Islam yang Melunak

Sumber Foto: https://www.tehrantimes.com/news/483914/Ayatollah-Khamenei-leads-huge-Eid-al-Fitr-Prayer

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Hasil pemilihan umum di Iran ditandai dengan terlemparnya Hasyemi Rafsanjani dari kursi kepresidenan, dan digantikan oleh Khatami. Hasil pemilihan semacam itu, jelas menunjukkan adanya pelunakan dalam sikap Islam terhadap keadaan. Seorang yang berpendirian keras dan lugas-seperti Rafsanjani, digantikan oleh seseorang yang jauh lebih lunak, yakni Khatami. Meskipun Ali Khomeini masih jadi pemimpin agama yang terpilih, hal itu menunjukkan rakyat Iran tidak menginginkan ke-Ulama-an berada di bawah standar, bukannya sikap setuju atau menolak terhadap kekakuan hukum Islam. Penerimaan atau penolakan itu, justru tercermin dalam pemilihan presiden dan anggota Perwakilan Rakyat, ketimbang pemilihan Dewan Agama (Khubrigan).

Jadi, meski terjadi penolakan keras terhadap Khomeini, bukanlah berarti bahwa rakyat Iran menolak Islam sebagai dasar negara. Kejadian penting ini, agaknya terlepas dari perhatian para pengamat karena posisi Iran yang bertentangan dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya. Tetapi, para pengamat di hampir semua tempat mengakui terjadinya perubahan tersebut. Karena sedikitnya berita tentang Iran, maka perubahan penting ini agak terlepas dari perhatian kita sebagai bangsa. Bahwa proses peng-Islam-an pola kehidupan bisa mempunyai banyak wajah, antara lunak dan yang keras, sama sekali terlepas dari perhatian kita. Hal inilah yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan dan harus dibenahi di masa depan.

Sebenarnya, perubahan ini juga terjadi sebelum Rafsanjani diganti, seperti terbukti dalam Undang- Undang Kewanitaan yang sangat banyak memberikan perlindungan terhadap kaum feminis tersebut, bila dibandingkan dengan perundang-undangan sebelumnya. Hanya dalam satu hal tampak nyata, garis formal Islam masih saja berlaku: sikap terhadap orang lain baik golongan Zarathrusta, Ahmadiyah maupun agama Baha’i semuanya sama-sama tidak dihormati. Agama Zarathrusta sama sekali dilarang, demikian pula dengan agama Baha’i. Sementara, bagi kalangan Ahmadiyah diberi kursi khusus di parlemen dengan jumlah yang tak boleh dikurangi. Benarkah ada demokrasi kalau demikian yang terjadi? Karena sebagian dari kursi parlemen disediakan hanya untuk mereka, tetapi kursi itu tidak bertambah atau berkurang. Tetapi, sama sekali tidak ada tempat untuk yang berada di luar undang-undang, seperti golongan Zarathrusta ataupun dengan kaum Baha’i.

Sikap melunak yang lain terlihat dalam perlakuan terhadap kaum Sufi di Turki. Ketika Kemal Attaturk masih hidup, dan beberapa puluh tahun setelah itu, orang Sufi harus menyembunyikan identitas gerakan mereka kalau ingin selamat. Dengan demikian, gerakan Sufi di negara tersebut dilarang undang-undang dan mendapat tempat di luar hukum.

Meski kita belum pernah membaca apa akibat hukum dari tindakan menjadi gerakan Sufi, tetapi paling tidak mereka akan mengalami kesulitan dalam pekerjaan dan sebagainya, kalau tertangkap.

Hal ini berubah ketika mulai menampakkan giginya di negara tersebut, termasuk kalangan gerakan Islam. Gerakkan Sulaeman Demirel, di tahun-tahun 60-an, memperoleh dukungan dari gerakan Sufi ini, walaupun mereka bukanlah gerakan agama. Hal ini dilanjutkan oleh ahli warisnya yang kini menjadi Perdana Menteri Turki. Melihat hal ini, Ozal Torgut, seorang lawan politiknya, tak mau kalah dan menjalankan hal yang sama sebagaimana di atas. Dalam keadaan demikian, Turki modern justru lebih banyak bersandar pada gerakan Sufi yang tidak berpolitik, daripada sebaliknya. Apa yang terjadi di Turki itu, menunjukkan dengan jelas bahwa Islam dapat berkembang dengan baik di luar jalur politik.

Ini merupakan argumentasi yang penting bagi orang yang menganggap bahwa Islam dan politik mempunyai persenyawaan dan tak dapat dihindarkan daripadanya. Justru, Islam akan berkembang dengan baik dalam kaitan politik ataupun di luar dirinya, manakala syarat-syarat tepat untuk itu dapat dicarikan formulanya.

Kenyataan-kenyataan itulah yang jarang dipahami oleh mereka yang mengharuskan pengaitan antara Islam dan politik. Apa yang berkembang di Bosnia di kemudian hari menjadi sesuatu yang sangat menarik; bahwa kemajuan teknologi yang cepat di negara semacam itu akan menimbulkan pergesekan luar biasa. Karenanya, menjadi sangat penting untuk mengetahui haruskah Islam terkait dengan politik atau tidak. Tetapi, hal itu baru akan menjadi nyata kegunaannya jika terjadi di tengah-tengah perubahan demokrasi. Perubahan seperti di Saudi Arabia, Irak, Suriah, dan sebagainya tidak usah dihitung karena terjadi di tengah-tengah faktor adanya kebebasan itu.

***

Contoh ketiga yang patut diambil di sini adalah Sudan. Di negara hitam ini, Ahmad Hasan Turabi, telah lama merintis proses islamisasi di berbagai tingkatan. Buah dari upayanya yang tak pernah berhenti itu adalah berdirinya Republik Sudan pada saat ini. Di Barat, yang hanya mengenal warna hitam-putih, hal ini dianggap sebagai sebuah kemunduran bagi golongan Kristen di Selatan. Bahkan, kira-kira seluruh dunia pun menganggap proses itu sebagai kekalahan golongan lain dan kemenangan bagi golongan politik Islam.

Anggapan ini memang ada benarnya, tetapi memiliki kadar kebenaran yang lain. Dari mereka yang mempelajari keadaan Sudan dengan mendalam, tanpa dipengaruhi oleh emosi, kiranya penulis memperoleh pengetahuan yang lain. Menurut pendapat ini, kemenangan Ahmad Hasan Turabi dan ajaran politik Islam tidaklah banyak mempunyai arti. Bahkan menurut mereka, banyak menteri senior Sudan yang menyatakan bahwa legalisasi hukum Sudan dari hukum adat melalui hukum Islam tidaklah terjadi.

Beberapa provinsi yang semula dianggap dengan mudah menerima hukum Islam, ternyata tetap pada hukum adat yang jelas-jelas bertentangan dengan kitab hukum Islam. Ini berarti, telah terjadi kegagalan proses islamisasi hukum.

Meski, Islam secara politis mencapai kemenangan di sana. Jadi, ini bisa berarti soal yang berkaitan dengan keadaan politik di sebelah selatan Sudan yang harus ditinjau secara khusus. Tidak setiap proses islamisasi hukum harus ditakuti, tetapi yang harus dihindari adalah proses politisasi Islam.

Sebuah pertanyaan mengganggu kita dalam hal ini, mengapa di negeri-negeri muslim juga terjadi proses pengukuhan tradisi yang dibawakan Islam tanpa membawa modal politik? Contohnya di Malaysia, yang parlemennya menolak Hudood Law atau pidana Islam.

Padahal orang-orang di negara Malaysia telah menetapkan Islam sebagai agama negara. Dengan kata lain, formalitas yang mereka tempuh tidak menghalangi mereka untuk menolak hukum Islam.

Jika proses plitisasi kehidupan kaum muslimin tidak terjadi, bisa saja penegakan hukum Islam berjalan tanpa terganggu, seperti kita lihat di Turki, Sudan, dan Malaysia. Dan ini pernah terjadi pula di negara kita, pada tahun 50-an, pada saat Demokrasi Parlementer masih tegak dan belum ditumbangkan oleh Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Dalam hal ini, Masyumi pernah merumuskan konsep di atas dalam kongresnya. Ini membuktikan antara proses islamisasi hukum dan politisasi Islam tidak terdapat hubungan langsung, hingga diperlukan penelitian lebih lanjut.