Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kolumnis
Di sinilah kita perlu melihat kongkretisasi nilai-nilai luhur agama dalam proyek rintisan untuk kepentingan martabat manusia. Apakah itu bantuan hukum yang menyangkut keadilan manusia. Apakah itu pengembangan masyarakat yang menyangkut kualitas manusia. Apakah ini pendidikan yang menyadarkan bukan yang menina bobokan akan kondisi-kondisi aktual manusia. Apakah itu dalam pengembangan teknologi madya yang membantu rakyat kecil.
Keadaan dunia dewasa ini ditandai oleh semakin meluasnya gagasan kekerasan. Suatu suasana dimana manusia terbiasa menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dengan cara-cara yang tidak damai. Di negara maju muncul sebagai bahaya yang mengerikan yaitu perang nuklir, yang dapat memusnahkan species manusia dalam waktu beberapa menit. Sedangkan di negara berkembang muncul sebagai kecenderungan konflik sosial yang umumnya ditangani pemerintah secara militer. Tidaklah heran jika kemudian muncul gerakan-gerakan perdamaian yang menggunakan agama sebagai kekuatan motivatif untuk melawan keadaan ini. Orang kembali teringat akan nilai-nilai yang diajarkan agama.
Ada korelasi motivatif antara agama dengan perdamaian. Orang yang tinggi penghayatan agamanya cenderung damai. Pernyataan inilah yang mendasari munculnya kelompok-kelompok gereja di Eropa Barat, Amerika, Asia dan sebagainya. Mengembangkan kesadaran beragama masyarakat, memberikan informasi besar-besaran, memunculkan kesadaran, unjuk perasaan, dan pada puncaknya memaksa para pengambil keputusan untuk membuat perhitungan. Sebenarnya mereka berkaitan erat sekali dengan pembangkangan sipil Martin Luther King ataupun Mahatma Gandhi. Bagaimana mereka melawan tapi dengan damai. Bagaimana menghendaki perubahan radikal tapi dengan sikap yang sama sekali anti kekerasan.
Lalu ada orang mengkaji sikap kerja mereka, filsafat mereka juga metode kerja mereka. Salah satunya adalah seorang ahli politik di Universitas Hawaii yang bernama Glenn Peige. Ia membuat apa yang dinamakan non killing political science (ilmu politik yang tidak membunuh). Pada dasarnya ilmu politik konvensional adalah mekanisme perimbangan kekuatan antara lapisan-lapisan dalam masyarakat baik vertikal maupun hirozontal. Ilmu politik ini dianggap oleh Glenn Peige sebagai ilmu yang pro kekerasan. Karena hal ini mengandaikan bahwa siapa yang memegang kekuasaan, otomatis mempunyai alat yang dapat memaksakan keinginannya. Bahwa kekuatan politik itu berkaitan dengan kekuasaan dan penggunaan alat-alat kekerasan baik yang bersifat konstitusional maupun yang inkonstitusional. Perilaku ini harus dibongkar, harus dihilangkan terlebih dahulu jika kita menginginkan ilmu politik yang sehat. Glenn Peige merintis ilmu politik yang anti kekerasan, anti pembunuhan, penciptaan berdasarkan kesadaran masyarakat luas. Nah, hal yang demikianlah yang dicoba dikembangkan oleh kelompok-kelompok gereja dan kelompok agama lainnya, yang mencoba memotivir masyarakat untuk menuntut penghentian perlombaan senjata berat secara besar-besaran, pencemaran lingkungan, industri yang tak adil bagi masyarakat kecil dan sebagainya.
Sebenarnya perdamaian yang menggunakan kekuatan agama sebagai ujung tombak yang terpenting sudah berusia lanjut. Pendekatan ini sudah mempunyai organisasi besar-besaran, jaringan internasional. Di antara pengamat yang menekuni bidang ini adalah Richard Falk. Pertama kali ia mengamati perilaku kaum mullah. Ia telah memberikan peringatan bahwa kekuatan agama dapat menjiwai kelompok-kelompok politisi radikal yang dapat merubah berbagai tatanan. Ditunjang oleh Johan Galtung, Sakamoto, pernyataan ini menjadi umum. Richard Falk, Johan Galtung, Sakamoto menjadi nabi studi agama sebagai kekuatan moti- vatif untuk mempromosikan perdamaian.
Keadaan di Negara Berkembang
Tapi bagaimana riset perdamaian di negara berkembang? Kita tak bisa berdemonstrasi, tak bisa lancar lembuat studi mendalam tentang hal ini, tak bisa membuat jaringan komunikasi yang rapi, tak bisa memobilisir kekuatan melalui pendapat umum untuk memaksa para pengambil kebijaksanaan. Dan juga jangan lupa bahwa persekongkolan antara para industrialis dengan militer sudah sedemikian kompleks dan jauh. Negara berkembang umumnya selalu mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi kemungkinan ancaman luar negeri. Mereka butuh peralatan teknologi yang mutakhir. Dan ini hanya bisa terlaksana melalui lisensi atau impor. Kita tahu bahwa India baru saja mendapatkan lisensi dari Rusia. Amerika juga pernah memberi lisensi kepada Israel untuk bikin pesawat yang kemudian dirubah designnya. Jadi pembuatan persenjataan atau pembelian persenjataan di negara berkembang itu berkait langsung dengan izin-izin atau lisensi dari perusahaan negeri raksasa. Nah, di sana perusahaan dikuasai langsung oleh kaum industrialis. Bukan oleh birokrat. Mereka semua adalah pemegang saham yang sahamnya itu saham publik. Jadi kaum industrialis ini memobilisir dana masyarakat untuk memproduksi industri militer. Ini fakta hidup. Di samping itu biasanya ada persekongkolan antara para industrialis ini dengan para jenderal. Misalnya dalam bentuk jika sang jenderal sudah keluar dari dinas tentara, ia diangkat menjadi eksekutif perusahaan industri militer tersebut.
Perusahaan-perusahaan yang dipimpin para jenderal inilah yang mempunyai kontak dengan negara berkembang. Mereka kan berkepentingan menjual produk mereka yang dibuat dengan biaya sangat tinggi. Tentu mereka perlu proteksi yang tinggi, agar para pembeli jangan banyak cincong, jangan banyak diawasi. Pasang harga berapa pun harus dibayar karenanya. Di negara pembeli, harga pembelian dirahasiakan dengan dalih bahwa ini adalah rahasia militer. Kan ini yang menjadi keluhan komisi I DPR. Jangan harap kita bisa diberitahu harga pembelian ini. Memang dengan cara inilah perusahaan industri militer luar negeri itu mencari untung. Dengan cara menipu dunia ketiga. Mereka perlu survive, perlu proteksi, karena biaya pembuatan yang sangat mahal. Itu hanya bisa dilakukan dengan membohongi dunia ketiga. Di negeri asal, penjual produk mereka secara kompetitif. Mereka tak bisa mencari laba di negeri asal bahkan sering rugi.
Jadi jelas ada hubungan antara penentu kebijaksanaan lokal dengan perusahaan industri militer negara raksasa. Maka jika ada kritik terhadap industri seperti itu di dunia ketiga, otomatis langsung ditujukan kepada pimpinan militer lokal. Mana mungkin kita di sini bikin gerakan yang mengkritik mereka, kita kan sudah sama-sama tahu. Jadi pendapat Sakamoto bahwa penting sekali diadakan studi tentang gerakan massa yang memobilisir pendapat umum untuk gerakan tuntutan penghentian senjata, tak mungkin dapat dilaksanakan di negara berkembang pada umumnya. Hal ini tak akan bisa jalan.
Di muka lain pada mata uang yang sama, rakyat di negara berkembang, tidak termakan oleh isue-isue senjata nuklir. Mereka tidak mengerti itu kok. Malah mereka kalau melihat Tank itu bangga. Inilah kegagalan pendekatan konvensional yang menjadikan agama untuk menahan militerisasi dalam konteks negara berkembang. Tidak akan bangkit kesadaran rakyat karena tidak berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. Perlu kita pertanyakan: mengapa mereka tidak mau tahu dengan isyu-isyu nuklir? Apakah mereka kurang keprihatinannya dibandingkan rakyat di negara-negara maju? Apakah mereka tidak mengerti ancamannya? Jawabnya karena situasi masyarakat berkembang sendiri tidak memungkinkan mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka. Dan mereka punya wisdom sendiri. Mengapa arus demonstrasi. Tapi mereka punya kebijaksanaan dan kearifan. Suatu kali mereka akan menyatakan pendapat mereka. Tiba-tiba nanti muncul revolusi. Kita yang bodoh tidak menangkap isyarat mereka.
Mungkin rumusan perdamaian itu dulu harus dikaji. Apa arti perdamaian bagi kita? Ternyata bagi kita perdamaian berarti langkanya konflik sosial, langkanya konflik perorangan maupun kolektif dalam skala yang terorganisir dan berjalan terus-menerus. Tentu konflik perorangan karena watak manusiawi yang sifatnya sementara, tidak ada hubungan dengan perdamaian yang kita maksud. Konflik pribadi jelas tak bisa kita hindari. Konflik yang bisa kita hindari adalah konflik yang terorganisir untuk kepentingan-kepentingan tertentu antara golongan dengan golongan, antara paham dengan paham.
Keabsahan Konflik Sosial
Bisa pula dipertanyakan apakah tindakan mencegah konflik sosial itu dibenarkan? Ada beragam sudut pandang. Dari satu sudut mungkin dibenarkan. Tapi dari sudut lain pencegahan ini bisa dinilai melestarikan kepincangan sosial. Dari sudut ini mereka menganggap konflik sosial adalah persyaratan mutlak untuk mengatasi ketimpangan yang semakin tajam. Menurut mereka jika agama ingin berperan dalam mengatasi permasalahan maka agama harus mendorong terjadinya konflik sosial. Perubahan harus secara revolusi. Di mata mereka seorang evolusioner adalah penjahat, adalah begundalnya kapitalis.
Menurut saya sendiri konflik sosial itu bukan suatu keharusan, tapi jika harus terjadi tak akan bisa dihindarkan. Memang ada yang mengatakan transformasi masyarakat hanya bisa melalui konflik sosial, yang di dalamnya ada tindakan-tindakan kekerasan. Saya ingin gradasi sikap. Sebab saya tak ingin terikat pada suatu teoritik kosong kepada matrik tertentu yang dianggap universal. Saya sendiri tak pernah percaya kepada matrik yang bisa berlaku secara universal. Baik itu buatan Karl Marx atau siapa pun. Menurut saya konflik sosial itu terjadi. la tak perlu dipercepat atau diperlambat. Konflik sosial ini sendiri berhubungan dengan sikap dasar manusia sendiri untuk mentransformasikan dirinya ke dalam keadaan yang lebih baik.
Tapi jelas harus dibedakan konflik sosial yang meaningfull dan konflik sosial yang meaningless. Konflik sosial yang meaningfull terjadi jika si pemberontak mempunyai sasaran yang jelas. Punya suatu kerangka alternatif, dan berwatak transformatif. Konflik sosial yang meaningless itu hanya ribut-ribut nggak karuan. Tidak jelas sasarannya, tidak ada alternatif tuntas yang ditawarkan. Jika terjadi banyak korban akibat konflik sosial yang meaningless, adalah korban yang sia-sia. Sebab tidak akan membawa perubahan apa-apa. Tidak membawa keadaan menjadi lebih baik.
Sekarang terjadi difusi kekerasan yang dilakukan berbagai pihak. Mulai dari penembakan misterius, yaitu suatu bentuk kekerasan yang paling sublim (bagaimana mungkin sedemikian banyak orang tertembak tapi kita tak tahu siapa penembaknya) sampai ke munculnya gerakan-gerakan sempalan agitatif yang hanya mengutip ayat-ayat nyaring kitab suci untuk membakar emosi masyarakat bawah.
Memang difusi kekerasan sudah sedemikian rupa. Untuk mudahnya kita ambil saja kasus maling. Waktu saya masih kecil, jika ada maling tertangkap, ia hanya dipermalukan dan diarak ke kelurahan. Tapi di tahun 60-an maling sudah digebuki. Apalagi sekarang, jika maling tertangkap masyarakat, bisa mati.
Yang harus kita hindari adalah konflik sosial yang meaningless, yang sekarang ini mulai menghangat dengan hadirnya kelompok-kelompok sempalan. Mereka ini nyambung dengan rakyat. Menurut saya munculnya kelompok sempalan yang mengarah ke konflik sosial meaningless, akibat pemerintah berhasil memotong kecenderungan konflik sosial yang berwatak transformatif. Yang revolusian. Tapi secara psikologis kekecewaan masyarakat bawah masih tertinggal. Dan mereka menyebar dalam kelompok-kelompok yang tak terkoordinir lagi. Tapi justru ini yang berbahaya. Apalagi jika yang dijadikan isyu adalah hal-hal yang sifatnya primordial seperti agama. Apalagi di zaman orang yang sudah terampil menggunakan kekerasan, bisa bikin senjata sendiri, bisa membentuk jaringan komunikasi, ada sejumlah penggerak yang cukup. Bisa saja terjadi gerilya urban. Dan jika hal ini meledak, jangan main-main. Mengatasinya tak semudah mengatasi peristiwa malari atau pemberontakan terhadap kaum Cina tahun 80-an di Jawa Timur, Karena isyunya bukanlah ekonomi nasional tapi agama. Suatu ajaran keadilan tuntas yang menguasai nurani.
Struktur Sosial, Cara Berproduksi dan Agama
Lebih jauh lagi, penyebab dari ancaman-ancaman perdamaian baik di negara maju maupun negara berkembang adalah struktur sosial. Dari Marxisme bisa kita ambil ajaran bahwa perilaku manusia ditentukan oleh cara produksinya. Cara produksi kapitalistik atau sosialistik. Cara produksi ini membentuk struktur sosial. Struktur sosial seperti apa yang menyebabkan ancaman-ancaman ini? Jika kita sudah sampai ke pertanyaan ini kita jangan terjebak pada marxizme. Marxisme kan hanya memberi satu sudut pandang saja. Sudut pandang yang penting atau barangkali paling penting. Tapi jika kita berhenti sampai di situ, kita menjadi deterministik. Bahwa cara berproduksi akan menentukan struktur masyarakat melalui dialektika. Yang akhirnya akan melahirkan pertentangan yang tak terhindarkan antara pemilik modal dan pekerja. Lalu difinalkan oleh Lenin bahwa untuk menenangkan kelas pekerja harus dibentuk inti kekuatan rakyat yaitu partai komunis. Setelah itu barulah akan berkembang suatu struktur masyarakat yang mengarah ke keadilan total. Nah kita kan sudah tahu bahwa komunisme pun tidak memecahkan masalah mereka. Sama saja dengan kapitalisme. Sama opresifnya dan sama represifnya.
Lebih jauh lagi harus dilihat bahwa impuls-impuls kerohanian punya sumbernya sendiri, yang tidak dipengaruhi semata-mata oleh cara berproduksi. Menurut Marx hadirnya agama merupakan pembelokan dari garis logis perlawanan kelas pekerja. Agama dianggap menidurkan semangat perlawanan rakyat yang tertindas oleh borjuisasi, oleh aristokrasi. Suatu keadaan yang semestinya menimbulkan pemberontakan, memunculkan perlawanan melalui organisasi, tiba-tiba dibelokkan arahnya oleh agama bukan untuk menghancurkan kapitalisme tapi untuk mencari hiburan, mencari pelarian, mencari sesuatu yang sifatnya membius. Jadi menurut Marx agama adalah suatu kekuatan yang diciptakan untuk membohongi rakyat dari keadaan mereka yang sebenarnya.
Tapi jika kita melihat agama secara obyektif, jelas agama adalah pembebas. Dengan -aranya sendiri agama berupaya untuk meredefinisikan kehidupan. Dan menumbuhkan kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat untuk mengatasi keadaan. Sudah tentu karena sifat agama yang demikian, ia tidak berdasarkan kepada kerangka berpikir logis. la tidak bersandar pada akal tapi pada wahyu. Masyarakat yang diinginkan oleh agama tentu saja bukan masyarakat yang sama sekali “Ilmiah”. Tentu berbeda dengan masyarakat yang ingin dibentuk dengan kerangka Marxis, suatu masyarakat yang sama sekali “ilmiah”. Segala dirumuskan — sesuatunya atau dibentuk secara ilmiah. Sedangkan agama semata-mata berdasarkan pada transformasi pribadi manusia. Apakah dia kapitalis atau proletar, tak jadi soal. Yang penting dia melakukan transformasi. Melakukan kesadaran diri yang tinggi. Dengan sendirinya masyarakatnya pun akan berubah. Jika tidak dalam struktur, ya dalam fungsi. Di sini ada peran pembebasan dari agama di dalam refunctioning peralatan-peralatan masyarakat. Ada fungsi dari agama yang struktural tapi tidak total.
Karenanya jika kita ingin memperbaiki struktur sosial, jangan lupakan peranan agama. Cara berproduksi bukan satu-satunya pembentuk struktur. Agama pun merupakan salah satu elemen. Begitu pula, etnis, bahasa, letak geografis. Seperti halnya letak geografis Indonesia yang menjadi lalu-alang lalu-lintas internasional, mau tidak mau kebudayaannya menjadi multi-kultural. Semua ini memberikan dampak kepada struktur sosial. Jadi menjadi jelas bahwa struktur sosial yang nyata lebih kompleks dan lebih kaya daripada struktur sosial yang dicoba diterangkan oleh Marx. Juga jangan dilupakan bahwa keadaan semakin bergantung dunia ketiga ke Eropa — Amerika, turut pula menciptakan struktur sosial, yang justru bisa menguatkan dunia ketiga. Unionisasi ini punya dampak pula terhadap struktur sosial masing-masing negara dunia ketiga.
Tidak Berfungsinya Kelompok-kelompok yang Mengakar
Dalam konteks Indonesia, salah satu sebab timbulnya ancaman perdamaian adalah karena kelompok-kelompok yang punya akar kuat di masyarakat tidak berfungsi penuh. Mereka ini adalah Ex Masyumi, NU, Ex PNI, Ex PSI, dan lain sebagainya, yang jika dijumlahkan merupakan mayoritas bangsa. Sungguh pun mereka telah tersingkirkan tapi mereka tetap mempertahankan jaringan komunikasi antar sesama. Semestinya mereka pun diajak bicara dalam merumuskan masalah-masalah dasar kenegaraan kita.
Kelompok-kelompok yang mengakar ini sebenarnya bisa menjembatani atau mencarikan jalan tengah antara aspirasi populistik yang revolusian kelompok-kelompok sempalan dengan kekuasaan yang mapan yang ingin membirokratisasikan kehidupan bermasyarakat. Agar tidak terjadi konflik atau lebih hebat lagi perbenturan sosial yang meaningless. Agar kepincangan sosial cepat-cepat diatasi. Juga agar penataan kehidupan masyarakat tidak menjadi birokratik. Jika ini dilakukan berarti kita semuanya selamat.
Tentu saja mengatasi ancaman perdamaian di negara berkembang lebih kompleks dan rumit daripada hal di atas. Apalagi jika kita mengaitkan intervensi kapitalisme internasional yang sudah sedemikian mapan. Tapi hal yang saya bicarakan di atas adalah salah satu cara yang bisa kita lakukan. Bahwa gerakan sempalan ini harus kita hindarkan. Masalahnya jangan sampai timbul banyak korban untuk hal yang sia-sia.
Seorang Marxian barangkali tidak setuju dengan ini. Bisa jadi ia melakukan sebaliknya. Semakin meningkatkan kadar ketegangan, memaksa kita menjadi gerilya kota. Ujungnya ujung, memang inilah yang dinamakan dialektika. Perlawanan rakyat semakin ditingkatkan, semakin ditingkat. Demikian pula, otomatis pemerintah semakin militeristik, semakin militeristik. Sehingga pada saatnya timbuk big-bank, yang melibatkan revolusi dunia. Ini teori Trotsky. Tapi saya tak percaya ini akan terjadi. Jika ini dirintis, saya kuatir hanya akan terjadi pembunuhan massal yang sia.sia. Dan memang saya bukan seorang revolusioner. Saya penjahat di mata mereka. Secara teoritis, kaum marxian banyak benarnya. Tapi tidak aplikatif. Padahal untuk menjadi marxis sejati, harus menganggap aplikasi sama pentingnya dengan teori.
Optimisme Masa Depan
Saya percaya bahwa jalannya sejarah membuat keadaan manusia semakin baik, sungguhpun kita tengah berada dalam kungkungan kapitalisme. Karena ada satu hal yang tak bisa dihindarkan oleh kapitalisme, bahwa faktor produksi adalah manusia. Bahwa pasar adalah manusia. Bahwa mata rantai produksi, bahwa konsumen adalah manusia. Tentunya akan ada modifikasi terus-menerus yang mengarah ke perbaikan bersama. Manusia-manusia ini akan semakin sadar dan tentunya bisa memaksakan kehendaknya juga kepada kapitalisme internasional. Secara mudahnya kita ambil contoh Negeri Belanda menunda pemasangan peluru kendali pershing. Berarti ada kekuatan untuk menolak atau menekan. Hal inilah yang harus kita kembangkan terus-menerus. Harus kita manfaatkan. Hasilnya memang gradualisme itu tadi. Suatu tahap panjang.
Begitu pula di Rusia setelah enam puluh tahun revolusi Bolshewik berujung pada kebuntuan. Orang Rusia sudah tahu persis bahwa sosialisme yang mereka inginkan itu tidak jalan. Rakyatnya bisa berontak dengan berbagai cara. Misalnya minum alkohol sebanyak-banyaknya, menumbuhkan sikap malas kerja. Untuk membeli kemarahan rakyatnya, terpaksa pemerintah memasukkan ide-ide kultural yang baru. Misalnya musik jazz boleh masuk, Grup-grup Amerika boleh masuk. Jadi ada difusi kultural yang ujung-ujungnya membuat manusia menjadi lebih baik. Pendekatan yang dilakukan pemerintah Rusia tidak semata-mata politik. Tapi dicobakan pula pendekatan kultural.
Untuk lebih mudahnya lagi kita dapat menengok ke belakang. Bahwa dulu manusia dipaksa percaya bahwa raja itu Tuhan. Segala tindakannya harus selalu dibenarkan. Satu abad kemudian, seorang diktator harus tunduk kepada hukum-hukum sosial tertentu yang sudah disadari semua orang. Lebih lagi, sekarang malah diktator harus berjual-beli dengan rakyat. Jadi di sini kita melihat jalan yang bertambah waktu bertambah baik. Hanya saja perlu saja disadari bahwa ada perubahan yang sangat lambat, juga ada perubahan yang sangat cepat.
Begitu pula dengan kemelut perdamaian sekarang ini. Secara perlahan-lahan akan teratasi. Tak perlu dengan revolusi.
Agama Sebagai Kekuatan Motivatif
Agama itu punya dua dimensi yang paling menonjol. Pertama adalah dimensi universal yang ditujukan kepada manusia abstrak. Di sini diajarkan nilai-nilai sentral manusia seperti kasih sayang, keadilan dan sebagainya khalifah. Kepada manusia in abstracto. Kedua adalah dimensi konkrit yang dijadikan pegangan bagi pemeluknya untuk mengatasi masalah sehari-hari yang nyata. Pemeluknya, yaitu manusia in konkreto mencari kekuatan pada agama untuk melawan kesulitan. Dua dimensi ini bersifat saling melengkapi. Sehingga agama menjadi sumber inspirasi manusia secara konkrit untuk melepaskan diri dari segala macam himpitan dengan berpijak pada nilai-nilai sentral manusia in abstracto.
Di sinilah kita perlu melihat konkretisasi nilai-nilai luhur agama dalam proyek rintisan untuk kepentingan martabat manusia. Apakah itu bantuan hukum yang menyangkut keadilan manusia. Apakah itu pengembangan masyarakat yang menyangkut kualitas manusia. Apakah ini pendidikan yang menyadarkan bukan yang menina-bobokan akan kondisi-kondisi aktual manusia. Apakah itu dalam paengembangan teknologi madya yang membantu rakyat kecil. Secara konkretnya dapat kita katakan bahwa pesantren menangani masalah lingkungan, menangani bantuan hukum, menangani penyebaran teknologi sederhana sebagai counter teknologi massive kapitalisme internasional. Pesantren dapat pula menangani pendidikan penyadaran sebagai counter terhadap pendidikan yang membawa kita pada sikap konsumtif.
Jika agama sebagai kekuatan motivatif digalakkan ke seluruh dunia, jelas akan menjadi gelombang besar. Akan membawa perubahan orientasi hidup secara evolusi.