Jangan Pakai Ukuran Lama (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tidak sulit untuk memperoleh kesedian Abdurrahman Wahid, budayawan, kolumnis, ahli susastra Arab lulusan Fakultas Sastra Universitas Bagdad, konsultan berbagai lembaga, pendiri dan pengasuh pesantren Ciganjur, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), untuk diwawancarai. Yang sulit ialah mencari waktu luangnya.
Setelah beberapa kali urung bertemu, akhirnya berhasil juga mencegat sang kiai. Wawancara pertama berlangsung di Kantor PBNU di Kramat Raya, Jakarta.
Ruang tamu kantor PBNU yang diterangi lampu neon itu ditata sangat lugas; selain seperangkat kursi tamu, satu-satunya hiasan di ruang itu adalah lukisan kaligrafi yang berbunyi Bismillahirrahmanirrahim, berbentuk bintang. Wawancara yang petang itu dimulai pukul 14.15, berakhir pukul 15.30 dengan janji dilanjutkan beberapa hari kemudian di rumah “Gus Dur” –panggilan akrab sehari-hari.
Ketika siang itu, sesuai perjanjian, kami berkunjung ke rumahnya di bilangan Ragunan, Pasar Minggu, yang menerima kami adalah Ny Nuriah, istrinya. Dia rupanya tidak mengetahui janji kami dengan Gus Dur. Dari Ny. Nuriah kami tahu bahwa Gus Dur akan berangkat ke Cilacap keesokan harinya.
Pukul 21.30, di alun-alun Kota Cilacap, sebuah panggung berlatar belakang tanda gambar Nahdathul Ulama; bola dunia lingkaran tali, dengan sembilan bintang, pada bagian atas telah disiapkan dengan rapi. Gambar berwarna putih di atas dasar biru itu dibuat selebar panggung, termasuk ukuran raksasa untuk kota Cilacap. Tanda gambar itu tampak lebih mencolok karena terpampang di hadapan pendopo kabupaten, dan menjadikan mauludan yang dihadiri oleh massa NU serta tokoh-tokoh masyarakat setempat itu suatu peristiwa yang bukan sekadar mauludan biasa.
Abdurrahman Wahid duduk di kursi deretan pertama, diapit para pejabat dan kiai yang tergabung dalam NU. Massa pria dipisahkan tidak kurang lima meter dari para wanita. Tidak sedikit dari massa, yang kebanyakkan datang dari pedesaan itu, tidak kebagian kursi.
Sambutan kepada Abdurrahman Wahid terasa lebih ditujukan kepada seorang pemimpin spritual, daripada kepada seorang pemimpin organisasi biasa. Gus Dur, yang malam itu mengenakan sarung dan kemeja batik bergambar “bola dunia”, luluh menjadi milik massa yang memandangnya sebagai simbol NU. Seusai acara, ia dikerumuni massa. Banyak yang menjabat tangannya sambil membungkukkan badan dan berucap “mohon berkah”.
Wawancara dengan Gus Dur pagi itu dilakukan di meja makan, sambil menanti kedatangan panitia penjemput yang mengundangnya meresmikan peletakkan batu pertama gedung NU di Cilacap, dan akan menjemputnya pukul 7.00 pagi itu. Keakraban dan kepolosan Gus Dur tercermin dari kesediannya memegang sendiri alat perekam di tangannya selama wawancara berlangsung.
Beberapa waktu yang lalu orang banyak berbicara tentang adanya semacam “religious revival” di Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?
Kalau kita berbicara tentang religious revival kita mesti bertanya. Apa sih dimensinya? Dibandingkan 20 tahun yang lalu, memang sekarang perhatian anak-anak muda pada agama itu tampak meningkat. Cuma, apa itu namanya kebangkitan, ‘kan nggak bisa dirumuskan begitu saja. Dari fenomena itu, lalu apa yang bisa ditarik? Nah, sebenarnya ada beberapa cara melihatnya. Ini bukan dari saya lho, tapi dari apa yang saya baca.
Saya kira, rumusan yang paling bagus ialah yang diberikan Tengku Abdul Aziz, Rektor Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Menurut dia, yang pertama adalah revival of faith, keyakinan agama yang bertambah. Kemudian, revival of social-economic power. Ini, terus terang, kalau di Indonesia tidak relevan. Sebab, social economic power bangsa kita malah turun. Yang ketiga adalah revival of religious thought, perombakan cara berpikir keagamaan. Nah, ini yang saya lihat, baru sampai pada tahap mau, tapi belum sampai-sampai juga.
Nah, ini ditandai dengan munculnya orang-orang seperti Nurcholish Madjid, yang dibilang lokomotif sama Tempo, walaupun menurut saya lebih tepat jadi kereta api, KRL atau KRD-lah ha.. ha… ha…. (Kereta Api Rel Listrik atau Kereta Api Rel Diesel, red.). Jadi lokomotif berarti dibelakangnya banyak umat. Berat, dong. Tapi kalau KRD, dia berada bersama umat. Jadi, ya itu, kita baru mulai, baru mencari definisi-definisi baru. Belum ada revival dari pemikiran agama an sich, belum. Ini pun kalau momentumnya kurang kuat, ya, bisa abortus.
Kebangkitan keyakinan itu sering dikaitkan dengan fundamentalisme. Bagaimana?
Tidak setiap bentuk dari revival Islam itu sekarang fundamentalistis. Sekarang, ambil gampangnya. Itu yang pakai jilbab, belum tentu fundamentalistis. Kalau mereka sekadar mencari identitas diri, self identity, pada Islam, nggak apa-apa. Saya mau jadi muslim yang baik, ah, saya mau pakai kerudung yang benar. Ajaran agama saya mengajarkannya. Itu nggak apa-apa. Tapi kalau mereka sudah mulai memaksakan itu pada orang lain, nah, itu baru fundamentalis. Ya, toh?
Bagaimana pendapat Anda tentang demokrasi yang sedang tumbuh di negeri kita?
Pertumbuhan demokrasi itu tidak lepas dari perkembangan sejarah. Dulu, demokrasi kita itu langsung diambil dari induknya di negara-negara Barat, dan dijalankan secara Barat. Demokrasi liberallah Tapi, kemampuan menggunakan bentuk demokrasi itu ‘kan tidak sama di tiap kelompok masyarakat.
Nah, kemampuan menumbuhkan demokrasi untuk kepentingan masing-masing kelompok juga tidak sama. Di samping itu, hasil yang diperoleh dari kehidupan bernegara pun akhirnya berlainan dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Sebagai akibat, ada pihak yang merasa tidak ada gunanya demokrasi liberal itu dilaksanakan di negeri ini.
Lalu dicarilah bentuk-bentuk demokrasi yang lain. Bung Karno mencoba dengan Demokrasi Terpimpin. Lalu Orde Baru sekarang ini mencari bentuk lain, Demokrasi Pancasila. Jadi, seperti yang saya katakan tadi, itu semua adalah akibat saja dari kenyataan bahwa demokrasi yang sedang dikembangkan itu dirasakan tidak memenuhi kebutuhan.
Kalau kita berbicara secara historis, maka negeri kita itu sejak zaman dahulu sudah mengenal bentuk-bentuk demokrasi yang nyata. Kalau tidak, ‘kan tidak akan bisa kita mencapai ketinggian peradaban yang seperti kita alami sekarang. Nah, inilah yang harus digali sebanyak-banyaknya. Sementara itu kita sadar, kebutuhan rakyat akan demokrasi itu nyata. Karena demokrasi itu pada prinsipnya suatu cara untuk mengutarakan pendapat, keinginan, dan…..apa itu, untuk memperjuangkan kepentingan. Lalu demokrasi harus menjamin adanya proses ada argumentasi. Itu hakikat demokrasi.
Tentang demokrasi Pancasila, bagaimana?
Sekarang ini, kalau kita dianggap tidak bisa menegakkan demokrasi liberal, tentang itu adalah anggapan yang harus kita teliti. Apakah keputusan politis itu sesuai dengan hakikat demokrasi yang memang sudah ada dalam kehidupan bangsa kita sendiri sejak dulu? Kita belum tahu persis.
Dalam situasi tidak tahu persis ini, okelah, kita laksanakan Demokrasi Pancasila. Tetapi, bagaimana agar kita berhasil menghayati wawasan Demokrasi Pancasila ini jadi benar-benar demokratis? Artinya, bukan sekadar permainan silat kata. Inti demokrasi itu ‘kan sebenarnya adalah kontrol sosial. Kritik terhadap pihak yang memegang kekuasaan, oleh orang yang berada di luarnya.
Kalau yang dimaksudkan itu demikian, pemerintah akan berjalan bersih, akan selalu berjalan bersih, akan selalu berjalan pada rel yang telah ditetapkan, untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan bersama. Ini esensi dari demokrasi. Dan kontroversi, ah, kontroversi itu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan demokrasi.
Lalu masalahnya sekarang, bagaimana melalui Demokrasi Pancasila kita bisa melakukan kontrol sosial atas jalannya pemerintahan. Tentu tidak berarti lalu kembali ke zaman demonstrasi, koran kampus, atau apa namanya, membawa klaim membawakan suara rakyat. Kita bisa mencari bentuk-bentuk lain. Umpamanya, kalau di negeri-negeri lain, ada yang namanya Ombudsman. Semacam lembaga atau perorangan yang bertugas melakukan koreksi. Tapi dia ini harus netral. Dia tidak membela kepentingan yang memerintah, tapi kepentingan umum.
Ada contoh lain?
Arab Saudi. Yang namanya kerajaan tentu feodal, dan juga sangat kuno. Tetapi, di sana orang mengenal bentuk demokrasi juga. Pada hari-hari tertentu setiap bulan, Raja menerima semua warga negara. Mereka boleh mengadukan segala macam persoalan kepada Raja. Persoalan itu didengar oleh Raja, lalu ditangani oleh pemerintah. Nah, mungkin ini yang perlu dilakukan. Tentu ya nggak mungkin Pak Harto buka praktek. Tapi maksud saya, perlu dipikirkan cara-cara di mana aparat pemerintah menerima keluhan-keluhan dan masyarakat, dan benar-benar mencari pemecahan.
Anda ‘kan Manggala P4. Apakah masalah itu pernah disampaikan?
Manggala itu ‘kan tugasnya mengajar. Di sana memang ada kelembagaannya. Ada memang kelompok-kelompok yang dibentuk untuk menyiapkan materi. Materi yang disusun adalah materi bagi petatar. Tapi yang untuk pemerintah sedikit.
Anda pemimpin organisasi sosial keagamaan yang menyatakan diri melepaskan kegiatan politik. Tapi kelihatannya Anda sendiri masih melakukan kegiatan politik.
Saya nggak aktif dalam politik praktis.
Tapi Anda terlibat dalam permainan-permainan konflik politik.
Begini. Yang dimaksud dengan politik praktis adalah upaya politik untuk menempatkan orang pada kelembagaan politik. Lho, itu kami sudah tidak lakukan lagi.
Daftar calon umpamanya ya, kita sudah nggak tahu, deh. Ya, terserah kalau orang NU mau diajak. Ya, itu urusan pribadi masing-masing Jadi tidak ada penempatan yang secara sistematis untuk mewakili NU. Atas dasar itu jelas kami tidak berpolitik praktis.
Tapi ya, sebagai organisasi sebesar NU, mau tidak mau, kita ya terlibat dengan politik. Bukan yang praktis tadi, ya. Politik dalam arti perkembangan politik pemerintahan. Paling tidak, kita ‘kan dimintai pendapat.
Dalam hal seperti itu apakah NU bisa sama sekali terlepas dari konflik-konflik yang ada?
Memang tidak mungkin. Tapi, ini artinya kami tidak lagi berpikir dalam masalah NU dapat kursi berapa, begitulah. Sekarang yang kami lakukan adalah memberikan pelayanan sosial, pelayanan masyarakat. Dan itu meliputi juga konflik-konflik politik yang ada di dalam, apa itu namanya… lembaga-lembaga pemerintah.
Bagaimana peran tokoh agama seperti Kardinal Jaime Sin dalam perubahan politik di Filipina?
Kita harus menilainya dari beberapa aspek. Pertama, dia melakukan perubahan besar dalam kehidupan politik di Filipina dengan mendukung Nyonya Cory Aquino. Tapi jangan lupa, dia berbuat itu karena dia memang harus mengambil sikap. Andai kata dia tidak mendukung, ya barangkali lebih nggak karuan lagi. Perjuangan melawan Marcos dulu bisa ditunggangi bermacam-macam pihak, gitu. Sebagai pemimpin Gereja Katolik, minimal dia harus membantu memelihara integrasi nasional, kesatuan dan persatuan nasional. Dia pasti harus berperan untuk menghindari hal-hal yang tidak perlu, termasuk konfrontasi bersenjata antara pengikut Aquino dan pengikut Marcos.
Aspek lain yang saya lihat adalah dia membawa semacam kepastian tentang model kehidupan yang diinginkan bangsa Filipina, yaitu pola kehidupan yang demokratis. Demokrasi dalam konteks kehidupan rakyat Filipina, tentunya. Tidak dalam konteks demokrasi Amerika atau lain-lain. Ini penting sekali. Jadi…..apa ya, watak domestik dari kehidupan politik di Filipina, itulah yang dicari oleh Kardinal Sin.
Apa benar ada yang menghubungi Anda dalam kaitan perundingan yang dilakukan Presiden Cory Aquino dengan wakil masyarakat Moro?
Memang kebetulan saya selaku ketua NU dimintai pendapat oleh beberapa pihak. Pertama-tama oleh utusan Vatikan, Kardinal Mardini dengan Uskup Agung Legaspi yang kebetulan orang Filipina. Ketika dimintai pendapat mengenai masalah Moro itu, saya nyatakan bahwa sebaiknya dilakukan perundingan. Dan perundingan itu sebaiknya yang jelas, gitu lho. Kepada orang Moro harus dijelaskan bahwa mereka berkewajiban ikut turut memelihara integritas teritorial negara Filipina. Masalah pertahanan. Kemudian masalah perpajakan, dan … hukum. Ini semua berada di tangan pemerintah federal. Nah, ini semua harus benar-benar jelas, saya bilang.
Kemudian datang juga orang Jepang, seorang senator, yang mewawancarai dan meminta pendapat NU. Waktu itu saya katakan: Mbok sudahlah, pemerintah Filipina itu jangan banyak-banyak berunding sama golongan Islam. Pilih salah satu, pegang mati atau hidup. Nanti yang lain ‘kan ikut, asal pilihannya tepat.
Jadi, ya, saya gembira kelihatannya pemerintah Filiphina itu sejalan dengan pikiran saya. Yang dipegang sekarang. Missuari. Dan kepada Missuari kelihatannya sudah disampaikan, ada empat bidang yang tidak bisa diganggu gugat. Selebihnya, bisa dirundingkan. Nah, kalau itu jelas selebihnya nanti akan selesai sendiri.
Anda kenal pribadi dengan Missuari?
Ndak. Dia itu dulu ‘kan dokter gigi. Kemudian dia ke Timur Tengah, setelah itu jadi pejuang. Lain kalau apa namanya itu….. Hasyim Salamad, dia dan beberapa orang lagi pernah ke Timur Tengah. Ada beberapa orang Filipina yang pernah ke sana yang saya kenal. Juga orang-orang Malaysia dan Thailand. Tapi kalau Nur Missuari, tidak.
Anda pernah bilang, “keadaan kaum muslimin di seluruh dunia dapatlah dikatakan sebagai menyedihkan”. Apakah Anda bisa menjelaskan lebih lanjut?
Sebetulnya terserah bagaimana melihatnya saja. Kalau kita berangkat dan pikiran-pikiran Pan Islami, yaitu suatu kekuasaan politik Islam yang operatif, yang berjalan dan Maroko sampai Merauke, begitu kira-kira. Nah, kalau dipandang dari sisi ini, maka ya menyedihkan. Tidak ada satu pun yang bisa mendirikan negara Islam. Kecuali Iran, Pakistan dan Saudi, lainnya menyedihkan, kalau dilihat dari sudut itu, lho.
Marilah kita melihatnya dari ukuran objektif. Menurut saya, ukuran objektif itu ada satu. Satu, dilihat dari rakyatnya, dan dua dari sistem politik. Rakyat-rakyat bangsa muslim memang menyedihkan kalau dilihat bahwa mereka pernah termasuk warga peradaban yang begitu agung di masa lampau, mereka termasuk bangsa yang paling miskin, dengan begitu banyak persoalan yang tidak terselesaikan. Tapi, ini toh tidak unik. Banyak orang Hindu juga sama keadaannya dengan orang Islam dalam hal ini.
Sekarang India, penduduk mereka itu 800 juta, dari jumlah itu ada 200 juta adalah bangsa minoritas. Yang 600 juta itu jumlahnya hampir sama dengan jumlah kaum muslimin di seluruh dunia, lho, ya. Mereka itu hidup dalam kemiskinan. Lebih miskin dari kita lagi. Di Srilangka jelas, taraf hidup mereka itu lebih rendah dari kita. Thailand mungkin lebih lebih tinggi. Nah, di Filipina itu, ya, kalau ukurannya GNP tentu ya, lebih rendah. Dan seterusnya. Jadi kalau melihat itu, kaum muslimin memang menyedihkan.
Tapi kalau kita melihat proporsi penduduknya dengan jumlah muslimin yang duduk di pemerintah dan berkuasa, itu ya kok masih bisa dibanggakan, gitu. Makanya, kalau ada orang geger bahwa di Indonesia kita dikuasai orang Katolik-Kristen, saya pikir itu kok tuduhan yang berat sebelah. Kenapa orang Islam di Srilangka tidak apa-apa, gitu lho, toh mereka sama dengan jumlah orang Katolik di sini. Cuma tujuh persen dari jumlah penduduk, tapi punya menteri. Ketua Perlemen ada di tangan orang Islam. Jadi, dalam hal ini kita mesti lebih adil dalam memandang persoalan.
Nah, sekarang kalau dilihat dari sistem politik. Dan sisi ini yang diukur adalah partisipasinya. Bukan hanya siapa yang berkuasa, tapi seberapa jauh derajat partisipasi yang dimungkinkan oleh semua warga masyarakatnya. Nah, kalau kita warga masyarakatnya. Nah, kalau kita lihat dari sudut ini, partisipasi orang Islam di Indonesia kok ya tidak mengecewakan. Kalau dijumlahkan, ya, yang di Golkar, PDI, dan PPP. Belum lagi di jajaran yang berperan politik walaupun tidak ikut dalam kelembagaan politik seperti LSM, organisasi profesi, media massa dan ormas seperti NU. Pokoknya, saya pikir, derajat keikutsertaan orang Islam itu tinggi. Dengan syarat selama dia mendukung keutuhan pemerintah yang ada.
Dalam menjawab, Anda kok seperti memberi legitimasi saja terhadap masalah yang dikomentari. Anda rasanya kurang tampil sebagai sosok pemimpin agama.
Nah, begini ya. Islam akan berkembang dengan hebat kalau dia memperhitungkan kenyataan hidup yang ada. Berarti kita harus memberi hak kepada masyarakat untuk mengembangkan apa yang dia maui. Jadi ya, terserah orang mau bilang apa. Itu keyakinan saya.
Itu berdasarkan pandangan saya tentang Islam sebagai sumber peradaban seperti dulu, yang sangat tinggi nilainya. Dulu itu kial-kiai hafal Al-Qur’an, khatam setiap dua hari sekali. Tapi mereka juga menguasai filsafat Yunani. Al-Kholil bin Ahmad al-Farahidi, penulis, penyusun kamus yang pertama dalam bahasa Arab, Qamus al-‘Ain. Jelas, al-Farahidi itu bukan orang, namanya itu… kiai kampung. Dia adalah orang yang luas sekali pengetahuannya, kelihatan dari caranya menyusun kamus. Dia menguasai benar filsafat Yunani, padahal dia hidup dalam abad kedua Hijriah. Dari beliau inilah turun pada ensiklopedia dan humanis muslim yang hebat-hebat seperti Shibawaih, Abdul Abbas al-Mubarrid, Abdul Usman al- Jahid. Semua orang hebat dan jago-jago ini belajarnya dari seorang kiai. Bayangkan. Ini kiai yang suka menangis kalau mendengar nama Rasulullah disebut. Tapi ya nggak terus begitu. Dia juga menguasai ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Contohnya, ya, dia membuat apa itu namanya…..yang disebut al-rud, metrologi. Bukan meteorologi, tapi metro. Metro itu meter untuk menemukan irama dan birama. Itu dalam sastra Arab penting sekali, karena puisi Arab diukur dari potongan-potongan tertentu.
Anda bersedia dipilih sebagai Ketua Umum PBNU itu apakah karena merasa punya beban moril sebagai cucu K.H. Hasyim Asy’ari dan putra K. H. Wahid Hasyim?
Ndak, ndak. Saya merasa berkewajiban meneruskan perjuangan beliau-beliau itu. Tapi saya tidak merasakannya sebagai beban moril gitu lho. Artinya, bisa saja saya meneruskan perjuangan mereka di bidang lain. Bisa saja. Dulu saya ingin jadi novelis, umpamanya. Sebagai novelis saya bisa mengungkapkan aspirasi Islam, mematangkan kehidupan umat Islam. Adik saya arsitek, yang dokter, sama saja. Mereka juga melaksanakannya tanpa beban moril.
Bahwa saya akhirnya berkecimpung di NU dan mencapai jenjang yang seperti ini, sebenarnya begini. Saya ini pulang dari Timur Tengah langsung terdera oleh kehidupan pesantren. Saya melihat kok mereka masih serba terbelakang, Iha nanti ‘kan semakin terbelakang. Jadi, saya mulai berusaha bagaimana caranya supaya pesantren ini masuk alur umum kehidupan bangsa. Program pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren, misalnya. Jadi, pesantren kita kaitkan dengan community development, pembangunan masyarakat desa terutama.
Nah, itu semua yang membawa saya kepada NU. Supaya kalau kita bicara pesantren, ya kita bicara pesantren, ya kita bicara NU, gitu lho. Nah, jadi apa ya, begitu saya masuk langsung kesedot. Kesedot karena memang kebutuhannya sama. Di NU juga terasa kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar Jadi, ya, sudahlah saya terima panggilan itu. Sebagai tantangan. Apakah saya akan mampu menandingi prestasi beliau-beliau itu bagi NU, saya harus punya percaya diri yang penuh. Tapi jangan memakai ukuran lama. Ukuran lama adalah ukuran keulamaan tradisional itu, ‘kan? Kalau saya, ukurannya membawa NU ke dunia modern. Ini harus diakui dan diterima, perbedaan ukuran ini. Nah, kalau ini sudah jelas, baru bisa diketahui apakah saya bisa mengulang prestasi sesepuh saya.
Sebelum terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, Anda pernah merencanakan membikin organisasi non-pemerintah sebagai alternatif terhadap ketiga kekuatan sosial politik. Bagaimana rencana itu sekarang?
Alternatif yang saya maksud itu ialah menghimpun kekuatan di masyarakat yang bisa berperan dalam pembangunan. Jangan dikacaukan dengan peranan lembaga politik. Untuk itu sudah ada lembaganya. Ketiga kontestan pemilu itu ‘kan kekuatan politik. Tambah lagi ABRI.
Jadi, yang saya maksud itu ialah semacam LSM, lembaga swadaya masyarakat. ‘Kan nggak wajar kalau LSM bersaing dengan mereka. Itu namanya mimpi di siang bolong. Tetapi, LSM di dalam kiprah pembangunan membuktikan beberapa hal yang tidak akan bisa diperbuat oleh yang empat itu. Pertama, integritas moral. Lembaga politik banyak yang belepotan dengan segala macam korupsi. Jadi dengan modal integritas, LSM merupakan modal berharga bagi bangsa. Ini ‘kan suatu alternatif.
Saya selalu bilang kekuatan sosial politik sekarang belum pernah menunjukkan kerja nyata dalam pembangunan. Lalu dijawab oleh tokoh-tokoh, ada yang dari Golkar, ada yang PPP. Lho banyak yang sudah kami lakukan, selama ini sudah berapa pasal UU yang kami hasilkan. Menurut saya, pembangunan itu bukan sekadar membuat undang-undang. Kalau Cuma undang-undang semua orang tahu rancangannya ‘kan disusun oleh tim di Departemen Kehakiman. Dari Kehakiman, dari departemen lain, DPR ‘kan tinggal bilang ya, ya, ya. Sama sekali tidak pernah diperdebatkan secara sungguh-sungguh, secara mendalam.
Sementara itu, LSM berani melakukan rintisan-rintisan. Melalui trial and error LSM bisa bertindak lebih inovatif. Hal inilah yang merupakan faktor kedua, yang membuat LSM suatu alternatif yang potensial bagi pembagunan.
***
Rumah di jalan Sagu II/2, Pasar Minggu, kediaman keluarga Abdurrahman Wahid itu, mereka kontrak untuk setahun. “Berhubung pesantren belum dibangun, jadi rumah kami pun belum dibangun,” cerita Ny Nuriah. Dalam rumah seluas 200 m2 berkamar tiga itu, keluarga Abdurahman Wahid tinggal bersama anak-anak mereka, serta empat belas orang anak lain yang di-“titip”-kan kepada keluarga itu. Tampaknya kehidupan pesantren masih berlaku di situ. Untuk menampung anak-anak titipan tadi, di buat kamar kamar tambahan di halaman belakang.
Kenyataan bahwa keluarga ini masih berdiam dalam rumah yang dikontrak sempat menimbulkan komentar-komentar yang menyakitkan hati bagi mereka. “Nggak punya rumah, mau jadi ketua. Mau dibawa ke mana NU, apa mau dibawa ke kolong jembatan?” keluh Ny. Nuriah mengulangi sindiran yang pernah di dengarnya. Betapapun juga, di situlah Abdurrahman Wahid menerima tamu-tamunya, sejak lepas Subuh. Dan tamu-tamu itu datang dari berbagai kalangan, mulai dari peneliti, umat NU, mahasiswa, sampai dengan para “fans”, baik dari dalam maupun luar negeri.
Di ruang tamu yang tidak terlalu luas itu terdapat seperangkat kursi berwarna lembut. Pada satu dindingnya tergantung beberapa lukisan yang dikelompokan menjadi satu, semuanya lukisan kaligrafi. Selama kami berkunjung, dua orang putri terkecil mereka bermain-main di lantai, sebentar-sebentar bertanya ini-itu kepada ibu mereka dengan bebas. Si bungsu asyik bermain-main sambil menyesap dot botol susunya yang dibawa ke mana-mana.
Menikah sejak tahun 1968, keluarga Abdurrahman Wahid dikarunia empat orang anak, semuanya perempuan “Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lisa) 14 tahun, Zannuba Arfah Chafsof (Yenny) 12 tahun, Anita Hayatunnufus, 9 tahun, dan si bungsu, Inayah Wulandari, 4 tahun.
Kalau Anda menengok ke belakang, siapa saja yang Anda anggap berjasa membentuk Abdurrahman Wahid yang sekarang ini?
Ya, ibu saya dong. Ini bukan “oedipus complex”, lho ya. Saya ditinggal mati ayah pada umur 12 tahun. Kami berenam dibesarkan Ibu saya, dan hasilnya tidak memalukan deh. Ada yang jadi insinyur, ada yang dokter, ada pengusaha berhasil, tokoh masyarakat. Adik saya yang perempuan suaminya pengusaha, dia sendiri mengasuh sekian panti asuahan, sekian home care, lalu pengajian-pengajian. Adik saya itu begitu aktif, sampai lebih sibuk dari suaminya. Nah, hasil didikan itu bukan hanya kelihatan pada diri saya. Kalau semua anaknya berhasil, faktor konstannya ‘kan tentu ibu saya itu.
Apa lagi sudah di tinggal…
Oh, berat kok. Ibu dulu harus jualan beras ke kantor-kantor pemerintah, ke kementerian-kementerian. Jadi, dia ndatengin beras dan Kerawang, terus dia tawar-tawarkan ke koperasi-koperasi pegawai.
Anda anak nomor berapa?
Pertama, waktu di tinggal Ayah, adik saya yang terkecil masih di dalam kandungan empat bulan, Jadi, berat betul. Dan Ibu berhasil membesarkan kami semua, sambil membuat karier sendiri. Beliau jadi anggota DPR itu sudah 28 tahun. Dan itu memang karena permintaan dari daerah. Sekarang pun beliau diminta, tapi ‘kan umurnya sudah 62 tahun. Nanti terlalu capek.
Menurut Anda, rahasia keberhasilan ibu itu apa?
Ada beberapa faktor. Satu, kepandaiannya memanfaatkan waktu dan peluang. Artinya, beliau itu kok ya denger aja ‘gitu lho. Di sana ada yang butuh beras. Lalu ibu masuk. Selain itu, ibu itu efisien sekali. Sampai sekarang. Hanya sekarang ini ada problem, karena beliau punya penyakit jantung. Meskipun begitu maunya sih seperti dulu-dulu saja, ya toh. Jadi bolak-balik kolesterolnya naik, he-he-he. Sekarang ini dia baru pulang dari rumah sakit, operasi.
Lalu yang kedua, saya kira, ya, itu, pandangan realistis terhadap kehidupan. Apa yang bisa dicapai dengan apa yang dimiliki, yang serba sedikit itu, bisa dicapai dengan sebaik-baiknya. Umpamanya adik saya itu dulu sampai tidak sekolah. Dia berhenti dulu, kerja dulu. Kemudian setelah ada kesempatan dan ada dananya, sekolah lagi. Sampai tamat jadi insinyur arsitek. Itu berkat petunjuk ibu saya.
Beliau dulu menasehati begini: Kalau kamu mau kawin, terserah. Tapi saya tidak akan membiayai kamu. Sebab kawin itu berarti mentas, kamu bukan tanggungan saya lagi. Dan adik saya kawin sebelum lulus, dan dia bikin perusahan. Sekarang sudah berkembang, biro arsiteknya memiliki 85 insinyur. Dan omzetnya sekarang sudah sampai 2 milyar. Setelah 16 tahun prei, dia nerusin lagi. Sudah jadi bos, baru dapat gelar insinyur.
Ibu bisa begitu dari mana?
Nah, itu hebatnya. Ibu saya waktu kawin dengan ayah saya, dan punya anak saya ini, ya masih buta huruf.
Apa diajar ayah Anda?
Nggak tahu, ya. Nggak pernah ngomong, sih. Tapi artinya, ibu saya ini open minded ya, dan anu… intensif mengikuti perkembangan. Jadi kalau ditanya spesialisasi ilmunya, ya nggak ada, tapi orang nggak ada yang complain bahwa ibu itu goblok, nggak ngerti urusan mau ikut ngomong. Itu nggak ada. Sebab, kalau dia nggak tahu, memang nggak ngomong. Lebih seneng ndengarin.
Dan anu, ada lagi. Beliau itu correct. Duit lima perak juga ditagih kalau itu utang. Correct, correct. Saya ingat sekali. Termasuk soal keluarga. Sampai segede saya ini, kalau ada berita orang meninggal, ibu selalu pergi. Lalu suruhan orang ke rumah. Pak, Pak Anu meninggal, bapak disuruh ke sana…. ha-ha-ha. Karena Khawatir kalau saya ini he-he-he, nggak ngalayat. Saya pikir, ibu saya itu wanita yang ideal dari segala sudut. Correct itu termasuk dalam hal makanan. Yang ampun-ampun itu orang dapur.
Bagaimana contohnya?
Lho, dibikinin ayam ingkung, hanya kurang satu bumbu, tidak mau makan. Di tinggal.
Perfeksionis betul, ya?
Perfeksionis, Makanya, kalau ada pesta di rumah, wooo, yang nggak diundang tapi nimbrung itu banyak. Karena terkenal di rumah kami itu makanannya enak.
Ooo, ya nggak heran, he-he-he.
Ya, semua kami gemuk-gemuk (sambil menunjukkan pinggangnya). Adik saya, saya. Nah, tapi yang saya lihat sekarang, ibu saya itu sama cucu malah tidak seperti sama kita dulu. Ini ‘kan susah. Namanya bapaknya begini. Jangan sampai nanti, kalau nasib saya nggak untung itu lho. Orang kaya saya ‘kan harus memperhitungkan, waktu-waktu jadi korban keadaan, kalau misalnya saya ditangkap misalnya…
Maka istri saya pinter kerja, waktu dulu ‘kan dia kerja di majalah Zaman. Nah, anak-anak saya itu saya ajarin begitu. Tidak boleh jajan lebih dari uang yang diberikan. Nah, yang ngerusak itu malah ibu saya ini.
Bagaimana?
Kekurangan ibu saya itu kena di cucunya. Pernah anak saya yang kecil, yang umur 4 tahun, kalau sudah dibawa eyangnya, pulang bawa duit lima ribuan. Sialan, ha-ha-ha.
Di samping Ibu, ada dua orang lagi yang mempengaruhi saya. Yang satu, seorang ibu guru bahasa Inggris, tapi dia sudah meninggal. Namanya Ibu Rubi’ah, dia anggota Gerwani. Dialah yang memaksa saya membaca buku-buku. Bener, dipaksa saya. Bayangin, pada usia saya 15, saya harus membaca What is to be done? Dari Lenin, dalam bahasa Inggris lagi. Zaman saya masih kelas I SMEP. Makanya sampai sekarang saya merasa terima kasih sekali. Kalau nggak karena itu, mungkin nggak punya nafsu membaca saya. Dia suruh saya baca buku yang alot-alot, buku-bukunya Pushkin, Captain’s Daughter-nya Turgenev, Andre Gide, La porte Etroite.
Di mana waktu itu?
Di SMEP Gowongan, Yogya. Satu lagi ialah ipar ibu saya. Jadi Pak Lik, suaminya Bu Lik. Ini di pesantren Tambak Beras, Jombang. Umur 19, saya diserahkan kepada beliau. Jadi tamat SMEP, saya dimasukan pesantren, di Magelang. Lalu baru pindah ke Jombang, langsung diserahkan ke Bu Lik. Nah, di sana saya mendapatkan kelembutan hati seorang manusia. Kalau yang tadi ‘kan yang dines–dines. Kalau yang ini hampir kacau balau dunia dibuatnya, saking baik hatinya. Tapi kesannya pada saya sangat mendalam.
Contohnya, ya. Dia itu ‘kan kiai. Ada anak mencuri yang tertangkap. Sudah tiga kali berturut-turut begitu. Menurut peraturan harus diusir, dipulangkan ke rumah orangtuanya. Jadi keamanan lapor; Kiai, anak ini, si Fulan, mencuri lagi. Kita putuskan untuk diusir bagaimana? Terus dijawab: Lha iya, orangtuanya menyerahkan kepada saya supaya jadi pintar. Belum pintar sudah kamu pulangkan, bagaimana pikiran kamu?
Coba, tanggungjawabnya sebagai pengasuh pesantren itu bukan main. Kelihatan sekali. Wajah beliau itu, wajah kasih sayang. Nah, dari beliau itu, dan dari Ibu Rubi’ah tadi. Dia itu yang ngajarin saya baca Trotsky. Dia komunis sih, jadi senang Rusia gitu.
Apakah cita-cita yang Anda tanamkan kepada anak-anak?
Saya menanamkan tanggungjawab. Jadi terserah mereka mau jadi apa. Dari satu segi, anak saya ‘kan perempuan semua. Saya cukup realistis. Kalau saya tanamkan supaya mereka bercita-cita, pertama, ‘kan itu memaksakan kehendakan kepada mereka. Kedua, toh mereka kawin dan nanti harus menyesuaikan diri dengan suami, he-he-he. Jadi udah, saya tekankan rasa tanggung jawab itu saja.
Dan apa itu namanya…… saya ingin memperingatkan kepada orang tua yang ingin anaknya berprestasi. Menurut saya, kita tidak boleh mendera mereka. Biar dia muncul dari kebutuhan mereka sendiri. Karena itu saya santai saja. Kalau saya mengajarkan disiplin, tapi bukan supaya mereka mengejar angka-angka di kelas, misalnya. Umumnya, orangtua kalau anaknya tidak masuk rangking sepuluh, lalu kecewa. Saya nggak ada itu, karena saya dulu pemah nggak naik kelas, kok. Jadi bagi saya itu bukan apa-apa, ha-ha-ha. Dan saya juga biasa-biasa saja, bukan orang yang punya prestasi hebat.
Menginginkan anak laki-laki?
Kalau saya sama saja, anak laki-laki, anak perempuan. Istri saya yang ingin.
Sebagai orang muslim, Anda ‘kan boleh punya istri lebih dari satu?
Begini, ya. Orang sering menafsirkan salah tentang hal itu. Kalau saya menafsirkannya bukan dari masalah istri lebih dari satu saja. Secara sosio historis, di Arab itu laki-laki ‘kan boleh punya isteri berapa saja. Itu dulu ‘kan begitu. Nah, Islam menguranginya menjadi empat. Kalo dipegang spiritnya, kenapa sih Islam menurunkan menjadi empat? Mungkin yang managable waktu itu adalah empat. Nah, sekarang pertanyaan saya, apa adil bisa dipertahankan empat itu? Apakah keadilan bisa betul-betul dijalankan, menggilir harinya, sehingga belanja lahir-batin itu bisa sama. Jadi, dengan tidak bemaksud menggugat-gugat Islam, saya kalau ditanya apa mau kawin empat balik bertanya. Tanya istri kamu, boleh nggak?
Artinya?
Ya, kalau istrinya nggak boleh, ya udah. Sebab, saya yakin nggak ada istri yang mau. Kalau sampai ada yang mau-jangan dipaksa lho ya-pasti ada kelainan. Tetapi sepanjang yang saya paham, tidak ada istri yang mau. Dalam keluarga saya, paman-paman saya nggak ada yang punya pandangan seperti itu.
Pandangan Anda tentang wanita sebenarnya bagaimana sih?
Wanita itu buat saya rahasia, he-he-he.
Istri Anda juga rahasia?
Iya, dong. Siapa bisa menduga perasaan wanita? Tidak akan ada yang bisa.
Ah, menduga perasaan pria juga siapa yang bisa?
Tapi, maksud saya, kalau dengan pria saya masih bisa menduga apa maunya. Nah, kalau wanita, walaupun sudah jadi kawan lama, meskipun sudah jadi istri, masih menimbulkan misteri. Misteri dalam arti selalu ada surprise-surprise, gitu lho. Itu mungkin yang membuat perkawinan malah jadi langgeng. Kalau nggak, barangkali malah bosan ya, ha-ha-ha.
Anda sering mengenakan sarung. Kalau boleh tanya, banyak mana sarungan atau pantalon?
Saya ini susahnya, kalau pantalon itu mesti diukur. Jadi tetap jumlahnya. Nggak kepakai satu, ya bikin lagi satu. Lha, kalau sarung itu saya selalu dikasih orang. Saya nggak pernah beli. Dan hukumnya, kiai itu hukumnya kalau dikasih harus dikasihkan lagi, gitu. Jadi ya, tergantung saja. Kadang-kadang saya dapat lima, saya kasihkan orang dua, jadi punya tiga. Tapi kalau dikasih satu, ya habis. Tapi memang pada umumnya, saya dapat sarung jauh lebih banyak. dari celana, he-he-he.
Kabarnya Anda sudah mulai menyukai pakaian safari.
Ah, saya pakai safari itu ‘kan karena saya ‘natar. Pakaian dinas BP7. Jadi, bukan karena senang. Safari saya dibikinkan BP7, kok, nggak bikin sendiri, ha-ha-ha.
Di balik derai tawa dan kaca matanya yang minus 13 itu, mungkin berpuluh-puluh gagasan sedang melesat bak meteor di angkasa raya. Bisa jadi menjadi sumber penerangan bagi umatnya, bisa juga hilang di balik awan. Wallahu a’lam bissawab.