Islam dan Masyarakat Bangsa
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Islam lahir di lingkungan masyarakat yang berukuran kecil, yaitu masyarakat antar keluarga dalam suku yang sama, yaitu suku Quraisy. Setelah tiga belas tahun lamanya hidup di lingkungan seperti itu, ia menjadi pegangan hidup masyarakat antarsuku di kota Madinah, yang sebelumnya bernama Yatsrib. Keadaan demikian bertahan hingga menjelang saat Nabi Muhammad saw. Wafat di tahun sepuluh Hijriah. Bentuk masyarakat lebih luas tercapai ketika dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar Siddiq sepeninggal beliau. Kawasan masyarakatnya bukan lagi kota Madinah belaka, melainkan telah menjangkau jazirah/semenanjung Arabiah secara keseluruhan. Ketika Umar ibnu Khattab menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar, ia mengembangkan wawasan masyarakat kaum muslimin menjadi sebuah imperium dunia. Kawasan yang demikian luas dari tepian Sungai Indus di timur membentang ke tepian timur Samudra Atlantik di sebelah barat itu disebut Arnold J. Toynbee sebagai oikoumene Islam, salah satu di antara peradaban-peradaban yang penting.
Di abad modern ini, mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena yang secara global disebut “negara bangsa” (nation state). Tidak mudah bagi kaum muslimin untuk mencernakan keharusan historis untuk berinteraksi itu, dan kesulitan inilah yang sebenarnya melandasi kegaduhan dialog intern dalam Islam dewasa ini. Munculnya apa yang disebut “fundamentalisme Islam” dengan hal-hal yang sejenis adalah salah satu sisi dari interaks intensif antara Islam dan wawasan kebangsaan. Karenanya, dianggap relevan dalam kesempatan ini untuk membicarakan kaitan antara Islam dengan masyarakat bangsa, masyarakat yang timbul sebagai lingkungan hidup sosial dari negara bangsa.
Ideologi dan Konstruk Islami?
Kalau mau dilihat sepintas lalu saja, sebenarnya Al-Qur’an sendiri telah menyinggung entitas yang bernama bangsa itu. Allah berfirman: “Sesungguhnya telah Ku–ciptakan kalian dan (jenis) pria dan wanita, dan Ku–jadikan kalian berbangsa–bangsa dan bersuku–suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang termulia di sisi Allah adalah (mereka) yang paling bertaqwa” Kalau Al-Qur’an sudah demikian eksplisit menyebutkan adanya bangsa, mengapakah lalu ada kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dengan wawasan kebangsaan? Jawaban atas pertanyaan tersebut terletak pada arti kata “berbangsa yang digunakan Al-Qur’an itu.
Pengertian Al-Qur’an terbatas hanya bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami teritorial yang sama. Sedangkan wawasan kebangsaan di masa modern ini sudah berarti lain, yaitu satuan politis yang didukung oleh sebuah ideologi nasional. Penjelmaan pengertian ini adalah konsep negara bangsa. Ada yang sangat pluralistis dalam komposisi etnis dan kulturalnya, dengan mendiami kawasan dengan luas yang masif seperti India, Cina, dan Indonesia. Namun, tidak kurang pula yang kawasan teritorialnya sangat kecil, dengan komposisi etnis sangat sederhana, seperti Kuwait dan Kiribati. Dengan demikian, Firman eksplisit di atas seolah-olah tidak berbicara kepada kita tentang sebuah masyarakat bangsa dalam artian modern.
Kesulitan terbesar dalam mencari kaitan antara Islam dengan wawasan kebangsaan terletak pada sifat Islam yang seolah-olah “supranasional”. Sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya. Tentulah sangat sukar memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam konstruk ideologis yang bersifat nasional. Kalau dipaksakan juga, berarti wawasan kehidupan yang dibawakan Islam harus “ditundukkan” kepada wawasan nasional dari sebuah ideologi. Dari sudut pandangan inilah sebenarnya harus dimengerti munculnya gagasan “negara Islam” dalam berbagai variasinya. Gagasan itu berisikan upaya melerai antara Islam dengan wawasan kebangsaan, dengan memformalkan kedua sisi yang saling berbeda itu dalam sebuah institusi tunggal.
Reaksi lain dari timbulnya kesulitan mempertemukan kedua sisi di atas adalah upaya utopis untuk melakukan idealisasi peranan Islam bagi kehidupan. Kebutuhan akan sebuah konstruk yang bersifat nasional, yang nantinya berujung pada negara, ditinggalkan dan sebagai gantinya dicari jalan pintas dengan membuat “konstruk islami”, seperti gagasan ekonomi Islam, ilmu pengetahuan islami, masyarakat islami, dan seterusnya. Upaya ini memang merupakan obat penenang untuk sementara waktu, karena gambaran ideal tentang Islam memang menyejukkan hati.
Yang menjadi persoalan adalah kenyataan bahwa negara bangsa dengan wawasan kebangsaan adalah fakta yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain idealisasi Islam sebagai konstruk sosial yang ideal hanyalah merupakan pelarian dari kenyataan. Hanya ada pilihan dari hal yang akan menjadi pencarian semacam itu, meneruskan utopisme itu kepada usaha operasional untuk menjadikan Islam sebagai “sistem alternatif” terhadap konsep negara bangsa umumnya, atau langsung meninggalkan wawasan Islam sama sekali.
Jelas sekali, sikap memilih salah satu dari dua hal di atas sama sekali tidak konstruktif, karena di dalamnya terkandung sikap apatis terhadap kehidupan masyarakat bangsa. Kalau kita jujur kepada masyarakat bangsa itu, mau tidak mau haruslah diupayakan untuk mendudukkan permasalahan pada konteks yang proporsional baginya.
Prinsip al-Ghayah wal Wasail
Salah satu cara untuk meneropong kaitan antara wawasan Islam yang universal dan supranasional dan wawasan kebangsaan dari sebuah masyarakat bangsa adalah dengan mengambil sudut pandangan fungsional antara keduanya. Menurut jalan pikiran ini, Islam haruslah ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, apa pun bentuk masyarakat yang digunakan. Al-Qur’an dengan indahnya merumuskan fungsi tersebut dengan dua buah ayat. Pertama, firman Allah “Telah ada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah, bagi (mereka) yang mengharapkan ridha Allah di Hari Akhir nanti, serta yang senantiasa sadar akan (keagungan) Allah” Dalam hal apakah Rasulullah menjadi keteladanan sempurna (uswatun hasanah)? Dalam fungsi beliau yang disebutkan dalam firman Allah “Tiadalah Ku–utus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai pembawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan jagat raya seisinya”. Untuk keperluan tugas penyejahteraan kehidupan itu, manusia diciptakan dengan kelengkapan sempurna (ahsan taqwin) sebagai makhluk. Dengan demikian ia mampu mengembangkan kepribadian, dan melalui pengembangan kepribadian itu lahirlah pola hubungan antarmanusia yang dinamai pergaulan masyarakat.
Dengan kata lain, wujud Islam sebagai pandangan hidup memerlukan pengejawantahan dalam bentuk masyarakat yang berstruktur, karena pada hakikatnya bentuk itulah yang merupakan konkretisasi pergaulan masyarakat. Kalau benar tesis bahwa wawasan Islam harus menemukan bentuknya dalam masyarakat berstruktur, maka sebenarnya menjadi tidak penting untuk mempersoalkan bentuk operasional masyarakat itu sendiri, selama tujuan mengupayakan kesejahteraan hidup masih dipegang sebagai patokan bersama. Dengan ungkapan lain, bentuk yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan, bukannya bentuk-bentuk utopis yang ditawarkan melalui idealisasi sebuah “konstruk islami”.
Hukum agama merumuskan hal itu dengan jitu dalam konsep kegiatan sosial yang senantiasa harus bersandar pada prinsip “tujuan dan cara penyampaiannya” (al–ghayah wal wasa’il). Selama tujuan (termasuk sasaran) masih tetap, cara penyampaian menjadi masalah sekunder. Bagaimanakah harus dijaga agar prinsip ini tidak menuju kepada sikap “tujuan menghalalkan segala cara”? kalau dilihat dari fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, Islam bertugas melestarikan sejumlah nilai dan pola perilaku sosial yang mempertalikan pencapaian tujuan dengan kemulian cara yang digunakan. Tata nilai dan pola perilaku itu disebut akhlaq karimah.
Jelaslah dengan demikian bahwa Islam berfungsi penuh dalam kehidupan sebuah masyarakat bangsa melalui pengembangan nilai-nilai dasarnya sebagai etika masyarakat yang bersangkutan. Islam berfungsi bagi kehidupan masyarakat bangsa tidak sebagai bentuk kenegaraan tertentu, tetapi sebagai etika sosial yang akan memandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu sesuai dengan martabat luhur dan kemuliaan derajat manusia, karena pada analisis terakhir manusialah yang menjadi objek upaya penyejahteraan hidup itu. Bahwa bentuk negara bangsa yang dipakai, dan bukan bentuk kemasyarakatan yang lain, semata-mata karena ia lebih efektif untuk pencapaian tujuan tersebut. Sudah tentu pandangan mengutamakan efektivitas ini bersesuaian sepenuhnya dengan prinsip al–ghayah wal wasa ‘il.
Etika Sosial dan Sekularisasi?
Masalah yang timbul kemudian adalah pertanyaan berikut: haruskah ajaran-ajaran Islam diundangkan in toto (secara keseluruhan) oleh negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlulah dipahami terlebih dahulu hakikat “hukum agama” itu dalam Islam. Menurut sejarahnya, tidak semua ajaran Islam diundangkan oleh negara. Sangat banyak aspek kehidupan yang masuk ke dalam kategori “hukum agama”, ternyata hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran warga masyarakat. Kenyataan inilah yang melandasi wawasan hukum agama sebagai fiqh (bearti paham, tahu, sadar). Walaupun ia bernama hukum agama, tidak seluruh kandungannya berupa hukum formal diundangkan oleh negara.
Kalau hal itu dipahami dengan mendalam, jelaslah bahwa kita harus mempertimbangkan kebutuhan mengundangkan hukum agama hanya pada apa yang dapat diundangkan saja (wadh’ul ahkam fi halati imkaniyyati wadh’ihi). Ajakan untuk mengundangkan Hukum Islam sebagai persyaratan diterimanya konsep negara bangsa (nation state), tanpa mempertimbangkan dengan mendalam keterbatasan bentuk masyarakat seperti itu untuk melakukannya, akan merupakan hambatan mendasar bagi pencapaian tujuan Islam sendiri.
Hukum agama tidak akan hilang kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat. Bahkan kebesaran akan memancar, karena ia mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi masyarakat yang bernama negara. Pada hakikatnya, jika nilai-nilai luhur yang dibawakan Islam harus bertumpu pada kekuasaan negara, maka proses sekularisasi telah terjadi, karena institusi negara menjadi lebih kuat dari agama. Beragama Islam, yang artinya berserah diri kepada Allah adalah tujuan hidup yang luhur. Karenanya, haruslah dihindarkan agar tidak diletakkan di bawah wewenang negara, tetapi menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat. Bukanlah lalu menjadi terasa sangat dalam makna sabda Nabi Muhammad, “bahwasanya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. Kemuliaan akhlak hanyalah terasa logis untuk disempurnakan, jika upaya itu diartikan pengembangan kesadaran mendalam akan etika sosial dari sebuah masyarakat bangsa.
Tugas Islam adalah mengembangkan etika sosial yang memungkinkan tercapainya tujuan penyejahteraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masyarakat yang bernama negara maupun di luarnya. Fungsionalisasi etika sosial dapat saja berbentuk pengundangan melalui hukum formal, maupun “sekadar” melalui penyadaran masyarakat akan kepentingan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan nyata. Dari kesimpulan ini dapat diketahui bahwa universalitas nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa, terlepas dari bentuk negara yang digunakan.