu kita ingat dalam mengatur tata hubungan internasional.