Kaum Intelektual Berganti Kelamin?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
GAMBARAN orang tentang kaum intelektual tidak selalu sama. Dahulu, apalagi di zaman Orde Lama, mereka dianggap makhluk sombong yang tidak mau mengerti selain dunia teori yang mereka kuasai. Begitu terbenamnya mereka dalam kehidupan teoretis, sampai mereka jadi lupa pada hal-hal praktis dalam kehidupan: lupa janji dengan orang lain untuk bertemu, lupa pulpen pinjaman diserahkan kepada orang lain lagi, lupa di mana tas tangan berisi kertas kerja mereka letakkan. Bahkan, ada yang lupa nama anak dan istri, atau ada yang lupa di mana ia berada tatkala duduk-duduk di halaman rumah sendiri dengan anak-istri.
Profil intelek pelupa ini adalah seorang profesor botak yang berada di ruang kerjanya sedang membersihkan pipa rokoknya dari gumpalan abu tembakau dari kepala pipa itu Ketika ia mengetuk-ngetukkan kepala pipa itu kepinggiran meja, ia tertegun mendengar suara ketukan itu, menoleh ke pintu masuk, dan berkata, “Silakan masuk.” Sungguh profil autentik dari jenis makhluk langka yang harus dilindungi dari tipuan, rongrongan, dan serangan manusia yang lebih buas…
Secara politis, kaum intelektual itu dahulu banyak tidak disukai: terlalu teoretis tidak mau terlalu terikat pada suatu ideologi, tidak mau tahu kebutuhan praktis rakyat, dan doa — tak berampun, tidak mau bergaul akrab dengan kelompok-kelompok organisasi massa yang ada.
Bahkan, PSI itu partainya kaum intelektual yang akhirnya dibubarkan almarhum Presiden Soekarno — dirumuskan oleh seorang pengamat luar negeri sebagai partainya orang pintar yang tidak punya anak buah, bagaikan jenderal yang tidak punya prajurit. Aba-aba diberikan, tidak ada yang berbaris. Sedang deretan prajurit di tempat lain berbaris melenggak-lenggok tanpa aba-aba yang jelas.
Perubahan gambaran tentang kelompok ini terjadi karena beberapa hal. Sebagian karena jasa Orde Baru, sebagian karena akibat ekses-eksesnya. Diferensiasi dan pembagian wilayah kerja yang lebih terperinci, dengan adanya pengembangan lebih banyak lagi profesi yang membutuhkan pengetahuan intelektual. membawa mereka pada hubungan yang lebih luas dengan kelompok-kelompok tradisional di masyarakat, bahkan yang paling karismatis sekalipun.
Mereka turut menangani soal-soal praktis yang lebih mudah dimengerti lapisan masyarakat yang lebih luas, terutama di tingkat bawah. Memperbincangkan kelemahan-kelemahan koperasi dengan manager KUD (kapan dengan para petani yang takut dipaksa masuk KUD?), merundingkan dengan pemuka masyarakat di daerah terpencil tentang cara-cara peningkatan gizi, merumuskan cara kerja yang baik di puskesmas setempat.
Bahkan, menteri-menteri intelektual (lucu juga, ada menteri yang tidak intelektual. Lalu, dengan apa mereka memimpin?) ada juga yang turun ke pedesaan: melihat proyek peternakan itik Alabio, mengunjungi pesantren di pelosok kabupaten, atau masuk hutan melihat kerusakan akibat pemberian HPH secara serampangan.
“Ah, bapak intelek mengerti juga persoalan kita,” kata sang kiai pesantren sehabis dikunjungi seorang profesor tua yang berjalan terseok-seok meniti pematang sawah memasuki pesantrennya, tanpa menyadari bahwa apa yang dikembangkan pesantren selama ini sebagai kerja rutin akhirnya dirumuskan sebagai salah satu bentuk intelektualisme tertinggi oleh mereka yang dulunya dianggap hidup di atas menara gading. Kearifan untuk secara teguh bersama rakyat dan, dengan demikian, secara efektif memimpin mereka.
Sebenarnya, tidak ada perubahan dalam fungsi kaum intelektual Mereka tetap pada peranan menyediakan kerangka pemikiran, bukannya langsung terjun ke bawah menjadi tenaga lapangan. Itu urusannya bapak pendeta, kiai, dan penyuluh pertanian, dan sebagainya. Mereka tetap tidak mau dikungkung oleh sempitnya pandangan yang diakibatkan oleh keterikatan pada sebuah ideologi formal. Mereka tetap ingin mengemukakan pendapat secara apa adanya selama belum berkhianat pada intelektualitas mereka sendiri.
Justru kejujuran sikap itulah yang membawa mereka pada upaya memahami kebutuhan dan jalan pikiran orang lapangan di bawah. Keterbukaan mereka jugalah yang akhimya membawa pada pendekatan faktual dan penanganan multidisipliner atas masalah-masalah dasar yang dihadapi kehidupan bangsa. Logika mereka jugalah yang menyadarkan mereka bahwa penanganan masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan berhubungan erat dengan keyakinan agama dan institusi kerakyatan yang berskala massal.
Sikap dasar kaum intelektual masih tetap sama dan mereka tak lagi berhak disebut intelek kalau telah mengubah sikap dasar itu sendiri. Pendekatan yang mereka lakukanlah yang berubah, yang membuat mereka tetap disebut demikian manakala dilakukan dengan ketulusan.
Kalau demikian, benarkah kaum intelektual telah berubah kelamin? Tidak, kalau dilihat dari sikap dasarnya. Mereka hanya lebih dewasa dan bijak. Kalau perubahan pendekatan dianggap perubahan kelamin juga, mengapakah tidak pula dianggap berubah kelamin kelompok tradisional yang mau menerima kehadiran kaum intelektual itu di tengah mereka? Dan, bukankah begitu pula halnya dengan mereka yang ketakutan terhadap pendekatan (rapprochement) itu sendiri? Asal jangan berubah kelamin menjadi wadam saja!