Kisah Tiga Berita: ABRI dan Islam dalam Dialog Politik
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Berita adalah fakta, dalam arti kejadian yang dilaporkan secara apa adanya oleh sang pelapor. Sebaliknya, kisah adalah sesuatu yang tidak terjadi dalam kenyataan. Namun, sering juga terjadi bahwa pemberitaan dilakukan begitu rupa, sehingga yang dimengerti oleh pendengar atau pembaca berita menjadi sangat jauh dari yang terjadi sebenarnya. Dalam hal ini, medium penyampai berita memikul tanggung jawab besar, agar jangan sampai pemberitaan yang dilakukannya menyimpang dari kenyataan. Jika terlalu banyak hal itu dilakukan, baik karena kelalaian maupun kesengajaan, kredibilitas medium itu sendirilah yang akan menjadi taruhan.
Walaupun dilakukan hanya sekali oleh sebuah medium, kadang-kadang serangkaian pemberitaan yang berbeda tentang seorang objek berita, dilakukan oleh media pers yang berbeda, dapat juga berakibat serius. Hal itu dilakukan oleh beberapa media pers kita dua mingguan yang lalu, kebetulan terjadi atas diri penulis sendiri. Kasus itu ditampilkan di sini, untuk melihat bagaimana rangkaian pemberitaan terlalu pendek atau yang diringkas dan dipadatkan, dapat menimbulkan pengertian yang berlainan dari kenyataan. Dengan kata lain, berita yang ditampilkan secara tidak utuh, akhirnya justru berubah menjadi kisah, alias cerita yang tidak menggambarkan kenyataan sebenarnya.
Sewaktu menghadiri konferensi “Trend Kontemporer Islam di Indonesia” di Universitas Monash pertengahan bulan lalu, penulis berbicara juga dalam sesi mengenai Islam dalam masa Orde Baru. Penulis mengemukakan, ada dua perkembangan menarik terjadi dalam kekuatan politik Islam selama dua puluh tahun terakhir ini. Di satu pihak, kekuatan politik formal Islam terkikis habis oleh upaya “dealiranisasi” yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Untuk menghindari ancaman terhadap kesatuan dan persatuan bangsa, “politik aliran” dari tahun-tahun lima puluhan dan enam puluhan dikikis secara berangsur-angsur. Dimulai dengan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri dalam Pemilu 1971, diteruskan dengan penyederhanaan sistem kepartaian di tahun 1973, dan disudahi dengan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan (ormas).
Pada saat yang sama, program pembangunan Orde Baru membuat pemerintah harus mendekati ulama dan para pemimpin Islam, minimal di tingkat lokal, untuk memperoleh legitimitas bagi pelaksanaan program-program yang ditawarkan kepada rakyat. Orang semacam K.H. M. Yusuf Hasyim mengalami dua perlakuan berbeda dari pihak pemerintah. Pada tingkat nasional, ia berhadapan dengan pemerintah selama satu dasawarsa, yaitu tahun-tahun 70-an. Pada tingkat lokal, pesantren Tebuireng yang dipimpinnya selalu didatangi para pejabat.
Hasil dari perkembangan berbalikan seperti itu adalah terpeliharanya kekuatan politik golongan Islam. Secara formal, kekuatan politik Islam sudah tidak ada lagi. Akan tetapi, secara informal kekuatan itu masih tersimpan dalam sejumlah perangkat, antara lain “wibawa golongan”. Tetap besarnya pengaruh lembaga keagamaan (seperti pesantren dan gerakan tarekat) dan meluasnya kegiatan organisasi keagamaan formal (seperti Muhammadiyah dan NU), membuktikan bahwa kekuatan politik golongan Islam masih terus diperhitungkan.
***
Penulis mengajukan sebuah pandangan, bahwa dua kekuatan politik terbesar, yaitu ABRI dan golongan Islam, muncul ke permukaan. Karenanya, kedua kekuatan itu harus bersama-sama menetapkan parameter baru dialog politik bangsa kita, guna memungkinkan terjadinya perkembangan politik menuju pemerintahan yang lebih demokratis, tetapi tanpa mengganggu kesatuan dan persatuan yang telah tercapai saat ini. Namun, sebuah koran di Surabaya dalam pemberitaan atas sesi di atas hanya mencukupkan diri dengan munculnya Islam dan ABRI sebagai kekuatan politik terbesar dewasa ini. Kesannya tentu lain, bahwa keduanya terkait dalam pola berhadapan, bukannya dalam situasi dialogis. Bukankah ini bukti bahwa pemberitaan dapat menampilkan kisah? Sementara esensi dari materi berita yang seharusnya diberitakan, lalu hilang begitu saja.
Sebuah majalah mingguan berita menyusul dengan liputan wawancara penulis. Jelas disebutkan sebagai kelanjutan dari konferensi di Universitas Monash itu. Ada dua hal pokok ditampilkan dalam liputan wawancara itu. Pertama, bahwa yang dinamakan umat Islam masih lebih mementingkan simbol-simbol capaian politis daripada substansinya. Kedua, seharusnya dimulai pemahaman bahwa demokrasi memiliki tuntutannya sendiri atas umat Islam.
Pokok pertama menampilkan “hasil simbolik”, yang penulis anggap sebagai “memuaskan hati umat Islam”, yang adanya peradilan agama dan pelajaran bahasa Arab di layar televisi. Orang memang puas dengan terlembagakannya peradilan agama, namun lupa, masih banyak hal yang belum terselesaikan sebagai masalah susulan.
Adakah hak bagi hakim nonmuslim untuk mengadili perkara di sebuah pengadilan agama? Kalau tidak, bukankah akan muncul problem konstitusional dalam jangka panjang, bahwa justru lembaga peradilannya sendiri tidak adil?
Begitu juga pengajaran bahasa Arab lewat layar televisi, sebenarnya tidak memiliki arti substansi apa- apa. Pelajaran bahasa Inggris yang diberikan selama ini juga demikian, kecuali kalau diberikan tiap hari dalam dosis tinggi, baru punya arti cukup yang bersifat substansial bagi pemirsanya.
Namun, masalah konstitusional dari pengadilan agama dan kurangnya arti substansial pengajaran bahasa Arab lewat televisi, tidak muncul dalam liputan itu. Yang muncul jadinya adalah penolakan penulis atas kedua hal itu, yang sama sekali berbeda dari maksud penulis. Demikian juga, orang Islam harus siap mendiskusikan boleh tidaknya seorang calon pemimpin negara dari kalangan nonmuslim.
Yang ingin penulis sampaikan, termasuk melalui kolom ini, hendaknya kaum muslimin jangan mudah menampilkan isu demokratisasi. Isu tersebut berarti mereka dihadapkan kepada tuntutan mutlak dari demokrasi itu sendiri: persamaan hak warga negarà di muka undang-undang, tanpa kecuali. Siapakah kaum muslimin dengan konsekuensi seperti itu? Kalau tidak siap, sebaiknya memang jangan turut menampilkan isu demokratisasi, agar tidak menimbulkan harapan terlalu besar bagi orang lain.
Dalam konteks seperti itu, masalah pencalonan seorang nonmuslim untuk jabatan tertinggi kenegaraan kita, hanyalah salah satu sisinya belaka. Liputan majalah itu justru menampilkan sesisi itu, dan kehilangan esensi masalahnya: layakkah kaum muslimin berbicara tentang demokrasi, kalau mereka sendiri tidak demokratis?
Berita ketiga, yang berujung pada kisah, muncul di sebuah harian terbitan Jakarta. Dengan penampilan berita secara mencolok disebutkan bahwa penulis menganggap tidak ada calon lain untuk jabatan kepresidenan dalam SU MPR 1993, kecuali Pak Harto. Tentu timbul pertanyaan, mengapa pagi-pagi hari penulis sudah seperti “orang kalap”, menjagokan beliau? Padahal penulis sendiri pernah menyatakan, tidak setuju dengan main dukung-dukungan?
Sebenarnya, penulis mengemukakan masalah itu dalam konteks menjawab pertanyaan, demokratis tidaknya proses pemilihan jabatan presiden nanti. Penulis melihat, sejauh ini belum muncul calon lain, selain nama Pak Harto. Dua orang calon terkuat, ternyata masing-masing dihadapkan kepada masalah dukungan yang harus diperoleh dari dua kekuatan politik terbesar di negeri ini pada saat sekarang: ABRI dan gerakan Islam. Secara teoretik, kalau keduanya (atau salah satu dari mereka) tidak mampu memecahkan masalah itu, tentu tidak ada calon lain selain Pak Harto.
Masalahnya, demokratiskah proses yang dilalui, jika demikian halnya yang terjadi? Secara teoretik, sudah tentu tidak demokratis karena hanya akan ada calon tunggal untuk jabatan sepenting itu. Namun, dalam kenyataan tidak semudah itu dapat kita rumuskan. Saat ini tidak ada calon berbobot dari Partai Demokrat di Amerika Serikat, yang bersedia menghadapi George Bush dalam pemilu presiden tahun depan. Mereka takut terbantai oleh popularitas Bush saat ini, karenanya lebih baik menunggu peluang mereka dalam Pemilu 1996.
Dapatkah kasus Indonesia dan kasus Amerika Serikat disejajarkan secara sederhana, dan dianggap kedua-duanya masih demokratik? Atau sebaliknya, kedua-duanya tidak demoratik?
Masalah serumit seperti menilai sebuah proses politik, seperti kasus calon presiden kita untuk SU MPR 1993, ditampilkan sebagai pendidikan politik untuk kita. Yang muncul dalam pemberitaan koran itu justru lain sama sekali; seolah-olah penulis mengajukan calonnya sendiri, kebetulan bernama Soeharto. Berita itu memunculkan kesan, katakanlah kisah, bahwa penulis bermain pengamat belaka. Atau, paling jauh, hanya ingin mengembangkan budaya politik yang demokratis.
Jelas, dari ketiga pemberitaan itu, pers kita masih memerlukan perbaikan cukup mendasar, minimal dalam pengembangan kemampuan menangkap masalah secara esensial. Betapapun hebatnya seorang wartawan, kalau tidak memiliki kemampuan seperti itu, tidak akan dapat mendewasakan kehidupan masyarakat. Padahal, itulah salah satu sasaran yang harus dicapai oleh pers yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsanya. Demikian pula, sebuah medium pers harus mampu menjadikan penangkapan esensi masalah sebagai bagian inheren dari kehidupan sehari-hari para wartawannya, kalau sasaran di atas ingin dicapai.