Islam Menang dalam Keadaan Apapun

Sumber Foto: https://www.vice.com/id/article/8x5peb/di-balik-foto-tragedi-ketapang-kerusuhan-berdarah-yang-menyulut-konflik-ambon

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sehari setelah peristiwa Ketapang terjadi, saya mendapat telepon. Perusakan tujuh gereja dan satu ruang asrama oleh sekelompok muslim militan ternyata belum memuaskan. Penelepon itu adalah warga NU dari sebuah kawasan di Ibu Kota, yang mengajukan pertanyaan fundamental: “Mengapa anda tidak membereskan gereja Katolik di Jalan Hasyim Asy’ari?” Pertanyaan ini sangat sederhana, tapi jawabannya bisa panjang.

Saya menjawab pertanyaan itu dengan menyatakan, “Anda telah terpengaruh oleh selebaran gelap yang dibagi-bagikan kaum militan di masjid-masjid dan di berbagai tempat akhir-akhir ini”. Propaganda itu langsung memukul saya sebagai “Pembela Kristen”. Bukti dari pengaruh itu adalah pernyataan penelepon itu selanjunya: “Bukankah Anda telah dibiayai oleh mereka?”

Melalui kedua pertanyaan tersebut saya langsung dihukum, tanpa mengajukan pemeriksaan. Memang inilah cara-cara orang militan menghancurkan lawan: menghancurkan reputasinya. Tidak pernah ada yang mau berpayah-payah memeriksa kapankah saya menerima “dukungan materil” itu. Bukankah saya lebih kaya kalau menerima bantuan asing dari satu dua negeri yang menginginkan “kejayaan” Islam, seperti yang mereka perbuat. Asal saya memihak mereka, dengan sendirinya bantuan itu akan datang. Ini dialami para “organisator-organisator” yang mengeroyok orang atas nama Islam. Mengapa justru saya memilih jadi orang melarat, tidak memiliki Mercedes Benz yang baru dan uang dalam jumlah besar. Tetapi, saya memilih selamat dunia-akhirat, karena itu menerima seadanya. Paling-paling hanya salam tempel dari panitia ketika selesai berpidato dalam acara-acara NU atau honorarium paper dari seminar.

Penghancuran nama baik seseorang “sebagai metode perjuangan” adalah cara-cara militan, kiri maupun kanan. Dari mana biaya untuk mencetak semua selebaran itu, sedangkan PBNU kalau mengirim surat harus memikirkan prangkonya terlebih dahulu. Apalagi kalau berpikir rapat gabungan antara Tanfidziyah-Syuriyah ataupun acara Konbes serta Muktamar.

Salah satu tuduhan yang sering dilontarkan adalah kerja sama saya yang erat dengan berbagai golongan, termasuk kalangan Kristen. Jawaban atas tuduhan itu sederhana saja: saya justru berpegang pada al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Bahwa, keseluruhan ayat al-Qur’an menekankan pentingnya perlindungan pada kelompok-kelompok minoritas. Bukankah tuntutan mengistimewakan Islam justru bertentangan dengan prinsip perlindungan ini?

Reaksi keras yang diperlihatkan beberapa pihak dalam gerakan Islam sebenarnya tidak lain adalah salah satu bentuk reaksi terhadap proses modernisasi. Bukankah ajakan pada “kemurnian Islam” adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan diri? Yang percaya pada kehebatan Islam, bukankah justru orang yang meletakkan Islam pada kerangka dialog dengan umat-umat lain secara apa adanya? Islam tak perlu diindungi, karena ia memang akan menang dalam keadaan apapun.

Juga bukan rahasia, bahwa hukum Islam sedang ditantang oleh hukum internasional. Contoh yang paling gampang adalah konsep orang murtad yang harus dihukum mati dalam hukum Islam. Ini berarti, orang Islam tidak boleh beralih agama, sedangkan hal itu Merupakan salah satu hak asasi manusia yang dimasukkan dalam Declaration of Human Right dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Hal ini harus diselesaikan secara baik, bukan dengan ngotot saja.

Itulah alasan mengapa saya berpihak pada asas pluralisme dalam negara Pancasila, dan bukannya ngotot mempertahankan Piagam Jakarta.