Karya

Sumber foto: https://www.gramedia.com/best-seller/resensi-novel-bumi-manusia/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dr Umar Wahid adalah seorang Kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jakarta Timur di Pasar Rebo, yang juga sebagai adik kandung saya. Pada suatu siang, Umar Wahid mengantarkan saya pulang ke rumah dari pertemuan dengan Jenderal TNI Wiranto yang enerjik itu. Obrolan di atas mobil milik Drs. Rozy Munir, ternyata sangat menarik. Tulisan ini merupakan rekaman obrolan kami yang sangat menarik itu.

Dalam perjalanan itu Umar Wahid menyambut ungkapan saya. “Saya sangat terkesan oleh Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.” Bagi saya novel itu adalah yang terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Memang, dulu pada tahun 50-an muncul novel indah dari Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung. Kedua novel Pram dan Mochtar Lubis itu, menurut saya, adalah novel terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.

Ternyata adik saya itu juga sependapat. Ia setuju dengan pendapat saya, bukan karena itu ungkapan kakaknya. Tapi, karena kesamaan pendapat dan pandangan. Ia menyatakan ada hal mendasar yang membuatnya menerima penilaian semacam itu. Siapa pun yang mengucapkannya, ungkapan itu sangat menarik baginya, karena mengungkapkan kebenaran tentang novel yang dihasilkan setelah Perang Dunia (PD) II.

“Pendapat itu berpangkal dari sebuah titik, yaitu keduanya memiliki kesamaan yang fundamental. Baik karya Mochtar Lubis maupun Pram itu mengekalkan arti karya. Sekali karya itu dikeluar kan, jadilah ia milik semua orang yang mengikutinya, bukan lagi milik penciptanya. Dengan demikian, sebuah karya memiliki kekebalan yang abadi, di tengah hiruk-pikuk semua karya yang ada di bumi ini”.

Pendapat adik saya ini perlu kita renungkan bersama. Karena di dalamnya terdapat sebuah prinsip abadi yang berlaku untuk semua orang dari segenap bangsa. Artinya, begitu sebuah karya dilontarkan kepada khalayak ramai, maka terlepaslah dari pemiliknya semula, dan menjadi milik semua orang. Mungkin prinsip ini yang dilupakan oleh banyak orang hingga ia mudah tertipu rayuan gombal. Termasuk rayuan mereka yang mengetengahkan keharusan menerapkan hukum agama dalam kehidupan bernegara. Ini pulalah yang membuat mengapa saya menolak gagasan mereka itu.

Kalau gagasan itu diterima, ada pendapat bahwa prinsip tentang karya itu tidak berlaku lagi. Hal itu merupakan prinsip utama dari keabadian, bagaimanapun itu tetap sebuah keabadian yang nisbi Adalah menunjukkan tetap akan ada karya baru dihasilkan yang orang. Ini juga sesuai dengan prinsip atau kaidah yang digunakan untuk merumuskannya, bukan hukumnya.

Hal inilah yang ditekankah oleh keputusan sidang Syuriyah NU dalam salah satu Muktamarnya. Dengan kata lain, antara karya dan proses penciptaannya haruslah dipisahkan. Demikian juga dengan negara, antara prinsip yang mendukung, yaitu yang menyerupai prinsip-prinsip kekayaan dalam bermazhab dan produk hukum yang dihasilkan berupa hukum-hukum nisbi dalam bermazhab, haruslah dipisahkan.

Dari percakapan saya dengan adik saya itu dapat disimpulkan, bahwa sebuah karya tetaplah sebuah karya, betapa pun indah dan langgengnya. Yang lebih penting adalah prinsip-prinsip dan norma-norma yang menghasilkannya. Inilah yang saya percayai dan karenanya saya menolak gagasan negara agama, yang sekarang dipercayai banyak orang. Bukankah kehidupan yang diciptakan Allah Swt. indah untuk kita?