Kaum Muslimin dan Cita-Cita
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Soal cita-cita kaum muslimin, tentu saja harus dipresentasikan dengan mendalam. Ini sesuai dengan kenyataan, bahwa kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok besar. Ada kaum muslimin yang menjadi gerakan Islam, ada pula yang hanya ingin menjadi warga negara tempat mereka hidup, tanpa menjadi warga gerakan apa pun di dalamnya. Dalam hal ini sudah tentu harus dikecualikan gerakan yang menyangkut seluruh warga negara, seperti gerakan Pramuka yang menggantikan gerakan kepanduan di masa lampau dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengecualian ini dilakukan dengan kesadaran penuh karena ia menyangkut kehidupan seluruh warga bangsa, dan dengan demikian tidak memiliki “warna ideologis apa pun”.
Sedangkan jenis lainnya adalah kaum muslimin warga gerakan-gerakan Islam, apa pun wujud dan bentuknya. Ada yang hanya bersifat lokal belaka, nasional, dan ada yang bersifat internasional. Yang terakhir ini dapat dilihat pada pembubaran Laskar Jihad di Saudi Arabia yang secara otomatis berarti pula pembubaran perkumpulan yang bernama Laskar Jihad [1] di Indonesia. Juga dapat dilihat pada pembentukan Nahdlatul Ulama (NU) di beberapa kawasan mancanegara, ataupun pembentukan Ikhwanul Muslimin di sejumlah negara Timur Tengah. Karena sifatnya yang sangat heterogen, jelas tidak ada satu pihak pun yang dapat mengajukan klaim sebagai “perwakilan Islam” di mana pun. Karena itu pula lembaga-lembaga keagamaan Islam, tidak dapat bersatu dalam sebuah kesatuan dengan memiliki otoritas penuh. Lembaga yang mencoba mewakili ulama atau kaum muslimin dengan klaim seperti itu, dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI), hanya menjadi salah sebuah di antara organisasi-organisasi Islam yang ada. Lembaga ini tidak memiliki supremasi, seperti yang ada dalam agama-agama lain, seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan-persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) atau Parisada Hindu Dharma. Tetapi, MUI harus berbagi tempat dengan NU, Muhammadiyah dan lain-lain. Karenanya, hanya hal-hal yang disepakati bersama oleh sekian banyak perkumpulan itu, yang dapat dianggap sebagai nilai-nilai yang diterima umat.
Ketika Rois Syuriyah NU cabang Pasuruan menyatakan “pengeboran Inul“ bertentangan dengan ketentuan agama Islam, disusul dengan fatwa MUI daerah itu, timbul reaksi di kalangan para warga negara republik kita. Untuk apa kedua lembaga itu “mengurus Inul” sejauh itu? Apalagi ketika H. Rhoma Irama menyatakan Inul tidak boleh membawa lagu ciptaan beliau, kalangan muda santri menertawakannya sebagai “tindakan ketinggalan jaman”. Karena memang, orang seperti Inul tidak cocok membawakan lagu-lagu beliau. Dalam hal ini, masyarakat mengembangkan pandangan mereka sendiri. Ketika ditanya dalam wawancara TV, Inul menyatakan, ia “mengebor” untuk mencari makan. Ia tidak menutup-nutupinya dengan berbagai istilah “keren” seperti memajukan seni dan sebagainya, melainkan secara berterus-terang ia mengatakan mencari makan. Kejujuran ucapan seperti ini, sangat bertentangan dengan sikap palsu gaya “sok untuk kepentingan bangsa” yang diperlihatkan kebanyakan tokoh-tokoh politik kita. Padahal itu untuk menutupi ambisi pribadi masing-masing. Mungkin inilah maksud pepatah “katakan apa yang benar, walaupun pahit (qul al-haqqa walau kana murran)”.
Karenanya tidak heran, jika pendapat atau kritikan berbagai macam pihak terhadap Inul, tidak memperoleh respons yang berarti dari kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, pendapat mereka itu akhirnya memiliki pengaruh sangat terbatas, bahkan banyak badan-badan penyiaran yang tidak mendukung. Bahkan ancaman H. Rhoma Irama untuk menggerakkan sejumlah organisasi ekstrem Islam melawan Inul, dalam pandangan penulis merupakan sesuatu yang sudah keterlaluan (over acting), yang mengancam keselamatan hidup kita sebagai bangsa. Apa bedanya ancaman itu dengan tindakan Front Pembela Islam (FPI) yang menyerbu rumah-rumah makan (Coffe House) di Kemang, Jakarta Selatan beberapa tahun lalu.
Kita harus mengubah moralitas masyarakat dengan sabar, agar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang kita yakini kebenarannya, dengan memberikan contoh yang baik sebagai wahana utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Hal ini yang tampaknya sering tidak disadari beberapa tokoh Islam maupun beberapa perkumpulan kaum muslimin. Masyarakat kita sekarang ini memiliki kemajemukan sangat tinggi, kalau kita tidak menyadari hal ini, kita akan mudah marah dan bersikap “memaksakan” kehendak kepada masyarakat.
Cara itu membutuhkan sikap serba resmi (formalisme) yang belum tentu disepakati semua pihak. Mengapa? Karena ini dapat menjurus kepada “terorisme moralitas”, dengan akibat yang sama seperti peledakan bom di Bali, di Medan maupun di lapangan terbang Cengkareng. Pelakunya harus dicari sampai dapat dan harus diganjar hukuman sangat berat, karena bersifat merusak dan mengacaukan keadaan secara umum. Tentu saja kita tidak ingin tuduhan ini terjadi pada tokoh-tokoh yang kita kagumi seperti H. Rhoma Irama.
Karena itu dalam pandangan penulis, perlu diperhatikan bahwa cita-cita kaum muslimin dibagi dua, yaitu antara keinginan kaum muslim yang tidak memasuki perkumpulan gerakan Islam mana pun, dan cita-cita para warga gerakan Islam. Tanpa adanya perhatian terhadap perbedaan ini, maka apa yang kita anggap penting, tidak begitu diperhatikan oleh kaum muslim yang lain. Akibatnya kita akan kehilangan hubungan. Berlakulah dalam hal ini adagium ushûl fiqh (teori hukum Islam atau Islamic legal theory), yang berbunyi “yuthalaqu al-âm wa yurâdû bihi al-khâs (hal umum yang disebut, hal khusus yang dimaksud).” Kita harus hati-hati dan sadar sepenuhnya dengan apa yang kita ucapkan, agar kita memperoleh setepatnya apa yang kita inginkan. Memang ini melelahkan, tapi inilah konsekuensi dari apa yang kita upayakan selama ini.
Dengan demikian, keputusan para pendiri negeri ini untuk tidak mendirikan sebuah negara agama adalah keputusan yang berakibat jauh. Hal ini harus kita sadari konsekuensinya. Karena ada pemisahan agama dari negara, maka hukum yang berlaku bukanlah hukum Islam, tetapi hukum nasional yang belum tentu sama dengan keyakinan kita.
Artinya, dasar dari pembentukan hukum itu adalah tata cara yang kita gunakan bersama sehari-hari sebagai bangsa atau yang bukan berdasarkan suatu agama, yang memperoleh materi hukumnya dari wahyu yang dikeluarkan Tuhan. Selama berabad-abad ini, kaum muslimin melakukan penafsiran kembali (reinterpretasi) wahyu Tuhan itu, sebagai acuan moral dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun ada juga yang kemudian menjadi materi hukum nasional kita dan ada yang menjadi moralitas bangsa (setidak-tidaknya moralitas kaum muslimin).
Daripada memperjuangkan ajaran-ajaran Islam menjadi hukum formal, lebih berat memperjuangkan moralitas bangsa. Tapi ini adalah konsekuensi terjauh dari pandangan kita untuk memisahkan agama dari negara. Mudah kedengarannya, tapi sulit dilaksanakan, bukan?
Catatan kaki:
[1] Laskar Jihad adalah organisasi milisi Islam yang didirikan oleh Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) pimpinan H. Ja’far Umar Thalib pada tanggal 14 Februari 1998. Banyak mengirimkan pasukan ke Ambon ketika di sana terjadi konflik berdarah. Tetapi kemudian Laskar Jihad dibubarkan pada 7 Oktober 2002.