Eksperimen dengan Sebuah Revolusi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
TIGA belas tahun pemerintahan Partai Sosialis Arab Ba’ath (Kebangunan) ternyata membawa perubahan sangat besar dalam kehidupan bangsa Irak. Tumbuhnya disiplin nasional dapat dilihat dalam beberapa hal kecil, seperti bertambah baiknya tertib lalu lintas dan tampaknya kebersihan jalan. Pengaturannya semakin keras: yang melanggar terkena hukuman denda sekitar tujuh ribu rupiah kita. Tetapi, sudah tentu hal-hal seperti itu tidak dapat dijadikan ukuran bagi transformasi mendasar yang dijalani kehidupan bangsa Irak.
Seperti umumnya pemerintahan revolusioner, pemerintah Irak memberikan tekanan pada pengembangan kesadaran nasional akan pentingnya arti penciptaan masyarakat baru yang dituju oleh revolusi itu sendiri. Bentuk paling mudah untuk diambil sebagai contoh sudah tentu adalah indoktrinasi, yang dalam kamus Arab modern disebut tau’iyyah, yang diselenggarakan secara masif melalui segenap media.
Tidak bosan-bosan didengungkan kehebatan revolusi. Segala bentuk ekspresi perasaan dan ungkapan pemikiran diarahkan kepada pengagungan revolusi dan kehebatan masyarakat sosialis yang diidam-idamkan. Kesenian, pendidikan, upacara-upacara keagamaan, dan acara-acara hiburan dipenuhi dengan “suasana revolusioner”.
Sudah tentu tidak ketinggalan pengerahan segala aspirasi masyarakat kepada pemujaan pimpinan revolusi, yaitu Presiden Saddam Hussein. Begitu banyak nyanyian digubah untuk memuja manusia yang belum berusia 50 tahun ini. Begitu penuh sajak-sajak dengan ungkapan kekaguman kepada kepribadiannya dan begitu besar gambarnya bertebaran di seluruh penjuru negeri, sehingga tidak mungkin luput perhatian orang dari titik kehadirannya yang sentral dalam kehidupan bangsa Irak.
Pada dasarnya, Saddam memang memiliki kepribadian yang menarik sederhana dan lugas dalam penampilan fisik, jelas dan terarah dalam pengungkapan pikiran, dan tampak nyata penguasaannya atas masalah teoretis dari ideologi sosialistis yang dipeluknya. Ketika ditanya seorang penulis siapakah tokoh yang paling dikaguminya dalam sejarah, tanpa ragu-ragu dinyatakannya: Lenin, itu penemu ideologi komunis. Ini saja sudah menunjukkan keterlibatannya yang begitu mendalam atas masalah ideologis.
Tetapi, cukupkah kesemuanya itu menggambarkan transformasi mendasar yang sedang terjadi di Irak? Pengubahan kehidupan masyarakat yang tampak secara lahiriah dalam hal kecil-kecil sudah tentu bukan tolok ukur yang pasti dari keberhasilan sebuah revolusi dalam melakukan transformasi mendasar. Derasnya arus indoktrinasi tidaklah mencerminkan perubahan sikap hidup bangsa. Pemujaan berlebihan kepada sang pemimpin bukanlah jaminan kuat bagi terciptanya sebuah masyarakat yang baru.
Rasa-rasanya, tolok ukur paling tepat untuk menilai keberhasilan revolusi sosialis Ba’ath di Irak adalah pengamatan atas orientasi politik-ekonomis yang dikembangkan di sana. Semua revolusi akan selalu berwatak populistis dalam orientasi politik-ekonomisnya. Bagaimanakah penerapan populisme dan egalitarianisme dalam kenyataan hidup di Irak sekarang?
Ternyata, hal ini sangat menarik untuk diamati. Kelas menengah, ternyata, tidak banyak terpengaruh kedudukan sosialnya oleh revolusi. Mereka tetap dibiarkan mendominasi sektor swasta dalam perekonomian, sehingga sektor tersebut juga benar-benar berfungsi penuh, tidak seperti di negeri sosialis lainnya. Sudah tentu ada “pengawasan” melalui unit-unit koperasi di bidang distribus dan penyediaan bahan-bahan pokok guna mencegah manipulasi harga oleh sektor swasta itu. Bidang jasa, sampai impor-ekspor, cukup banyak diserahkan kepada sektor ini.
Padahal, yang menarik keuntungan adalah modal dan kewiraswastaan kelompok minoritas Yunani, Armenia, dan Kurdi. Walaupun mereka tidak dibiarkan memasuki bidang industri utama, seperti pembuatan barang-barang industri, peranan kelas menengah yang memiliki vitalitas dan kreativitas begitu besar itu masih tampak sangat besar dalam perekonomian bangsa, sehingga mereka tidak “tertelan” oleh sektor negara.
Di pihak lain, pembuatan barang industri dan penyediaan barang diarahkan, terutama, kepada kebutuhan pokok rakyat. Barang jadi untuk kemewahan hidup sangat dibatasi, walaupun definisi kemewahan itu sendiri masih berbeda dengan pengertian kita di sini (setiap pegawai pemerintah berhak membeli mobil sekali setiap lima tahun, asalkan paling tinggi Toyota Crown dan bukan Mercedes Benz). Pajak sangat berat dikenakan atas kemewahan hidup.
Politik-ekonomi seperti membawa kepada sebuah perkembangan menarik: peningkatan pendapatan kelas menengah secara drastis selama pemerintahan revolusioner, ternyata, tidak diimbangi oleh sektor penyediaan barang-barang mewah, termasuk industri hiburan berskala masif. Sebagai akibatnya, beberapa buah hotel modern dan sejumlah klub malam menjadi saluran pembuangan uang mereka. Sudah tentu dengan eksesnya yang berupa meningkatnya jumlah mereka yang dijangkiti kecanduan alkohol — walaupun “penyakit” ini bukan monopoli masyarakat sosialis belaka.
Memang menarik untuk dikaji perkembangan selanjutnya negeri kurma yang diapit oleh kedua Sungai Tigris dan Euphrat ini, karena ia menyediakan variasi baru dalam pemikiran revolusioner: bagaimana menciptakan struktur masyarakat yang berasaskan persamaan dengan orientasi politik-ekonomis berwatak populistis, tetapi dengan tetap menyediakan peluang kepada inisiatif perorangan para wiraswastawan.
Jawaban Irak untuk memberikan hak hidup kepada kelas menengah, dengan menjadikan sektor negara sebagai penentu arah perekonomian melalui penyediaan kebutuhan pokok dan penguasaan penuh atas industri pembuatan barang untuk itu dan atas industri berat, sudah tentu sangat berharga untuk dipelajari sebagai eksperimen tersendiri dalam pengembangan pemikiran tentang revolusi. Sangat besar implikasinya bagi teori revolusi untuk dilewatkan begitu saja tanpa kajian mendalam atasnya.