Kisah Sebuah Pertentangan Lama

Sumber Foto: https://money.kompas.com/read/2019/04/09/191314826/siapa-yang-merasakan-dampak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

DALAM opininya dengan judul ‘Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya’ yang dimuat Kompas (29/10/2004), Prof Dr Mubyarto, Guru Besar Ekonomi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, mengemukakan sebuah ungkapan yang selalu diulang-ulang oleh para ahli ekonomi. Menurut Mubyarto, pemerintahan Orde Baru membuat dua buah kesalahan utama dalam pengembangan ekonomi kita selama puluhan tahun. Intinya pertama, pengembangan ekonomi didasarkan pada kepentingan usaha-usaha besar. Kedua, yang dikejar terutama adalah angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Mubyarto mengaitkan kedua hal itu, padahal dalam kenyataan belum tentu demikian. Angka pertumbuhan ekonomi, sebenarnya menunjukkan penggunaan segala sumber ekonomi untuk kepentingan pengelolaan modal, tenaga kerja dan teknologi, dengan pengelolaan oleh pemimpin manajerial yang tidak mau tahu dengan ‘korban rakyat kecil.’ Tapi di negeri-negeri yang menekankan angka pertumbuhan ekonomi, dapat saja terjadi adanya orientasi ‘pembangunan kembar’.

Pembangunan seperti itu, baik sektor usaha kecil dan menengah (UKM), yang oleh Mubyarto disebut sebagai (sektor ekonomi kerakyataan) dan usaha besar (yang oleh sejararawan ekonomi Belanda JH Boeke disebut sebagai sektor formal). Kedua-duanya dapat berkembang pada saat yang bersamaan seperti terjadi di Amerika Serikat di paruh kedua abad ke-19. Pertumbuhan UKM dirangsang oleh Undang-Undang Penguasaan Tanah (Home Stead Act). Maka timbullah pengusaha pertanian yang merupakan tulang punggung UKM. Dengan memiliki modal tanah, yang diakui dan dilindungi oleh negara, UKM dapat menggunakan tanah mereka sebagai agunan bagi kredit-kredit murah yang diperlukan untuk mengembangkan usaha mereka. Hal inilah yang tidak ada dalam pengembangan ekonomi kita selama ini, dan akibatnya muncul pendapat yang disebutkan di atas.

Jadi, antara kebijakan yang memberikan peluang luas kepada usaha-usaha besar untuk ‘memajukan ekonomi nasional’ dan kelalaian memperhitungkan UKM, seolah-olah terdapat hubungan kausalitas. Karena itulah, para ahli ekonomi seperti Mubyarto sangat mudah tergelincir kepada cara pandang seperti itu. Padahal, kalau kita mengenal ekonomi negeri-negeri lain, akan tampak bahwa hubungan kausalitas seperti itu tidak ada. Sehingga tidak dapat kehadiran sebuah kebijakan diartikan sebagai kelangkaan kebijakan yang lain. Pemberian kemudahan kepada usaha-usaha besar, belum tentu ‘harus diikuti oleh kebijakan melalaikan pengembangan UKM. Bahwa hal itu terjadi dalam kenyataan, adalah akibat kelalaian pembuat keputusan, bukanya karena hubungan kausalitas seperti itu. Karenanya, kita harus menghindarkan diri dari ‘kelatahan’ itu, yang sering terjadi karena tidak sengaja.

Tidak sehat untuk secara mudah mengemukakan penyebab gagalnya sebuah sektor akibat kelalaian di sektor lain. Pengalaman di negeri Belanda yang sekaligus memberikan peluang bagi usaha-usaha besar untuk maju, seperti Amro Bank, dan juga memberikan peluang kesempatan kepada UKM untuk berkembang pesat (seperti terhadap Raiffeisen Bank dan Boerenleenbanken) akhirnya berujung pada penciptaan (Rabo Bank) yang menjadi 20 besar bank di dunia saat ini.

Dengan kata lain, terjadi perpindahan lintas sektor antara usaha-usaha besar dan UKM. Perpindahan lintas sektor seperti itu, dimungkinkan karena adanya kemajuan yang sama-sama pesat antara kedua perekonomian itu. Itulah juga yang sekarang terjadi di Republik Rakyat Tiongkok, yang kita kagumi tetapi tidak kita pahami.

Dalam hidup perekonomian terutama dalam sektor perbankan, kita harus berhati-hati dalam menentukan sikap. Sikap berhati-hati ditunjukkan Sakakibara dan Koruda yang berturut menjadi wakil Jepang dalam IMF untuk mempertahankan nilai tinggi bagi mata uang Jepang Yen (sehingga dikenal sebagai Mr Yen), tentu dapat kita terapkan dengan baik dari pada keluar dari IMF, kita akan mencapai hasil lebih besar jika tetap berada di lingkungan IMF. Tadinya, penulis beranggapan Rizal Ramli juga berpandangan seperti yang dikemukakan Kwik Kian Gie (bekas Ketua Bapenas), namun belakangan penulis tahu bahwa Rizal Ramli justru menghendaki kita tetap berada di lingkungan IMF, namun menolak pendiktean oleh lembaga itu atas diri kita. Kita memang pernah ‘mengalami nasib sial’, ketika harus menerima pil pahit berupa Letter of Intent dari

IMF beberapa tahun yang lalu. Tetapi itu adalah sesuatu yang sudah lewat, dan nantinya akan diungkapkan oleh sejarah sebagai kerugian atau keuntungan kita. Yang terpenting, kita berjalan ke depan dengan acuan yang baru: orientasi yang benar-benar dilaksanakan untuk memberikan kredit murah dalam jumlah besar (katakanlah 100 miliar dolar AS) kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Kalau ini dapat kita lakukan, sedangkan pada saat yang bersamaan kita biarkan usaha-usaha di negeri ini maju dengan pesat, maka akan terjadi sesuatu yang baru.

Kita adalah bangsa dengan sumber-sumber alam yang sangat besar, terutama dalam produk-produk hutan, hasil-hasil pertambangan dari kekayaan laut. Walaupun sumber-sumber alam pertama dan kedua diporak-porandakan oleh pemerintahan Orde Baru, namun para ahli berpendapat dalam masa 5-10 tahun yang akan datang kita sudah melakukan perbaikan yang memungkinkan kita maju pesat dalam perekonomian sementara itu, kita harus mencukupkan diri pada saat ini, dengan mengelola kekayaan laut kita. Karenanya penulis berkeyakinan kedua sektor itu, yaitu usaha besar dan UKM akan dapat didorong untuk sama-sama maju dengan pesat di kemudian hari. Untuk itu, kita hindari mempertentangkan keduanya. Hal itu juga harus diikuti dengan upaya menambah wajib pajak. Di masa depan (katakanlah lima tahun) wajib pajak kita harus menjadi 20 juta orang, sedangkan Biro Pusat Statistik merumuskan 40 juta orang, dengan masing-masing wajib pajak dikenakan jumlah pajak lebih kecil. Jika ini dapat dilakukan, pemerintah pusat hanya akan bersandar kepada pajak bagi pemasukan dan pengeluarannya. Ini berarti, ketergantungan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan hilang, dan perekonomian dapat di tata lebih baik (kalau perlu dengan menyerahkan BUMN kepada pemerintah daerah, menjadi BUMD).

Demikian juga, kita memerlukan dua hal penting sekaligus. Pertama, perlu adanya kebijakan dasar di bidang transportasi publik. Kedua, kita tidak jelas menggunakan konsep apa dalam memberantas KKN. Bagi penulis harus ada dasar untuk itu. Umpamanya, penulis menganggap KKN merajalela karena rendahnya pendapatan PNS, militer/keamanan, dan kaum pensiunan/purnawirawan. Ini tentu mengharuskan kita untuk menaikkan pendapatan mereka itu, katakanlah 10 kali lipat pendapatan saat ini dalam waktu tiga tahun yang akan datang. Ini berarti keharusan menerapkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada. dengan konsekuen. Dan, ini adalah proses membenahi diri sebagai bangsa yang besar, bukan?