Komunisme, Agama dan Modernisasi

Sumber Foto: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230531142724-4-442195/heboh-muslim-china-lawan-xi-jinping-demi-menara-masjid

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

PADA suatu hari penulis dan almarhum Aswab Mahasin berada di Dupont Circle, Washington DC, ibukota Amerika Serikat. Dari atas, dengan bersandar pada pegangan tangan terlihat orang-orang yang naik tangga dari bawah tanah sekitar 100 meter. Mereka baru turun dari kereta api bawah tanah (subway) yang melingkari seluruh kota. Ketika kereta bawah tanah berhenti, pintu terbuka dan ratusan orang menaiki tangga berjalan (eskalator) yang membawa mereka ke atas, dan keluar dari bawah tanah ke tempat kami berdua berdiri. Aswab berkata kepada penulis, “mungkinkah orang sekian banyak akan masuk neraka semua karena mereka bukan muslim? Mesti ada yang salah dalam hal ini,” kata Aswab. Penulis menjawab, “yang muslim pun, tetapi hanya berpikir untuk dirinya sendiri dan tidak menjalani hidup untuk Allah, belum tentu masuk surga.” Penulis meneruskan, “Kang Aswab harus ingat syarat untuk masuk surga sangat berat. Dan menurut orang-orang, jumlah mereka jauh lebih kecil dari orang yang secara formal bertauhid tetapi hati mereka tidak ‘menghadap’ kepada Allah. Inilah yang dinamai keikhlasan kepada Allah.”

Episode di atas penulis ceritakan kembali, bahwa ada dua sisi dalam kehidupan kita sebagai orang muslim. Pertama, kita harus bertauhid secara formal lengkap dengan peribadatan serta rumus-rumusannya. Kedua, kita juga harus menata agar tindakan-tindakan kita dalam menjalani hidup, diarahkan kepada Allah, bukannya kepada kepentingan diri sendiri. Ini mungkin yang dimaksudkan oleh hadist Nabi Muhammad SAW: “Semua perbuatan manusia, hanyalah ditentukan oleh niat kita” (Innama al-a’malu bi al-niat). Jadi menurut pandangan ini, setiap perbuatan kita sebagai muslim tergantung sepenuhnya kepada niatan kita. Deng Xiaoping pernah menyatakan: “tidak penting kucing itu berwarna putih atau hitam, selama ia masih menangkap tikus.” Mengikuti pandangan ini, tidak penting orang itu berideologi komunis atau tidak, selama ia bekerja untuk kepentingan bersama. Pendapat itulah yang kini dijalankan oleh banyak orang di Tiongkok.

Ini tentu jelas berbeda dengan pandangan Mao Zedong, yang hanya ‘memandang penting’ orang-orang atheist/tidak bertuhan. Akibat dari sikap Mao itu, banyak pejabat di Tiongkok dalam tahun 50 dan 60 bersikap antiagama. Tetapi, sikap itu kemudian diubah ketika Deng menentukan jalannya pemerintahan setelah itu. Dan, kini bahkan pemerintah di Tiongkok sendiri memberikan bantuan dalam peribadatan lima buah agama: Tao, Budha, Katolik, Kristen Protestan dan Islam. Di sinilah terletak perbedaan antara perkembangan agama di Tiongkok dan di negeri kita. Kalau di Tiongkok, pembinaan pemerintah atas kehidupan beragama hanya pada lima buah keyakinan yang disebutkan di atas, berarti yang lain-lain dilarang untuk terwujud; namun di tanah air kita tidak ada larangan seperti itu. Adanya pembinaan atau pengakuan oleh pemerintah itu, tidak berarti agama-agama yang lain (di luar kelima keyakinan itu) tidak dilarang untuk berkembang sendiri.

Dengan mengetahui perkembangan saling berbeda di kedua negeri itu, kita lalu dapat melakukan perbandingan. Sehingga kebijakan pemerintah bidang keagamaan juga memperoleh masukan-masukan obyektif yang sama-sama dibutuhkan di kawasan saling berbeda itu. Jika di Tiongkok birokrasi agama bersifat membatasi keyakinan yang boleh hidup, di negeri kita hal itu telah kita lewati. Yang sekarang terjadi adalah perkembangan itu disesuaikan dengan berbagai ketentuan Undang-Undang Dasar. Masing-masing memiliki instrumen hukum saling berbeda dalam bidang keagamaan, dan dengan sendirinya akan berarti kebodohan sikap untuk mengharapkan perkembangan yang sama. Karena Undang-Undang Dasarnya tidak sama antara kedua negeri itu, dengan sendirinya perkembangan keadaan pun akan berbeda satu dari yang lain. Inilah gunanya diadakan perbandingan, seperti yang dilakukan penulis dan rombongan saat kunjungan ke Tiongkok.

Tentu saja, perbedaan seperti itu bermula dari perbedaan ideologi dan sejarah antara kedua masyarakat-bangsa tersebut. Dan, inilah yang mengharuskan kita mengadakan kunjungan-kunjungan seperti yang penulis dan rombongan lakukan. Ini belum lagi jika dilakukan perbandingan antara keadaan masa lampau dan masa kini di masing-masing negeri itu. Kekayaan masing-masing dalam pengelolaan kehidupan beragama baru ada artinya, jika kita dapat membandingkan antara kedua masyarakat-bangsa. Karena baik Tiongkok maupun negeri kita, sama-sama memiliki perkembangan beragam dalam kehidupan beragama masing-masing. Kehidupan kita akan lebih diperkaya lagi jika dapat dilakukan sebuah perbandingan antara berbagai masyarakat-bangsa di Tiongkok, India, dan Indonesia. Penulis percaya perbandingan seperti itu, lambat laun akan terjadi juga, karena kita membutuhkan hal itu.

Dalam bukunya berjudul ‘1492’ (Quatorze neuf deux), pengarangnya yang berkebangsaan dan berbahasa Perancis, menuliskan bahwa pada tahun tersebut ada sebuah kejadian besar, yang diterima oleh hampir seluruh dunia. Yaitu ketika Columbus menemukan Benua Amerika tetapi menurut pengarangnya di sekitar tahun itu (atau pada penghujung abad ke-15 Masehi), juga ada empat buah kejadian lain yang mengubah jalannya sejarah, yaitu ketika pelaut Eropa mendarat di sebuah kerajaan Islam di barat Afrika untuk mencari air bersih. Ketika itu mereka diserang oleh penduduk asli, mereka bertahan dengan menggunakan senapan. Mengetahui ada ‘setan’ berupa api yang keluar dari senjata itu, seluruh kerajaan berpindah ke pedalaman dan bebaslah para pelaut Eropa mendarat di pantai kawasan tersebut, untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Tanjung Harapan (peninsula of good hope). Kejadian lain, adalah ketika keluarga Borgia melalui uang, kekuasaan dan wanita berhasil menjadikan salah seorang dari mereka menjadi Paus Alexander VI di Vatikan. ‘Keberhasilan’ itu menjadikan awal skisma (perpisahan) antara Gereja Katolik Roma dan gerakan Kristen lain, yang kemudian dinamai Protestan, dan menjadi sesuatu yang permanen dan definitif.

Kasus keempat adalah ketika dinasti yang memerintah Polandia menjalankan wangsa Muscovite harus memutuskan bahasa Polandia atau bahasa Rusia yang digunakan di ‘daerah baru’ tersebut. Mereka memutuskan, yang digunakan adalah bahasa Rusia, dan sebagai akibat dua generasi kemudian dari wangsa Muscovite itu berhasil merebut kemenangan dan akhirnya bahasa Rusia menjadi salah satu bahasa dunia.

Kasus kelima adalah ketika seorang menteri peperangan di Tiongkok saat itu, diangkat menjadi wali negara (regent) karena rajanya meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak kecil, yang harus menunggu hingga dewasa sebelum menjadi kaisar dan penguasa baru. Sebagai wali-negara, ia segera memanggil perahu-perahu (jung) Tiongkok dari kawasan rantau termasuk daerah Nusantara, karena ia takut orang-orang Hoa Kiau (bangsa Tionghoa) yang beragama Islam nantinya akan mudah membeli tanah di daratan Tiongkok, akibatnya agama Islam akan tersebar di seluruh negara itu. Karena itu ia memanggil kapal-kapal layar itu kembali ke daratan Tiongkok, lalu memerintahkan agar semua kapal-kapal layar itu dibakar di pantai Tiongkok. Dengan demikian, putuslah hubungan dan komunikasi antara perantau dengan daratan Tiongkok selama dua abad. Orang-orang Tionghoa yang tertinggal di tanah rantau, akhirnya ‘di serap’ oleh masyarakat yang ada dan akhirnya menjadi ‘orang asli’. Ini terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan peninggalan klenteng-klenteng yang dahulunya adalah masjid, seperti klenteng Sampokong di Tuban dan Semarang, baru dua abad kemudian masjid-masjid itu ‘disulap’ menjadi klenteng.

Jelaslah dengan demikian, bahwa kita harus mempelajari sejarah perkembangan Islam di daratan Tiongkok. Ini termasuk sejarah perkembangan agama-agama lain di kawasan tersebut. Paling tidak untuk mengetahui, mengapa di kawasan tersebut berbagai agama dapat hidup berdampingan? Padahal di daratan Eropa kaum kristiani dan muslim ‘harus’ saling berbunuhan. Ini adalah keadaan ironis paling pahit, yang harus dijalani oleh bangsa-bangsa yang mendiami kawasan itu. Jadi, penyebaran agama memiliki pola berbeda-beda, sedangkan dalam era yang berlainan di kawasan yang sama juga demikian. Contohnya adalah vihara Budha berbahasa Mandarin harus dihormati seperti vihara lain yang berbahasa Tibet yang terletak di kawasan Beijing. Ini adalah bukti bahwa sikap antiagama, kemudian dapat berkembang menjadi sikap menerima agama-agama yang saling berbeda secara ritualistik. Ini adalah bagian-bagian proses melestarikan dan membuang, yang lazim dalam sejarah manusia, bukan?