Kita dan Pemboman atas Irak
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada umumnya, kita mengikuti salah satu dari dua pandangan berikut. Pendapat pertama adalah, kita memandang kemungkinan pemboman atas Irak oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sebagai sebuah bagian dari rencana jahat untuk menyerang Irak dan mengganti presidennya, Saddam Hussein. Dilanjutkan dengan pandangan bahwa rencana itu adalah bagian dari Konspirasi Zionisme yang dipelopori Israel.
Kita boleh setuju atau tidak dengan pandangan ini, namun penulis menolak teori komplotan/konspirasi seperti itu. Tetapi bagaimanapun pendapat seperti itu ada dan diikuti banyak orang. Karenanya, pendapat seperti itu harus diakui keberadaannya dan untuk itulah diciptakan sebuah disiplin ilmiah yang bernama studi kawasan, yang berjalan seiring dengan teori-teori geopolitik dalam kajian internasional yang berkembang saat ini.
Sebaliknya, ada pihak lain yang memandang Irak di bawah pimpinan Presiden Saddam Hussein sebagai biang kerok tindakan-tindakan teror internasional, karena itu diperlukan pemboman ke Irak, untuk menggulingkan presiden tersebut dari jabatanya. Pemboman itu harus dilakukan secara masif, walaupun memakan korban sangat banyak dari penduduk Irak, belum lagi rusaknya kota-kota besar di Irak sebagai akibatnya, yang kesemuanya tidak dapat dinilai kerugiannya.
Tindakan itu, dalam pandangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya haruslah dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan dunia dari terorisme. Kalau ini tidak dilakukan, terorisme internasional akan berlanjut, dan kehidupan di negara-negara tersebut akan sangat terganggu. Karenanya walaupun menimbulkan banyak korban, langkah itu harus tetap diambil untuk perdamaian dunia.
Memang, kedua hal yang saling bertentangan itu terwujud dalam kenyataan, dan kita tidak dapat menutup mata akan keadaan ini. Berarti, kita harus mengambil sikap: membenarkan atau menolak tindakan pemboman atas Irak itu. Memang, ini pilihan yang sangat sulit, tetapi bagaimanapun juga pilihan harus dilakukan. Pandangan kita harus dirumuskan. Keengganan, ketakutan ataupun emosi kita hanya akan memperpanjang soal itu. Belum lagi akan munculnya sikap pihak-pihak lain terhadap pendirian kita itu. Karenanya, sebaiknya kita bersikap yang jelas, masing-masing dengan akibat-akibatnya sendiri.
*****
Sikap itu pun tidak seluruhnya dapat dikemukakan dengan lugas apa adanya. Karena salah satu persyaratan hubungan internasional adalah, kemampuan untuk menyampaikan ‘bahasa’ yang digunakan antara bangsa atau kelompok yang saling terkait satu dengan yang lain. Penggunaan bahasa yang semakin canggih itu, menutupi ambisi pribadi atau golongan yang ada. Dan segala sesuatunya dirumuskan, supaya sesedikit mungkin membuat orang yang berpandangan lain dengan kita menjadi jengkel atau marah. Karenanya, kita bisa saksikan betapa istilah-istilah yang berubah arti atau bentuk. Ini adalah konsekuensi logis dari tatanan geopolitik yang ada. Akibat penguasaan pendapat umum di sebuah negara, yang ditentukan oleh faktor-faktor yang serba bagai itu, maka penggunaan istilah semakin menyimpang jauh dari apa yang dimaksudkan semula.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah kata “globalisasi” (penduniaan). Dalam pengertian yang kita gunakan sehari-hari, yang dimaksud globalisasi adalah sikap memberikan arti terhadap dunia atau universal. Tetapi segera terjadi perubahan arti dari kata tersebut, yaitu terjadi pemaksaan kehendak atas pemahaman orang banyak, seperti dikehendaki oleh kelompok-kelompok yang berjumlah kecil.
Karenanya oleh perusahaan-perusahaan raksasa, kata globalisasi tersebut lalu berubah arti menjadi dominasi. Selain itu pengertian dan pemahaman kelompok yang lebih besar atas kata “perdagangan bebas” (free trade) yaitu kebebasan berdagang namun menurut pengertian pihak yang kecil, kata itu berarti sistem yang menguntungkan pihak yang mempunyai modal besar. Kata “modern” berarti penggusuran pengertian arti tradisional oleh hal-hal baru, yang dianggap lebih menguntungkan dari pada arti tradisional itu. Dengan demikian, tersembunyilah arti lebih dalam dari tradisional, oleh bentuk-bentuk baru yang dianggap modern.
Kata “tempe” umpamanya, dipakaikan untuk menentukan kekurangan, kelemahan atau ketidakmampuan. Mengemukakan suatu istilah “bangsa tempe”, umpamanya, dianggap kalah arti dari bangsa yang kuat. Padahal kata tempe dalam penggunaan di sini, seharusnya sesuai dengan hakikatnya sebagai sesuatu yang memiliki gizi tinggi dan nilai berlebih. Jadi, penggunaan kata itu mencerminkan pandangan salah di masa lampau, bahwa hanya makanan yang menggunakan daging sajalah yang dianggap bergizi.
Demikian pula kata “perdamaian” dalam pergaulan antarbangsa. Sekarang kata itu berarti, tidak adanya peperangan atau penggunaan kekerasan oleh sesuatu pihak atas pihak yang lain, dengan persyaratan dan pengertian dari pihak yang menang. Kata “terorisme” dapat diartikan menurut kepentingan geopolitik negara-negara adikuasa, sehingga yang menentang pengertian tersebut dianggap sebagai teroris. Berhasilkah upaya Presiden George W Bush Jr. mengembalikan arti kata teroris, pada pengertian semula, yaitu penggunaan kekerasan oleh pihak-pihak yang tidak mau berunding? Kalau ini yang dimaksudkan oleh Presiden Amerika Serikat itu, lalu mengapakah harus jatuh korban puluhan ribu jiwa orang-orang yang tidak bersalah, akibat pemboman itu sendiri? Di sini, kita lihat terjadi perubahan arti kata “perdamaian” dan “terorisme”.
*****
Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa tindakan pemboman secara masif atas Irak adalah sesuatu yang juga diperdebatkan secara bahasa/epistemologi, dan tidak hanya berdasarkan “rasa panggilan historis” seperti dirasakan pemerintahan Amerika Serikat saat ini. Di sinilah terletak signifikansi dari filsafat dan moralitas, perdamaian dunia tidak selayaknya hanya dibatasi pengertiannya secara geopolitik belaka melainkan harus memasukkan moralitas ke dalam dirinya. Dalam hal ini, moralitas harus ditentukan oleh kerangka multilateral seperti PBB, bukan hanya oleh sebuah negara adikuasa belaka. Mungkin ini terdengar seperti lamunan belaka, namun bukankah cita-cita besar sering berangkat dari lamunan? Lebih jauh lagi, sinisme kekuasaan yang didasari pertimbangan-pertimbangan geopolitik, lalu membuat kita menghadapi jurang pertentangan dan peperangan dalam ukuran yang masif.
Karenanya, marilah kita berupaya menggunakan ukuran-ukuran moral dan etis dalam tata pergaulan internasional, walaupun banyak penguasa lain memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Bagaimanapun juga, sejarah kekerasan yang telah demikian lama mengikuti umat manusia, tidak dapat begitu saja dihilangkan, apalagi menggunakan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Inilah akibat kalau penafsiran diserahkan kepada sebuah negara adikuasa belaka. Dan ini yang sebenarnya menjadi esensi ajaran Mahatma Gandhi tentang ahimsa dan satya graha dunia tanpa kekerasan. Islam juga menolak penggunaan kekerasan semaunya saja oleh siapapun, dan kekerasan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, jika mereka diusir dari rumah-rumah kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim).