Generasi Muda Islam dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tidak dapat disangkal lagi, dewasa ini semakin tampak prospek menggembirakan dari kaum muda muslimin di negeri kita. Hal itu dapat diukur dari banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh mereka di hampir semua bidang kehidupan. Juga dapat diukur dari kuatnya kegairahan untuk menampilkan identitas keagamaan mereka dalam semua aspek kehidupan yang mereka jalani. Apa yang semula hanya berupa kegiatan peribadatan bersama di satu-dua ruangan, lama-kelamaan berkembang menjadi kegiatan masjid kampus. Apa yang semula hanya berupa kegiatan peribadatan murni belaka, seperti mendirikan salat Jumat, lalu berkembang menjadi kegiatan peribadatan lebih luas: mempelajari sumber-sumber pemikiran keagamaan Islam, melaksanakan kegiatan sosial yang bersifat karitatif, dan akhirnya berkembang menjadi kegiatan sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang berlingkup sangat luas.
Ada sesuatu yang terasa sangat berbeda dalam kegiatan kaum muda muslimin itu, yaitu jalannya arah yang dituju dengan kegiatan itu sendiri. Arahnya adalah pelayanan kepentingan Islam dalam arti yang konkret. Dengan demikian, kegiatan yang terarah kepada kepentingan kolektif itu lalu memperoleh semacam semangat ketulusan dan kesungguhan yang tidak jarang terdapat dalam kegiatan yang semata-mata untuk kepentingan masing-masing. Elan yang dijadikan pengikat adalah pengabdian dan pengorbanan untuk kepentingan yang lebih besar dari kepentingan sendiri. Semacam sikap puritan untuk tidak terlalu terikat kepada kepentingan perorangan tampak menonjol dalam menjiwai kegiatan yang mereka lakukan.
Karena itu, tidak heran jika para pengamat luar negeri selalu menyatakan bahwa masa depan Indonesia berada di tangan kaum muda muslimin. Apalagi jika dihubungkan dengan kenyataan bahwa orientasi kegiatan mereka jelas ditujukan kepada kepentingan kelas kelompok berpenghasilan rendah (low income groups) yang merupakan mayoritas bangsa kita dewasa ini. Dihadapkan kepada demikian banyak kegiatan hura-hura, dan terkadang hedonistik, dari kelompok-kelompok muda lainnya, maka kegiatan kaum muda muslimin jelas menampilkan dimensi yang unik: merekalah yang justru mewarisi kepedulian (concern) kepada kaum kecil, yang dahulunya dimiliki oleh kaum muda pejuang kemerdekaan. Dengan ungkapan lain, persambungan sejarah (historical continuity) dari perjuangan pemuda justru terasa hidup secara dinamis di kalangan kaum muda muslimin itu.
Jika demikian halnya, tentu kita lalu langsung dapat menunjuk kepada prospek gemilang bagi generasi muda Islam di masa depan. Bukankah dengan demikian akan merupakan kelompok yang positif bagi kemajuan bangsa dan keberhasilan pembangunan? Bukankah mereka yang akan memenangkan kompetisi dengan pihak-pihak lain dalam kehidupan masa depan yang akan semakin keras persaingannya?
Jawabnya ternyata tidak sepenuhnya seperti itu. Di ufuk yang tampak sepintas lalu sangat cerah itu, ternyata ada juga segumpal awan yang mengurangi cerahnya prospek generasi muda Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan ada ancaman bahwa gumpalan awan akan semakin membesar, dan nantinya akan menutupi semua prospek cerah tadi. Apakah yang merupakan “nada mineur” dari pengamatan umum yang demikian positif di atas?
Jawab dari deretan pertanyaan itu adalah kenyataan bahwa wajah kegiatan kaum muda muslimin itu masih sangat berwatak sektarian. Mereka masih belum dapat melepaskan diri dari “belitan kelompok”, artinya masih belum menemukan “wajah Indonesia” sebagai identitas mereka. Dengan kata lain, kegiatan mereka baru terasa positif bagi kaum muslimin belaka, dan belum terintegrasikan ke dalam kegiatan bangsa secara penuh. Bukti dari kenyataan ini adalah sedikitnya daya tarik yang mereka miliki bagi kelompok-kelompok lain dalam kehidupan masyarakat. Kalaupun ada kegiatan yang dilakukan dalam kerangka kerja sama dengan pihak-pihak lain, sifatnya masih sangat sporadis dan lingkupnya sangat terbatas.
Sebab dari keadaan itu dapat dicari pada titik tolak kaum muda muslimin itu dalam melakukan kegiatan. Mereka berangkat dari beberapa motif yang masih bersifat sektarian, sebagian justru bersifat pelarian psikologis yang berwatak destruktif. Umumnya, kegiatan mereka berangkat dari ketakutan akan erosi nilai-nilai keagamaan yang sudah begitu sedikit mereka miliki. Untuk menghindarkan kehanyutan total, mereka lalu menampilkan identitas keagamaan sebagai “tali pengikat” yang akan memelihara kohesi kelompok pada penghayatan agama yang “terasa memadai”. Pencarian “identitas Islam yang penuh” lalu menjadi sasaran utama, dan segala macam bentuk pelayanan, pengabdian dan sikap puritan adalah wahana yang dipakai untuk mencari identitas penuh itu sendiri. Pada dasarnya, sikap seperti ini justru berlawanan dengan kebutuhan bangsa, karena pengutamaan identitas keagamaan yang tidak langsung terkait pada pandangan kebangsaan yang integral hanya akan berakibat deintegratif bagi kehidupan bangsa itu sendiri.
Intensitas keimanan, misalnya, dapat tumbuh dalam kadar sangat tinggi di luar wawasan kebangsaan, dengan hasil munculnya formalisme yang sangat sempit, yang menolak gagasan kebangsaan itu sendiri hanya karena “dalam Islam tidak ada tempat untuk solidaritas kebangsaan”. Entitas yang berlaku bagi Islam, dalam pandangan tersebut, hanya terbagi dua: masyarakat yang memberlakukan syariah secara formal dan utuh, dan masyarakat yang menolak keharusan tersebut. Masyarakat seperti ini harus ditolak, karena berarti ia menolak keabadian ajaran Islam. Pandangan tersebut tidak menyadari, bahwa justru hukum agama (fiqh) yang telah berabad-abad lamanya telah menyediakan daerah sangga dalam bentuk kaidah-kaidah hukum (qawa’id) yang menampung kebutuhan masa dan tempat dalam merumuskan keputusan hukum agama itu sendiri.
Sebaliknya, intensitas tinggi dari penghayatan iman dalam lingkup wawasan kebangsaan akan selalu mengutamakan pencarian cara-cara yang mampu menjawab tantangan zaman dan lokalitas kehidupan, tanpa meninggalkan inti ajaran agama. Selalu ada upaya untuk melakukan reaktualisasi ajaran agama dalam situasi kehidupan yang konkret, tidak hanya dicukupkan dengan visualisasi yang abstrak belaka. Dengan kata lain, agama berfungsi sebagai wahana pengayoman tradisi bangsa, sedangkan pada saat yang bersamaan agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.
Wajah sektarian dari kegiatan kaum muda muslimin itu adalah apa yang tampak di permukaan. Sebabnya sudah dikembalikan kepada sempitnya wawasan kegiatan itu sendiri, yang tidak diletakkan dalam konteks yang integratif bagi wawasan kebangsaan dalam kehidupan bangsa dan negara. Sekian banyak latihan kepemimpinan dan pekan orientasi serta sekian jenis kegiatan lain dapat menutupi kekurangan yang sangat terasa itu, karena semua kegiatan itu pada dasarnya hanya merupakan sisi teknis saja dari kegiatan yang lebih kompleks. Kegiatan yang bersifat teknis itu tidak diimbangi oleh kegiatan pendalaman wawasan guna mencari konteks di atas. Sebagai akibat, orientasi kaum muda muslimin itu tetap saja bersifat partikularistis belaka. Kepentingan nasional hanya memperoleh perhatian secara abstrak belaka, yang dikonkretkan hanyalah orientasi untuk melayani “kepentingan kaum muslimin dan kejayaan Islam” (‘izzul islam wal muslimin).
Tidak dapat dihindarkan penyempitan solidaritas sebagai akibat dari orientasi partikularistis dan wawasan sempit itu. Keadaan itu semakin diperparah oleh rasa kekhawatiran berlebih yang telah dijelaskan di muka, yaitu tentang ketakutan akan erosi nilai-nilai luhur yang dikandung oleh ajaran Islam. Wawasan sempit yang dikombinasikan dengan kekhawatiran tersebut dengan sendirinya akan melahirkan sikap untuk senantiasa merasa curiga kepada segenap hal yang dianggap memiliki “orientasi non-Islami”. Keengganan mengembangkan wawasan kebangsaan dalam kegiatan mereka adalah bagian inheren dari kecurigaan seperti itu. Kecenderungan untuk memisahkan wawasan keagamaan dari wawasan kebangsaan menjadi kuat.
Pemisahan wawasan kebangsaan dari wawasan keagamaan itu dipermudah juga oleh munculnya rasa tidak puas dengan situasi yang berkembang pada umumnya dalam kehidupan bangsa. Di satu pihak, terpantau secara nyata bahwa penetrasi budaya luar yang merusak dan semakin nyatanya gejala menguatnya orientasi materialistis, sebagai akibat dari penggunaan ukuran-ukuran kuantitatif terlalu berlebih dalam mengukur hasil pembangunan selama ini. Di pihak lain, rasa tidak puas juga didorong pemunculannya oleh begitu banyak persoalan yang dihadapi dan kesulitan yang harus dipecahkan dalam pembangunan. Sebagian dari persoalan dan kesulitan itu bersifat mendasar, seperti sulitnya menjaga agar jalannya pembangunan tidak hanya berarti ketimpangan sosial yang semakin parah, tetapi menuju pada peningkatan kemandirian di segala bidang.
Perpaduan antara kekhawatiran dan rasa tidak puas itulah yang memunculkan wawasan sempit dan berwajah partikularistis di atas. Pada wajahnya yang ekstrem, hal itu tercermin dalam sikap menampilkan apa yang disebut “Islam sebagai alternatif” bagi jalannya pembangunan yang dinilai gagal total. Ideologi bangsa, yaitu Pancasila, dinilai tidak mampu membawa bangsa ini kepada kemakmuran yang dicita-citakan. Dibuatlah model utopis yang dinamakan “masyarakat Islami” sebagai obat ajaib yang akan menyembuhkan semua penyakit yang dihadapi bangsa kita.
Pada ujungnya yang moderat, perpaduan kekhawatiran dan rasa tidak puas itu memunculkan sikap untuk hanya melayani “kepentingan Islam” belaka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang berada di luar lingkup itu tidak dianggap sebagai agenda kaum muda muslimin. Demikian banyak kelompok diskusi dan studi didirikan, namun sedikit yang berorientasi kepada pengembangan peranan dalam kehidupan bangsa secara umum. Salah satu akibat sampingan dari gejala ini adalah semakin banyaknya anak muda yang tidak mau menyalurkan kegiatan melalui gerakan-gerakan formal kaum muda muslimin. Karang Taruna, KNPI, dan sekian banyak gerakan kaum muda lainnya merupakan alternatif menarik.
Dari uraian di atas menjadi jelas, bahwa generasi muda Islam memerlukan pembenahan orientasi secara mendasar, jika tidak diinginkan akan kehilangan relevansi kehadirannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Generasi pendahulu mereka sedikit banyak telah mampu menunjukkan wawasan kebangsaan yang cukup berarti seperti terbukti dari partisipasi mereka dalam perjuangan kemerdekaan. Walaupun di sana-sini ada bagian-bagian yang tidak menggembirakan, bahkan tragedi yang menyedihkan seperti pemberontakan DI-TII, secara keseluruhan generasi tua Islam telah mampu menunjukkan sumbangan mendasar bagi kehidupan bangsa. Gerakan-gerakan Islam tetap merupakan kekuatan terdepan untuk membela integritas teritorial negara maupun meluruskan orientasi kehidupan bangsa dari kemungkinan penyimpangan, seperti upaya yang dilakukan oleh pencetus G30 S/PKI.
Dalam partisipasi mereka pada pembangunan yang berjalan kini pun kaum tua muslimin juga memberikan sumbangan yang kokoh, melalui pola dialogis untuk senantiasa memperbaiki konsep-konsep pembangunan kita. Kulminasi dari upaya terus-menerus itu adalah rumusan-rumusan yang membentuk GBHN 1983, yang dalam ungkapan Prof. H.M Rasjidi disebut sebagai sesuatu “yang menjadi cita-cita Islam”. Sumbangan yang kokoh, karena kepentingan Islam langsung dilebur menjadi satu dengan kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Terpulang kepada generasi muda Islam untuk mengamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan partikularistis mereka. Jika dingini, maka ungkapan kuncinya adalah kesediaan merumuskan “kepentingan Islam” secara lebih luas dari sekadar kepentingan partikularistis belaka seperti dirasakan selama ini. Jika pendekatan ini diterima, dengan sendirinya terbuka pintu selebar-lebarnya untuk melakukan integrasi kepentingan agama dan kepentingan bangsa.
Hanya dengan cara demikianlah dapat generasi muda Islam memainkan peranan berarti dalam kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Sudah tentu peranan yang positif dan konstruktif, yang dipenuhi oleh dinamika kehidupan bangsa itu sendiri, bukannya peranan utopis yang tidak akan membawa kita ke mana-mana.