Harus Menjadi Demokrat Tulen

Sumber Foto: nasional.kompas.com

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan sangat besar, mantan Presiden Soeharto lengser dari jabatannya dan mulailah masa rezim Reformasi. Reformasi macam apa? hal inilah yang justru tidak pernah dibicarakan orang. Partai demi partai baru, lahir di samping Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Belum lagi partai-partai Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Semua ada para pemimpinya, termasuk penulis yang mendapatkan perintah Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kemudian penulis dan kawan-kawan mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang pada dasarnya meneruskan perjuangan KH. M. Hasjim Asy’ari dan KH. A. Wahid Hasjim dari NU. Yaitu perjuangan menegakkan nilai-nilai ke-Islaman, yang memiliki orientasi kebangsaan. Ini sesuai dengan keputusan muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935. Saat itu diputuskan, kaum muslimin di negeri ini tidak memerlukan negara Islam untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama. Pendirian ini dipegang teguh sebagai pemisahan institusional antara agama Islam dari negara, dan umum dipakai sebagai bentuk tata negara diseluruh dunia. Bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganggap kedua hal itu dapat disatukan, itu adalah urusan mereka, penulis tetap berpegang pada keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 itu.

Mengapakah sedikit tentang NU dikemukakan dalam uraian di atas? Padahal buku ini adalah tentang demokrasi? Karena penulis kata pengantar buku ini adalah seorang demokrat yang mementingkan idelogi daripada jabatan, dan dengan kata pengantar ini ia ingin menyampaikan, bahwa apa yang dihadapi itu juga ada dalam lingkup partai-partai politik yang berdasarkan agama Islam. Persoalannya juga, yaitu bahwa pragmatisme politik sama saja, ada dimana-mana. Ini adalah keluhan seorang demokrat barat seperti Thomas Jefferson dari Amerika Serikat maupun Mao Zedong dan Republik Rakyat Tiongkok. Ini pula yang dirasakan oleh seorang penulis sosialistik seperti Rosa Luxemburg. Jadi, persoalan para oportunis yang ‘masuk’ ke dalam dan menjadi pemimpin partai politik, adalah soal umum yang terjadi dimana-mana. Masalahnya adalah bagaimana mengembalikan kepada jalannya proses yang terjadi, ketika dilakukan perubahan-perubahan besar dalam sistem politik sebuah negeri. Di negeri kıta, apa yang dinamakan reformasi baru terjadi atas kulit belaka dari sistem politık yang ada. Perubahan yang terjadi hanyalah menyangkut peraturan kepentingan para politisi dari berbagai partai politik lama dan baru, yang ‘terjaring’ oleh perubahan sistem itu sendiri. Perubahan ini bukanlah demokratisasi yang sebenarnya, sehingga kita tidak berhak bersedih hati atau bergembira dengan proses ini. Demokratisasi yang sebenarnya, belum pernah terjadi di negeri kita sampai hari ini, apapun kata orang.

‘Demokratisasi’ curian, yang diklaim oleh para pemimpin golongan yang kemudian memimpin negara itu, adalah demokratisasi semu yang tidak akan memberikan tempat bagi seorang demokrat sebenarnya, seperti Dr. Tjiptaning. Idealisme yang demikian itu, dalam sistem politik kita saat ini tidak pernah mendapatkan tempat yang wajar, dan rasa-rasanya tidak akan memperoleh kesempatan untuk berkembang. Kita tidak punya kejujuran dan keberanian untuk itu, sehingga kelihatannya perjuangan demokratisası di negeri kıta sulit untuk mencapai kemenangan.

Gunnar Myrdal, seorang sosiolog Swedia, membagi negara berkembang menjadi bangsa keras dan bangsa lembut (hard nation dan soft nation). Dan rupanya kita ini masuk dalam kategori bangsa lembut. Asal jangan kita ini jadi negara hantu (lelembut) karena kelembutan kita sendiri. Dokter Tjiptaning hendaknya memperhitungkan kemungkinan ini dan jangan lupa memperhitungkan kemungkinan kelembutan kita yang memiliki cara-cara sendiri untuk hidup dan berkembang. Tetapi ia dapat menggunakan ‘watak’ itu untuk mengembangkan pandangan sendiri tentang revolusi, seperti dilakukan Vladimir Ilyich Lenin dengan teori-teori revolusi Bolshevik-nya.

Apa yang indah dari cerita Dr. Tjiptaning tentang hidupnya adalah sifat pemaafnya kepada orang lain, sehingga ia dapat bertahan aktif disebuah partai politik besar seperti PDI-P. Tetapi tetap saja, ia harus berhadapan dengan tokoh-tokoh oportunis termasuk yang tadinya ikut dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan Orde Baru. Buku ini merupakan peringatan keras bagi mereka yang bermimpi indah tentang revolusi tetapi tidak menyadari, bahwa revolusi itu sendiri adalah sebenarnya perlu situasi yang sangat kuat.