Diskusi Tokoh: Prof. Nashr Abu Zaid – Abdurrahman Wahid

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

BEBERAPA waktu yang lalu, Prof. Nashr Hamid Abu Zayd, salah seorang intelektual Mesir yang kini menetap di Belanda, melakukan kunjungan ke Indonesia untuk beberapa hari. Dengan kepadatan acara di Indonesia, Prof. Nashr sempat menghadiri acara Launching “The Wahid Institute” di Jakarta, dan turut menjadi salah satu pembicara di suatu seminar yang digelar oleh “The Wahid Institute”. Di sela-sela acara tersebut, Prof. Nashr sempat mengadakan “obrolan santai” dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang seringkali diselingi canda-tawa dari keduanya. Berikut ini petikannya:

Gus Dur

Bagaimana dengan perjalanan Anda ke In donesia?

Nashr

Sebenarnya, sejak lama saya ingin berkunjung ke Indonesia. Kebetulan, banyak mahasiswa di Leiden, Belanda yang saya bimbing, berasal dari Indonesia. Dan keinginan tersebut baru terlaksana sekarang. Saya sangat merasa terkesan dengan sambutan yang diberikan kepada saya. Di sini, untuk beberapa hari, saya harus melakukan berbagai acara yang telah dipersiapkan. Beberapa acara seminar dan diskusi di sejumlah kampus dan lembaga, juga berkunjung ke sejumlah pesantren.

Di sejumlah pesantren yang telah saya kunjungi, saya menyaksikan para santri dengan tradisi membaca dan menelaah kitab. Saya juga melihat banyak Mahasiswa di beberapa perguruan tinggi membaca buku-buku yang saya tulis. Meskipun dalam banyak hal, beberapa argumentasi yang saya sebutkan di buku-buku saya, sering dinilai kontroversial. Bahkan, oleh pemerintah Mesir ketika itu, beberapa buku saya ditarik dan dilarang beredar, dengan alasan menyimpang. Dan bahkan, saya harus menerima kenyataan untuk “hengkang” dari Mesir.

Gus Dur

Benar. Menurut saya, banyak negara-negara Arab dikuasai oleh para pemimpin yang dzalim. Seolah-olah Tuhan tidak mau lagi mendengar doa kita. Padahal kita selalu memohon “Ya Allah, janganlah Engkau jadi kan pemimpin bagi kami, orang-orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak memperhatikan kami”. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, saya menulis artikel di harian Kompas, tentang perlunya dilakukan pemilu ulang, yang diselenggarakan tahun ini ataupun tahun berikutnya.

Hal ini sengaja saya kemukakan, karena bagi saya kita harus berani mengemukakan pendapat seperti ini. Barangkali karena gagasan yang saya lontarkan tersebut, banyak orang berpikir bahwa saya telah gila. Tetapi menurut hemat saya, ada perbedaan mendasar antara “kegilaan” dan keberanian “politis” untuk mengemukakan pendapat. Ini adalah bagian dari proses demokratisasi yang harus terus diperjuangkan. Dan untuk melakukannya dibutuhkan kesabaran, bertahap, dan sedikit demi sedikit. Dalam artikel tersebut, saya menyinggung tentang ekperimentasi perjuangan bangsa Jerman, yang dipimpin oleh Adolf Hitler.

Nashr

Tapi bagi saya, kita harus melakukan perbandingan kesejarahan. Kita perlu menelusuri literatur-literatur baik yang berbahasa Arab maupun Inggris. Sementara ini, masyarakat Barat-Eropa tidak terlalu memahami bahwa, misalnya, para kyai dan guru yang mengajar di berbagai pesantren di sini justru menentang praktik poligami. Bagi masyarakat Barat, poligami merupakan bentuk diskrimasi dan tekanan terhadap perempuan. Ini menurut saya yang luput dari perhatian masyarakat Barat.

Menurut perundangan yang ada, poligami hanya dapat dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang rumit. Poligami hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari hakim, persetujuan istri yang pertama. Be berapa kalangan berpendapat bahwa poligami adalah salah satu manifestasi hak Allah.

Gus Dur

Dalam persoalan poligami, saya selalu menjelaskan kepada masyarakat bahwa kita hidup di negara Indonesia, bukan negara Islam. Karenanya, adalah merupakan keharusan bagi kita untuk meninjau, merubah dan merumuskan kembali beberapa hukum, sesuai dengan konteks kebutuhan negara Indonesia, bukan negara Islam.

Nashr

Akan tetapi, bagaimana sikap Anda jika dalam kenyataannya, ada ayat al-Qur’an yang menyatakan, “Nikahilah wanita yang kau anggap baik, dua, atau tiga”?

Gus Dur

Bagi saya tidak masalah. Pada suatu hari, ada seseorang Ulama dari Pakistan yang datang kepada saya dan meminta warga NU untuk membacakan surat Fatihah untuk bangsa Pakistan, karena saat ini, Pakistan dipimpin oleh seorang perempuan, yaitu Benazir Butho, padahal Rasulullah pernah bersabda “tidak akan berhasil, suatu kaum yang dipimpim oleh seorang perempuan”.

Ketika itu saya mengatakan bahwa hadis Rasul tersebut perlu ditafsirkan secara tepat dan dipahami sesuai dengan konteksnya. Hadis tersebut tidak menunjukkan larangan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Hadis tersebut muncul pada saat kepemimpinan di kawasan Arab, masih bercorak tradisional, yang masih tersentral pada figur seseorang. Karenanya wajar, jika saat itu dibutuhkan figur pemimpin yang kuat yang dapat mengelola beberapa hal yang dibutuhkan ketika itu. Seperti perdagangan, distribusi air, peperangan, dan banyak hal lainnya. Akan tetapi saat ini, kepemimpinan tidak tersentral pada satu orang saja. Kepemimpinan sekarang, telah terbagi secara struktural ke dalam beberapa lembaga.

Dalam konteks ini, Benazir Butho tidak mungkin menetapkan kebijakan secara pribadi. Setiap kebijakan yang ia putuskan harus terlebih dahulu diproses dan disetujui oleh cabinet. Dan kebanyakan para menteri yang duduk di kabinet Benazir Butho adalah laki laki.

Begitu pula, kebijakan yang hendak diambil oleh kabinet harus terlebih dahulu dikonsultasikan dan mendapatkan persetujuan parlemen. Dan kebanyakan anggota parlemen adalah laki-laki. Lebih jauh lagi, bahwa segala perundangan yang ditetapkan harus mengacu kepada konstitusi, sebagai landasan hukum yang paling tinggi. Setelah mendengar penjelasan saya, Ulama tersebut nampak setuju. Meski demikian, ia tetap meminta saya untuk membacakan fatihah.

(Nashr dan Gus Dur tertawa ……)

Nashr

Sampai saat ini, sebagian orang masih mempermasalahkan jika perempuan juga turut berpartisipasi dalam ranah publik. Ini tentu merupakan persoalan tersendiri. Dan persoalan ini terkait dengan “problem” teks. Seperti, apakah seorang perempuan diperbolehkan menjadi hakim atau bahkan pemimpin?

Gus Dur

Dulu, ayah saya, K.H. Abdul Wahid Hasyim, adalah seorang Menteri Agama. Ketika itu beliau sempat ditanya tentang bolehkah perempuan masuk ke sekolah jurusan hukum Islam? Sebagai Menteri ketika itu ia menjawab, bahwa jika di Republik yang berlandaskan Islam, barangkali seorang perempuan tidak diperkenankan untuk masuk ke jurusan hukum Islam. Akan tetapi, menurut konstitusi Republik Indonesia yang tidak berlandaskan Islam, seorang perempuan dimungkinkan untuk masuk dan sekolah mengambil jurusan hukum Islam.

Akhirnya, Beliau menyetujui dan menandatangani keputusan tentang kebolehan perempuan untuk belajar di jurusan hukum Islam. Dan sampai saat ini, kita telah mempunyai sekitar 400 hakim wanita. Jadi, konstitusi di Indonesia memungkinkan seorang perempuan untuk turut berpartisipasi dalam ranah publik. Dan kalaupun dalam kenyataannya peran perempuan kurang menonjol, itu bukan berarti karena adanya larangan dalam konstitusi.

Tidak jauh beda dengan di Amerika. Bahkan Ferraro pernah dicalonkan untuk menjadi wakil presiden. Konstitusi Amerika tidak melarang perempuan untuk berpartisipasi dalam wilayah publik. Begitu pula di Belanda, dimana Perdana Menteri di sana adalah seorang wanita.

Nashr

Bagaimana pendapat anda tentang pandangan yang menyatakan bahwa poligami itu disebutkan dalam al-Qur’an? Jadi, kita tidak boleh menganggap haram sesuatu yang diha lalkan oleh Allah.

Gus Dur

Dalam konteks poligami, Al-Qur’an tidak menyatakan suatu bentuk perintah. Redaksi dalam al-Qur’an harus dipahami secara cermat. Ayat yang selama ini dipahami sebagai ayat poligami sesungguhnya adalah merupakan suatu “pengandaian”, karena dalam ayat tersebut terdapat kata “jika”. Ayat tersebut berbicara dalam konteks anak yatim yang dikhawatirkan akan menjadi “objek” ketidakadilan. Al-Qur’an menyatakan, “Jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (yang kalian asuh), maka nikahilah perempuan yang kau sukai, dua, atau tiga”. Redaksi “nikahilah” bukan merupakan perintah. Ia lebih tepat dimaknai sebagai ben tuk “izin”. Lanjutan dari ayat itu adalah, “dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahlah dengan satu wanita saja”.

Ayat ini menegaskan bahwa poligami boleh dilakukan dengan syarat seseorang dapat berlaku adil. Pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah yang menetapkan “standard” keadilan? Perempuan ataukah laki-laki? Munurut saya, sasaran yang yang hendak dituju oleh ayat ini adalah terciptanya keadilan bagi perempuan. Karenanya, yang berhak merumuskan “standard” keadilan adalah perempuan, bukan sebaliknya.

Tentu saja, bagi kita selaku muslim, hal ini menjadi persoalan. Kita tidak boleh melakukan hubungan seksual selain dengan istri kita. Suatu hubungan seksual, harus terlebih dahulu diikat oleh pernikahan yang sah. Hal ini menyebabkan minimnya kuantitas kaum Mus

lim, jika dibandingkan dengan komunitas lain nya di seluruh dunia.

Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di seluruh dunia, sebenarnya umat Islam adalah minoritas. Dari sekitar 6 milyar penduduk, umat Islam hanya berjumlah tidak lebih dari seperlimanya saja.

Nashr

Tetapi, perbedaan kuantitas yang sedemikian besar tentu akan berpengaruh terhadap psikologi kaum Muslimin sendiri. Mereka juga menempati wilayah yang berbeda-beda. Ada yang di Mesir, Nigeria, Tunisia, Indonesia, dan berbagai negara lainnya. Dan jelas, bahwa situasi dan kondisi yang mereka hadapi, berbeda satu sama lain.

Gus Dur

Benar, bahwa kaum Muslimin tersebar ke dalam berbagai negara dengan situasi dan kondisi yang berbeda satu sama lain. Akan tetapi, mereka mengemban tugas yang sama, yakni tidak boleh memperlakukan yang lain dengan perilaku tercela.

Nashr

Betul. Sekarang saya ingin bertanya tentang Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah organisasi yang muncul dari suatu sejarah tertentu, apa yang membedakan organisasi ini dengan organisasi yang lainnya? Apakah NU mempunyai “ciri khas” corak pemikiran tertentu?

Gus Dur

Dalam hal pemikiran, kami mengacu kepada kaedah-kaedah Fikih. Salah satu kaedah fikih menyatakan bahwa “adat” dapat dijadikan sebagai acuan dalam menetapkan hukum. (al ‘Adah Muhakkamah). Tentu hal ini dengan persyaratan bahwa “adat” tersebut tidak bertentangan dengan Islam. Beberapa contoh adalah, sikap menghormati para Ulama, tradisi membaca dan mempelajari kitab-kitab klasik, dan lainnya, adalah tidak bertentangan dengan Islam. Akan tetapi sebaliknya.

Nashr

Apakah yang Anda maksud juga termasuk tradisi yang berkembang sebelum Islam?

Gus Dur

Tepat sekali. Jadi, selama kebiasaan tersebut selaras dengan cita-cita Islam, kami akan mengambil dan mengadopsinya. Di sini ada dua perbedaan mendasar dalam “mendekati” Islam dan ini bagi saya merupakan persoalan besar. Kedua pendekatan tersebut selalu dilakukan kaum muslimin dalam menyikapi segala sesuatu yang mereka hadapi. Pertama, pendekatan yang memandang Islam sebagai sebuah lembaga. Kedua, pendekatan yang memandang Islam sebagai ajaran subsansial. Dalam pendekatan pertama, kita memandang bahwa golongan yang berada “di luar” Islam sebagai “garis batas (?)” bagi Islam. Akan tetapi, NU lebih cenderung melihat Islam sebagai suatu ajaran substantif, bukan Islam sebagai suatu lembaga.

Karenanya, misalnya, meskipun Muhammadiyah yang lahir pada 1912 dan NU lahir pada 1926, di mana sebagai lembaga, keduanya lahir setelah melalui sejarah panjang ratusan tahun sebelumnya, keduanya mempunyai “cara pandang” yang berbeda dalam menyikapi kebudayaan. Ada perbedaan antara wawasan yang dikembangkan oleh NU dengan wawasan yang dikembangkan oleh Muhammadiyyah. Jika kita perhatikan kaum Muslimin yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimun, misalnya, mereka berpandangan bahwa adanya lembaga merupakan suatu keharusan. Mereka melihat bahwa lembaga merupakan hal yang mempunyai peranan yang demikian penting. Akan tetapi bagi NU tidak demikian. Misalnya saja, jika pemerintah yang ada kurang sejalan dan berseberangan dengan NU, maka NU tidak terlalu ambil pusing. Kita bisa saja mendirikan lembaga baru.

Nashr

(Suara tidak jelas…..)

Gus Dur

Di sini, ada hal yang sangat penting. Gerakan-gerakan Islam di kawasan Arab sampai sekarang masih muncul dalam pola yang kurang lebih sama, seragam. Misalnya saja contoh kasus Sa’aduddin, yang melawan pemerintahan Husni Mubarak, ini tidak mungkin dilakukan jika dilakukan di sini. Gerakan-gerakan Islam di Arab, untuk mengemukakan pendapat mereka seringkali memilih menjadi penentang pemerintah. Karenanya, biasanya setiap aktivis hanya berfikir bagaimana ia dapat melakukan penentangan terhadap pemerintahan.

Lain halnya bagi kami di sini. Di sini, kami lebih memilih untuk menjadi kekuatan civil society. Kami di sini melakukan pemberdayaan-pemberdayaan terhadap masyarakat melalui sarana-sarana pendidikan. Pemerintah ya pemerintah. Bangsa ya bangsa!!! Ini bagi kami adalah hal yang sangat penting. Misalnya, jika kita perhatikan gerakan-gerakan Islam di Timur-Tengah, kecenderungan aktivitas pergerakan mereka selalu hanya diorientasikan untuk menentang pemerintah. Karenanya, mereka cenderung memilih sikap yang kasar, keras. Bagi mereka, sikap menentang pemerintah tidak dapat dilakukan dengan tanpa jalan “kekerasan”. Ini bisa di lihat dari contoh kasus ledakan bom sebuah mobil bagi para turis asing di Kairo, Mesir.

Nashr

Peristiwa sejenis juga pernah terjadi di Libanon.

Gus Dur

Iya. Libanon terletak di sebelah kawasan Timur-Tengah. Sebelumnya tidak terjadi hal seperti itu.

(Keduanya tertawa).

Nashr

Ini suatu fenomena baru.

Gus Dur

Betul. Karena kecenderungan sebagian pemuda sekarang, oleh lembaga-lembaga pergerakan tersebut, dipersiapkan untuk “merusak” (?). Ketika di suatu kesempatan saya bertemu dengan penulis buku Clash Of Civilization, Samuel P. Huntington, saya mengatakan, “Anda paham dan mengetahui berbagai perbedaan tentang pohon. Akan tetapi Anda tidak mengerti hutan secara keseluruhan. Ada perbedaan antara Muslim dengan Non-Muslim (Barat). Apakah Ada tidak mengetahui, bahwa setiap tahun, lebih dari duaratus ribu mahasiswa pergi ke Barat untuk mempelajari berbagai ilmu dan teknologi dari Barat? Tentu, tidak hanya sekadar dalam hal ilmu dan teknologi saja, tapi juga dalam hal peradaban. Anda sama sekali tidak berfikir, apakah jika mereka memakai pakaian ala Barat, lantas mereka berarti telah menjadi Barat?”. Tidak!! Saya beberapa kali berkunjung ke Barat, tapi saya tidak berarti lantas harus ke-Barat-baratan. Karenanya, dalam hal kesukubangsaan (al-‘iraqah al-jinsiyyah), hanya terbatas pada ikatan perkawinan. Selain perkawinan, tidak. (??) Saya menyebut tentang kesatuan sentimen keturkian (wahdah turkiyyah) di Belanda. Bahwa mereka tetap sebagai Muslim, bukan sebagai bagian dari Barat. Mereka tetap sebagai bagian dari warga negara Turki.(??) Di Indonesia juga demikian, sebagaimana dapat dilihat dalam sejarah.

Nashr

Setiap kebudayaan mempunyai sejarahnya sendiri. Termasuk kebudayaan zaman pra-Islam. Bagaimana sikap NU terhadap kebu dayaan pra-Islam?

Gus Dur

Ada suatu cerita pada tahun 1912 tentang kakek saya, KH. Hasyim Asy’ari. Beliau termasuk Ulama besar di Jawa. Beliau mempunyai teman yang merupakan tokoh pendiri Muhammadiyah, H. Ahmad Dahlan. Keduanya belajar dalam satu pesantren.

Nashr

Keduanya merupakan teman di satu Madrasah?

Gus Dur?

Benar. Yang satu, KH. Hasyim Asy’ari, berpegang pada madzhab Asy’ari, sedangkan yang satunya, H. Ahmad Dahlan, berpegang pada madzhab Hambali yang dalam pengambilan hukumnya selalu berdasar pada teks–teks “baku” al-Qur’an dan Hadits. Bagi madzhab Hambali, segala hal yang tidak berdasar pada al-Qur’an dan Hadis, dan tidak ada nash yang jelas, tidak akan diterima. Akan tetapi, kami menetapkan hukum melalui prosedur ushul fikih.

Nashr

Jadi, Ahmad Dahlan lebih terpengaruh oleh faham Wahhabiy?

Gus Dur

Benar. Akan tetapi, paham Wahhabiy juga tidak selamanya salah. Kami, di kalangan NU, mengakui empat madzhab yang ada. Dalam persoalan-persoalan fikih, NU berdasar pada empat madzhab yang ada, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Nashr

Bukankah Wahhabiy cenderung tidak ber madzhab?

Gus Dur

Menurut saya, mereka bukannya tidak bermadzhab. Ada kesamaan antara Madzhab Hambali dengan Wahhabiy. Secara umum, keduanya sama-sama mendasarkan pada hukum pada teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang, menurut saya, ditafsirkan secara salah. Seperti misalnya, dalam salah satu ayat al-Qur’an disebutkan, “barang siapa yang menjadikan selain Islam sebagai agama, maka segala amalnya tidak akan diterima dan di akhirat kelak, dia termasuk orang-orang yang merugi”. Dalam penafsiran kami di kalangan NU, kalimat “tidak diterima” berarti bahwa, yang tidak diterima adalah amalan mereka yang tidak tergolong “amal shaleh”.

Contoh lain menurut saya, adalah seperti ayat dalam surat at-Takatsur. Dalam semua penafsiran, “al-Takatsur” dimaknai terbatas sebagai berlomba-lomba dalam anak dan harta. Akan tetapi bagi saya, “al-Takatsur” juga termasuk berlomba-lomba dalam hal “suara” (pemilihan umum). Jika dalam proses pemilu kita tidak memperdulikan faktor etika (al-akhlaq al-hasanah), dan lebih mengedepankan cara-cara “kotor” (al-akhlaq al-sayyi’ah), maka kita juga telah ter golong dalam makna “al-haakum at-Takaatsur” tersebut.

Nashr

Jadi penafsiran di sini dalam konteks wilayah politik?

Gus Dur

Benar. Begitu juga, ketika dalam salah satu acara yang dihadiri banyak orang di luar Jakarta, saya mengatakan bahwa penafsiran surat Quraiys yang berbunyi, “karena kebiasaan orang-orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan usim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan memberikan mereka rasa aman dari ketakutan”, tidak cukup hanya ditafsirkan terbatas pada kebiasaan orang-orang Quraisy melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas saja, akan tetapi termasuk di dalamnya adalah perdagangan internasional.

Sistem perdagangan internasional harus didasarkan pada rasa “takut” kepada Allah. Ini penting sekali untuk ditegaskan. Karena saat ini kita melihat orang-orang Barat melakukan praktik perdagangan tanpa mempedulikan etika. Prinsip dagang mereka hanya berlomba, berlomba, dan berlomba!!!. Jadi, dengan didirikannya WTO (organisasi perdagangan dunia) semakin menegaskan bahwa al-Qur’an itu benar.

Ini yang saya sebut dengan istilah Micro Interpretation of the Qur’an dan Macro Interpretation of The Qur’an (al-Tafsir al-Shaghir li al-Qur’an wa al-Tafsir al-Kabir li al-Qur’an). Ini penting sekali. Karena Islam selalu berbicara dalam banyak hal yang bersifat makro maupun mikro. Yang bersifat kolektif maupun individual. Sebagaimana juga dalam surat al-Maa’un, dimana dalam surat tersebut disebutkan tanggung jawab individu terhadap kehidupan sosial.

Di Indonesia, bukan hanya di kalangan NU tapi juga di Muhammadiyyah, kami sangat memberikan penekanan terhadap konsep “maaf” dan “Sabar”. Al-Qur’an menyebut beberapa kali tentang “sabar”. Seperti ayat, “Bersabarlah.. (hai Muhammad). Dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah”. Dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an juga disebutkan bahwa Allah Maha Memberi Maaf. Salah satu ayat al-Qur’an menyebutkan, “dan apa saja musibah yang menimpa kepadamu, maka tidak lain bahwa hal itu disebabkan oleh perbuatanmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. Jika Allah saja memberi maaf, bagaimana dengan kita selaku manusia? Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah Maha Menerima Taubat. Innahu kaana Tawwaban Rahiima.

Dalam taubat, terkandung makna kekuatan bersabar. Dalam tradisi warga NU, setiap selesai adzan, sambil menunggu datangnya Imam di Masjid maupun Musholla, para jama’ah selalu mengumandangkan syair-syair. Salah satunya, seperti syairnya Abu Nawas yang sangat terkenal:

Ilahy, lastu li al-Firdausi Ahlan….

Wa laa aqwaa ‘ala an-naar al-jahiim…

Fa hab liy taubatan waghfir dzunubiy…

Fa innaka ghaafir al-dzamdi al-‘adzim…

( Ya Allah, aku tak pantas untuk masuk ke dalaam surga Mu…

akan tetapi, sungguh aku tak kuasa…

jika Kau campakkan aku ke dalam neraka-Mu…

karenanya, karuniakan kepadaku taubat-Mu…

ampunilah dosaku…

karena sesungguhnya, Engkaulah yang memberi ampun segala dosa besar…)

Dari tradisi seperti ini, sejak dini kami menanamkan pendidikan bagi anak usia belia.

Nashr

Apakah tradisi seperti itu tidak dinilai sebagai suatu bid’ah?

Gus Dur

Tidak. Bagi kami, tradisi seperti itu bukan merupakan bid’ah.

Nashr

Bagaimana dengan Muhammadiyyah, apakah mereka juga tidak menganggap tradisi semacam itu sebagai suatu bid’ah?

Gus Dur

Sebagian warga Muhammadiyyah barangkali memang ada yang beranggapan bahwa tradisi semacam itu sebagai bid’ah. Akan tetapi tidak semuanya.

Nashr

Apakah ketika tradisi tersebut dibiasakan dikumandangkan di masjid, lantas dipandang sebagai suatu bentuk ritual yang disyariatkan (masyru’)? Apakah hal itu tidak bertentangan dengan agama?

Gus Dur

Tradisi tersebut merupakan bentuk hal yang dimasyru’kan. Dalam arti, “adat” memandang bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk ritual. Jadi di sini, yang memasyru’kan adalah “adat”. Dan bagi kami, tradisi semacam itu tidak bertentangan dengan Islam.

Suatu ketika, selaku Presiden, saya berkunjung ke Sudan menemui Musyir Basyir. Hal yang pertama kali saya tanyakan kepadanya adalah, “apa yang telah dilakukan oleh kakek Anda?” Dia mengatakan bahwa kakeknya merupakan pengikut dan mengambil sanad Tharikat Syadziliyyah dari Mesir. Ternyata, ada kesamaan dengan kakek saya. Dulu, kakek saya juga seorang Mursyid Tharikat Syadziliy yah.

Nashr

Selama menjadi Presiden, berapa kali Anda berkunjung ke sana?

Gus Dur

(suara tidak jelas……….)

Selaku Presiden, Saya sempat dua kali mengadakan kunjungan kenegaraan ke sana.

Jika saya perhatikan, terdapat satu hal yang membedakan antara negeri kami dan negeri Anda. Di Indonesia, seorang yang mempunyai kapasitas keagamaan turut berpartisipasi dalam pemerintahan. Sementara di negeri Anda, kepala negara bukanlah orang yang mengetahui persoalan agama. Ini tentu merupakan suatu perbedaan yang sangat signifikan.

Nashr

Apakah menurut Anda, seorang “hakim” dapat menjadi kepala negara?

Gus Dur

Mungkin saja.

Nashr

Apakah itu merupakan keharusan?

Gus Dur

Kemungkinan di sini dalam arti bahwa ia juga mempunyai hak untuk dapat menjadi kepala negara.

Saya melihat bahwa gerakan Islam di Timur-Tengah selalu bergerak di bawah tanah. Sedangkan, gerakan Islam yang bergerak secara terang-terangan akan dikuasai dan dihegemoni oleh pemerintah. Karena itu, saya melihat bahwa pemerintahan Anda justru memandang bangsanya secara curiga. Bahkan di al-Azhar sekalipun. Saya merasa bahwa orang-orang Mesir yang mempunyai kecintaan yang sedemikian kuat terhadap agamanya, tidak merasa turut memiliki al-Azhar. Al-Azhar lebih merupakan lembaga yang dimiliki oleh pemerintah.

Sedangkan di sini, kami mendirikan pesantren-pesantren maupun madrasah-madrasah tanpa melibatkan campur tangan dan intervensi dari pemerintah. Dalam konteks Pesantren, semuanya lebih merupakan swadaya masyarakat. Kalaupun pemerintah turut intervensi, itu hanya dalam hal bantuan fasilitas saja.

Nashr

Jadi di sini, pemerintah tidak melakukan intervensi dalam hal peraturan, sistem, maupun kurikulum yang hendak dikembangkan oleh pesantren maupun madrasah-madrasah tersebut?

Gus Dur

Benar. Dan ini menurut saya penting sekali.

Nashr

Sejarahnya jauh berbeda dengan kondisi yang ada di negeri kami.

Gus Dur

Benar. Dapat Anda lihat sekarang, misalnya, bahwa meskipun KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengganjal saya untuk mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu kemarin, akan tetapi masyarakat dan para pemimpin partai mendukung langkah saya untuk terus maju.

Nashr

Apakah dalam hal demikian tidak terjadi perang fatwa?

Gus Dur

Perang fatwa tetap saja ada terutama dalam organisasi yang massanya relatif lebih kecil.

Nashr

Apakah itu berpengaruh?

Gus Dur

Tidak berpengaruh apa-apa. Selama ini, antara NU dengan Muhammadiyah selalu bersepakat. Yang sering menjadi persoalan beda pendapat, sebenarnya hanyalah pada hal-hal yang lebih bersifat furu’iyyah saja. Dan dalam hal politik, antara NU dan Muhammadiyah pada dasarnya sama.

Nashr Jadi mereka cenderung satu kata dalam per soalan politik, sementara dalam hal ritual (syi’ar), mereka berbeda?

Gus Dur

Benar.

Nashr

Dalam hal yang bersifat ritual (syi’ar), perbe daan apa saja yang nampak?

Gus Dur

Perbedaan tersebut muncul pada persoalan-persoalan kecil yang lebih bersifat furu’iyyah, seperti seputar shalat ‘idul fitri maupun ‘idul Adha, shalat tarawih, tahlil, dan lain-lain.

Nashr

Apakah perbedaan tersebut mengakibatkan terjadinya perpecahan?

Gus Dur

Tidak. Hal ini tidak lain karena adanya kesaling-mengertian dan toleransi penuh yang telah dibangun oleh para pemimpin kami semenjak dulu. Seperti misalnya ayah saya, KH. Abdul Wahid Hasyim. Beliau sangat dekat dengan pendiri Muhammadiyah. Bahkan pada tahun 40-an, ayah saya tinggal bersamanya.

Nashr

Dalam persoalan shalat tarawih yang 20 atau 36 rakaat itu?

Gus Dur

Ada sebuah cerita. Pada suatu saat, saya berkunjung menemui mantan presiden Soeharto di kediamannya pada permulaan bulan ramadlan, setelah dia dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden. Setelah berbuka, shalat maghrib, dan dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang ada, Pak Harto meminta saya untuk tetap di sana sampai tengah malam. Ketika itu, saya ditemani salah seorang Kyai. Karena ketika itu saya mempunyai acara lain, Pak Harto meminta agar teman saya (Kyai) yang tetap di sana. Ketika itu saya mengatakan kepada Pak Harto, bahwa ada hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu.

Dengan penasaran Pak Harto bertanya, “penjelasan apa?”. Saya mengatakan bahwa Kyai, teman saya, itu berasal dari Metro, Lampung, suatu daerah yang cukup jauh dan terpencil, sehingga Kyai tersebut cenderung berhaluan konserfatif. Karenanya perlu ada penjelasan terlebih dahulu, apakah shalat tarawih akan dilaksanakan menurut tata cara NU yang lama atau yang baru? Selanjutnya Pak Harto bertanya, apakah dalam hal shalat tarawih NU mempunyai dua cara? Saya jelaskan bahwa dulu, warga NU melaksanakan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat, sedangkan sekarang warga NU melaksanakan shalat ta rawih sebanyak 20 rakaat. Jadi, ada diskon 16 rakaat. Mendengar penjelasan saya, Pak Harto pun tertawa.

(Dan Nashr dan Gus Dur pun tertawa bersama-sama.)

Dalam banyak aspek, sebenarnya antara NU dengan Muhammadiyyah tidak jauh berbeda. Kalaupun ada perbedaan, kami anggap hal itu adalah bagian dari upaya untuk memahami “orang lain”. Kami sangat memperhatikan firman Allah yang berbunyi, “hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal satu sama lain”. Ini satu hal. Artinya bahwa perbedaan dalam persoalan furu’iyyah adalah hal yang biasa. Akan tetapi dalam ayat lain al-Qur’an mengatakan, “berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah. Dan janganlah bercerai berai”. Ayat ini secara tegas melarang kita untuk bercerai-berai. Kita harus dapat membedakan antara perbedaan dan perpecahan. Perbe daan adalah hal yang sah terjadi. Akan tetapi, perbedaan tidak boleh menjadikan kita bercerai-berai.

Contoh lain adalah, ketika saya masih belajar di Mesir, ada salah seorang yang di kemudian hari menjadi pimpinan Muhammadiyah, Ahmad Azhar Basyir. Usianya lebih tua dari saya. Pada satu hari, saya berkunjung ke tempatnya dan meminjam 3 buku. Setelah saya baca, saya kembali diskusikan dengannya. Saya sering bertukar pikiran dengannya. Sepulangnya ke Indonesia, di kemudian hari dia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan saya menjadi Ketua Umum PBNU.

Nashr

Pada tahun berapa Anda belajar di Mesir?

Gus Dur

Saya belajar di Mesir dan mengenal Ahmad Azhar Basyir pada tahun 60-an, sekitar tahun 1964-1965.

Nashr

Di Universitas mana?

Gus Dur

Saya kuliah di al-Azhar, sementara Ahmad Azhar Basyir mengambil program Magister jurusan Islamic Studies di Universitas Kairo.

Nashr

Apakah dulu Anda sering ke masjid al-Azhar?

Gus Dur

Benar Nashr Berarti ketika itu mungkin saya sering bertemu Anda di sana.

Gus Dur

Ketika itu saya belajar kepada Syeikh Abdul Lathif Subki, Ahmad Sayis, yang ketika itu mengajar tafsir Ayat Ahkam, dan masih banyak lagi syaikh yang lainnya. Saya juga pernah mengikuti kuliah yang disampaikan oleh Syaikh Sulaiman Dunya, Syaikh Abdul Halim Mahmud dan lain-lain.

Kami, para mahasiswa dari Indonesia, merasa bangga dan kagum dengan para syaikh yang mengajar di al-Azhar. Syaikh Abdul Halim Mahmud sebelum terpilih menjadi syaikh al-Azhar, pernah berkunjung ke organisasi kami (NU) untuk memberikan ceramah. Kami menanyakan perihal salah satu syarat untuk memperoleh nilai jayyid adalah bacaan al-Qur’an. Ada salah seorang Mahasiswi dari Indonesia yang suaranya tergolong bagus.

Dan setiap kali dia membaca al-Qur’an, beliau menutup kedua telingannya

(Gus Dur dan Nashr kembali tertawa.)

Nashr

Jadi beliau menutup telinga ketika mendengar suara perempuan?!

Gus Dur

Betul sekali.

(Keduanya kembali tertawa…)

Padahal, setiap kali kami menyaksikan siaran televisi Mesir, kami senang mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan oleh penyanyi wanita seperti Najwa Fu’ad, Ummi Kaltsum, dan lainnya. Dan ini tiap hari.

(Keduanya kembali tertawa.)

Nashr

Tapi mereka hanya menyanyi, tidak membaca al-Qur’an.

(Nashr tertawa….)

Gus Dur

Betul……..

(Keduanya kembali tertawa….)

Nashr

Pada tahun berapa hal itu terjadi?

Gus Dur

Pada sekitar awal tahun 1965-an.

Dan sekarang, mahasiswi yang saya ceritakan tadi, yang suaranya bagus dalam membaca al-Qur’an, menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat NU Jawa Timur.

Nashr

Siapa namanya?

Gus Dur

Nama lengkapnya saya lupa. Tapi saya biasa memanggilnya Nur…

Nashr

Berarti dia termasuk pembaca al-Qur’an (Qari’ah) seperti Abdul Bashit?!

Gus Dur

Benar..

Nashr

Apakah dia sudah pernah merekam suaranya dalam bentuk kaset seperti Abdul Bashit?

Gus Dur

Saya tidak tahu. Karena tempat kami berjauhan dan kami juga jarang bertemu satu sama lain.

(Sepenggal obrolan yang agak akhir ini, lebih merupakan “basa-basi”, karena selalu diiringi canda dan tawa. Juga, bernostalgia mengenang “masa lalu”.)

Nashr

Ketika Anda berkunjung ke Mesir pada saat Anda menjabat sebagai Presiden RI, apakah Anda sempat bertemu dengan tokoh-tokoh al-Azhar?

Gus Dur

Iya. Saya sempat bertemu dengan syaikh al-Azhar, syaikh Ali Thanthowi dan lain-lain.

(suara tidak jelas…)

Dulu, ketika saya di al-Azhar, saya lebih sering berada di perpustakaan. Waktu saya lebih banyak saya habiskan untuk membaca buku di perpustakaan.

Saya mempunyai sejumlah artikel tentang Islam, yang saya kumpulkan dalam sebuah buku (dan rencananya akan diterbitkan) dengan judul, “inilah Islamku”. Pilihan judul “inilah Islamku”, karena barangkali, misalnya, pemahaman Anda terhadap Islam berbeda dengan Islam yang saya pahami.

Nashr

Anda memberi judul buku itu, “inilah Islamku”, bukan “inilah Islam kita”?! Apakah buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain, bahasa Inggris misalnya?

Gus Dur

Tidak. Saya juga mempunyai beberapa ar tikel yang pernah dimuat di surat kabar, (ada sekitar 98 judul artikel), yang mengu pas tentang hubungan antara Islam, Negara dan Masyarakat. Artikel-artikel yang ini diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa; Belanda, Inggris, Jepang, ……

(Nampaknya, Gus Dur sudah ditunggu oleh tamu yang lain. Sementara Nashr juga akan segera beranjak melanjutkan acara lainnya. Keduanya pun akhirnya menutup pembicaraan)

Nashr

Nampaknya saya sudah terlalu lama di sini dan harus bergiliran dengan yang lain. Banyak para tamu lain sudah menunggu.

Gus Dur

Saya sangat berterima kasih atas kehadiran Anda di sini. Bagi saya, ini merupakan kunjungan yang sangat berarti. Khususnya untuk mempererat hubungan kami dengan Belanda.

Nashr

Terima kasih atas waktunya. Sampai bertemu di lain kesempatan.