Lain Dahulu Lain Sekarang

Sumber foto; https://buddhazine.com/gus-dur-bhante-pannyavaro-dan-djohan-effendi/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

DALAM kunjungan ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT), penulis datang dengan rombongan. Kedatangan penulis, adalah sebagai ketua Delegasi Indonesia yang terdiri dari para tokoh berbagai agama. Di Tiongkok, dijamu oleh berbagai para tokoh berbagai agama juga yang di seluruhnya menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat Tingkat Nasional (MPPRM) yang merupakan badan politik tertinggi di negeri itu. Tapi, yang sebenarnya menjadi tuan rumah adalah biro nasional agama-agama di Tiongkok, sebagai birokrasi pelaksana yang mempersiapkan bahan-bahan yang nantinya akan diputuskan oleh MPPRM, dan memiliki kekuatan mengikat. Ia juga merupakan biro pelaksana kerja harian berbagai organisasi agama, dan dengan demikian mengatur anggaran belanja mereka. Jadi, kegiatan agama selalu dalam kendali nasional, dan tidak menyimpang dari kehidupan bangsa dan negara secara utuh. Hal inilah yang harus diingat terus-menerus oleh siapapun yang menjadi para pemerhati masalah-masalah Tiongkok. Tanpa berpegang pada hasil pengamatan ini, maka para pemerhati itu akan tersesat dalam memahami perkembangan.

Pimpinan berbagai agama mengundang delegasi Indonesia ke tempat-tempat mereka berkedudukan, biasanya di rumah peribadatan terbaik yang dimiliki oleh masing-masing agama. Perkecualian adalah ketika delegasi berkunjung ke sebuah gereja Kristen di kota Shanghai, karena penulis tidak menyertai delegasi dalam kunjungan tersebut, yang dilakukan pada hari terakhir. Pada waktu itu, penulis dan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (Sekum PGI) berada dalam perjalanan kembali ke tanah air.

Penulis harus melakukan hal itu, karena harus bertemu dengan sebuah pihak di tanah air, sedangkan Richard Daulay harus berkhotbah Natal di kampungnya, di Sumatera Utara. Tetapi, kunjungan ke berbagai tempat itu serta kunjungan kepada pihak birokrasi agama telah memberikan kepada penulis sebuah gambaran yang jelas tentang ‘pengelolaan’ kehidupan beragama oleh pemerintah Tiongkok. Dengan bermodalkan pengetahuan seperti itu, dapatlah kiranya penulis ‘memetik pelajaran’ dari kunjungan tersebut, tentang bagaimana ‘pengelolaan kehidupan beragama harus dilakukan secara nasional.

Ini tidak berarti kita harus meniru apa yang terjadi di Tiongkok itu. Pertama-tama, karena keadaanya sangat berlainan antara di sini dan di sana. Baik secara geografis, politis, budaya, maupun lain-lainnya, sangat jelas perbedaan yang ada di tanah air kita. Berbagai macam agama hidup atas gerak sendiri, pemerintah hanya melayani dan membantu saja. Ini adalah apa yang dikehendaki Undang-Undang Dasar, sedangkan selebihnya adalah hal masing-masing komunitas agama, yang diwakili oleh pimpinan mereka. Jadi, kalau (dalam hal ini Departemen Agama) dikatakan pemerintah lima buah agama, maka pengakuan itu tidak berarti ia memiliki yurisdiksi/kewenangan hukum atas agama-agama yang ada. Di luar yang lima buah itu (Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha), tidak berarti dapat dilarang ataupun dipengaruhi oleh pemerintah, ini berarti kemerdekaan masing-masing. Untuk mengikuti politik apapun yang ada di negeri ini, kalau perlu bahkan menentang pemerintah.

Hal kedua yang harus diingat, adalah masing-masing pimpinan agama baik di tingkat nasional, daerah, provinsi, lokal, harus mengikuti sebuah kebijakan politik yang diberikan oleh partai. Tanpa hal itu, dikhawatirkan akan terjadi perbedaan tajam di antara para pemeluk berbagai agama itu yang dapat menjurus menjadi pertentangan tajam. Jika itu terjadi, dikhawatirkan berbagai bagian dari keputusan-keputusan MPPRM gagal dilaksanakan, oleh pihak-pihak yang berkewajiban. Jadi di sini, terdapat perbedaan pendekatan antara ‘penanganan kehidupan beragama antara kedua negara. Di tanah air kita, perbedaan justru dicari dan keragaman justru merupakan ciri utama yang dipelihara dengan sungguh-sungguh. Sedangkan di Tiongkok kekhawatiran akan timbulnya pertentangan justru mengharuskan adanya penyeragaman ‘uniformisasi dalam kehidupan beragama di negeri itu. Berarti ditinggalkannya bidang politik di dalam kehidupan beragama. Inilah yang menjadi kewajiban birokrasi agama, untuk tidak ‘membiarkan’ pertimbangan-pertimbangan politik memasuki wilayah agama. Tentu saja perbedaan seperti itu tidak dapat dipersatukan, tapi dapat dijadikan bahan kajian.

Sudah tentu, masing-masing mempunyai kelebihan, dan itu berarti kedua sistem itu harus belajar satu dari yang lain, bagaimana mengelola kehidupan beragama di lingkup masing-masing. Di negeri kita, hal-hal ritual harus hidup berdampingan dengan masalah-masalah politik yang menjadi pengelolaan pimpinan agama juga. Tidak cukup hanya dengan hal-hal ritual/peribadatan belaka, masalah-masalah yang menyangkut perubahan sosial juga harus menjadi perhatian pimpinan gerakan agama. Tapi sudah tentu ada perbedaan antara sebuah partai politik dan sebuah gerakan agama. Partai politik harus selalu mengingat bagaimana program praktis disusun, guna memungkinkan masyarakat mencapai tujuan tertentu. Sedangkan pimpinan sebuah gerakan agama harus lebih memperhatikan sisi inspirasional yang menetapkan rumusan-rumusan tentang pembelaan mereka yang lemah dan tertinggal. Hal itulah harus menjadi perhatian utama, bukannya bagaimana para agamawan tersebut mampu mencapai kedudukan atau memperoleh dana yang besar. Sedangkan di Tiongkok, keadaannya tidaklah sedemikian itu.

Jika kita tidak memperhitungkan perbedaan tersebut, tentu ketidakmampuan memahami maka perubahan demi perubahan di Tiongkok akan tidak dapat dipahami juga. Di sinilah kita mengetahui pentingnya arti sejarah sebuah negara yang berarti juga kemampuan memahami mengapa sebuah negeri seperti Tiongkok dapat berkembang seperti saat ini. Ini merupakan sesuatu yang penting, sebagai ‘pelajaran’ untuk memahami sebuah negara sebagaimana ia berkembang dalam sejarah. Apalagi seperti Tiongkok yang memiliki sejarah yang amat tua, sekitar 5000 tahun. Karena itulah penulis sendiri berpayah-payah pergi ke sana untuk maksud tersebut. Di masa-masa lampau datang sebagai presiden atau sebagai tamu dari bidang-bidang kehidupan lain. Baru kali inilah datang sebagai pemerhati kehidupan beragama. Yang menjadi pertanyaan adalah: benarkah penulis memperoleh hal-hal fundamental di Tiongkok, untuk dilaporkan kepada masyarakat Indonesia melalui kolom-kolom yang ditulis?

Penulis menganggap ‘laporan perjalanan yang dilakukan itu, dapat dijadikan bahan perbandingan bagi bangsa kita. Bukankah kita dahulu pernah menyaksikan masyarakat kita beragama Hindu, kemudian Budha (sejak abad ke-6 Masehi), lalu masyarakat Islam dan, di sementara daerah orang beragama Kristiani (Kristen dan Katolik), dan sekarang masyarakatnya memiliki kemajemukan agama yang sangat tinggi, sehingga diperlukan Departemen Agama untuk membantu kehidupan beragama tersebut? Masa lampau kita pernah juga menyaksikan bagaimana masyarakat ‘mengembangkan’ agama Hindu-Budha di Jawa Tengah (seperti daerah Prambanan) dan kerajaan Majapahit (dikenal di kawasan itu sebagai agama Bhairawa). Di samping itu, senantiasa ada sepanjang zaman, keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekarang secara umum dinamai kepercayaan. Dengan berbagai nama, seperti kebatinan di Jawa, Sunda Wiwitan dan sebagainya.

Tentu saja ada perbedaan-perbedaan mencolok antara apa yang terdapat di Tiongkok dan Indonesia dalam bidang ini. Ada yang hanya bersifat ritualistik, seperti perbedaan cara beribadah kaum Budha di Tiongkok dan di negeri kita. di Tiongkok, kaum Budha melihat agama mereka sudah ‘dinasionalkan’ dengan jalan menggunakan bahasa nasional atau setempat dalam peribadatan sedangkan di negeri kita, dalam peribadatan mereka masih menggunakan bahasa Pali.

Ini disebabkan oleh kenyataan sejarah, agama Budha yang datang kemari berabad-abad yang lalu, tidak melalui daratan Tiongkok. Demikian pula, peribadatan Hindu di Bali, tidak sama dengan cara kaum Hindu menjalani peribadatan mereka di India. Budaya setempat memegang peranan penting dalam menentukan corak peribadatan agama Hindu yang berlangsung di kedua negara itu. Begitu juga yang berlaku di antara kaum muslimin di negeri ini dan di kawasan Timur Tengah.

Di sebuah negeri pun akan terjadi perbedaan-perbedaan dalam masyarakat ketika menjalankan cara-cara peribadatan dalam dua zaman yang berbeda. Kaum muslimin di Indonesia, di masa lampau lebih banyak dipengaruhi oleh ‘unsur-unsur lokal’, sedangkan sekarang mereka merasa lebih bersungguh-sungguh menjalankan peribadatan. Sebagai orang-orang beragama Islam, jika lebih banyak menggunakan bahasa dan budaya Arab semasa kecil, penulis mendengar kata Bahrul ‘Ulum untuk nama pesantren di Tambak Beras dan Mambaul Ma’arif bagi Pondok Pesantren Denanyar di Jombang. Demikian pula, penulis melihat lebih banyak orang berjubah di masjid saat ini. Di Tiongkok bahkan menyaksikan bagaimana peribadatan berlangsung, sesuatu yang dahulu justru tidak disukai negara, yaitu dalam dasawarsa 50-an dan 60-an. Ini adalah bagian dari proses melestarikan dan membuang, yang selalu terjadi dalam sejarah manusia, bukan?