Megawati dan KLB PDI
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berakhir tanpa hasil yang diharapkan. Forum tertinggi partai berlambang kepala banteng itu secara praktisnya berakhir dengan kegagalan dan orang tetap tidak tahu bagaimana kemelut PDI akan diselesaikan.
Masalahnya sebenarnya sederhana saja. Satu pihak menginginkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI yang baru harus disusun melalui pilihan langsung oleh para delegasi KLB. Pihak yang lain menolak cara itu dan berkeras harus dilakukan melalui proses pembentukan tim formatur. Mengapakah tidak dapat pertemukan antara keduanya? Jawabnya sederhana, yaitu faktor kepentingan.
Mereka yang menghendaki pemilihan langsung berkeras untuk memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI periode yang akan datang plus personalia lainnya harus dipilih. Dengan kata lain, kekuatan berupa dukungan para delegasi KLB digunakan untuk lebih dari hanya mencalonkan “banteng betina” itu sebagai ketua umum saja, melainkan juga untuk melakukan pembersihan dan pemurnian pimpinan PDI di tingkat pusat. Pembersihan dari para politisi konvensional yang dinilai sudah terlalu oportunistik dan korup. Dimurnikan dari penyimpangan dari cita-cita perjuangan.
Sebaliknya, mereka yang menghendaki sistem formatur menganggap tradisi tersusunnya DPP yang menyuarakan kepentingan semua pihak yang ada dalam partai itu harus dijaga tetap berkelanjutan.
PDI adalah perwakilan rakyat dalam lembaga politik di luar lembaga negara, karenanya pendukung PDI datang dari semua golongan itu berarti personalia DPP PDI harus mencerminkan bagian-bagian penting dari golongan penduduk pendukungnya. Tanpa hal itu dikhawatirkan dukungan kepada PDI akan merosot.
Demikian pula para politisi konvensional menganggap perlu dipertahankan keikutsertaan tokoh-tokoh berpengalaman dari lingkungan mereka dalam personalia DPP yang baru. Dan hanya dengan sistem formaturlah hal itu akan terlaksana.
Semula tampaknya para pendukung Megawati sudah jelas akan memenangkan “adu kemauan (contest of will) tersebut. Melalui suasana persidangan yang panas, mereka akhirnya berhasil melaksanakan sistem pemilihan langsung yang dipertimbangkan oleh Komisi Organisasi. Namun, mereka tidak melaksanakan agar pimpinan sidang berada di tangan mereka yang dipilih oleh delegasi. Dengan demikian, pimpinan sidang dipegang para tokoh caretaker atau DPP peralihan.
Kelalaian dalam suasana mabuk kemenangan itu akhirnya harus dibayar mahal. Pimpinan sidang komisi dan para delegasi yang bersikeras menolak sistem pemilihan langsung tetap tidak mau mengalah sampai saat ini hingga berakhirnya batas waktu izin KLB, keputusan belum diperoleh –mana di antara kedua cara itu yang akan dilaksanakan.
Karena polisi berpegang pada legalitas formal berakhirnya waktu izin berkongres, dengan sendirinya KLB lalu dibubarkan tanpa ada keputusan mengenai siapa yang akan memimpin PDI selanjutnya.
Orang boleh saja menganggap KLB dirusak dan digagalkan hanya oleh segelintir orang dari DPP peralihan dan sementara delegasi. Memang demikian kenyataannya karena lebih 80% delegasi menginginkan Megawati dipilih untuk menjadi ketua umum. Orang bisa saja menganggap pemerintah berkolusi dengan mereka untuk menggagalkan KLB, delegasi yang berkeras menginginkan sistem formatur itu adalah “selundupan” dari luar alias bukan pengurus PDI yang sebenarnya, karena itu pula KLB dari awal sudah diejek sebagai “kongres sospol”.
Apa pun argumentasi orang, dalam kenyataannya Megawati tidak jadi terpilih sebagai formatur, betapa kuatnya sekalipun dukungan yang ia peroleh dari bawah. Ini berarti kegagalan “arus bawah” dari partai politik yang mewakili sekitar seperdelapan penduduk negeri ini untuk mengatasi “hadangan dari atas”. Efektivitas “arus bawah” dalam percaturan politik kita ternyata masih belum dapat menandingi “pola pembinaan” yang diterapkan oleh aparat pemerintah atas gerakan kemasyarakatan.
***
Bagaimanakah ini harus dibaca? Jawabnya ditemukan secara objektif dalam perspektif dua sudut pandangan, yaitu sudut pandangan pihak Megawati dan sudut pandangan para pesaingnya, yang bagaimanapun juga telah diuntungkan oleh sikap pemerintah dan campur tangannya dalam urusan intern PDI.
Dari sudut pandangan pihak pemerintah ini secara objektif haruslah dikembangkan sikap untuk mengakomodasikan kenyataan faktual akan dukungan besar warga masyarakat kepada putri Bung Karno itu. Artinya, tidak hanya sekadar menerima dia sebagai ketua umum, melainkan memberikan porsi dan tempat yang layak kepada para pendukungnya.
Tanpa hal itu, dalam praktek pemerintah telah mengingkari konstitusi PDI dan mencoreng muka Demokrasi Pancasila sendiri. Karena, bagaimanapun juga Mega tidak akan memimpin sendirian saja tanpa ada orang-orang yang dipercayainya. Kalau Harmoko boleh menjadi Ketua Umum DPP Golkar dengan pasangan yang diseganinya sebagai sekjen, seharusnya Megawati pun harus memperoleh hak yang sama.
Kejujuran sikap politik inilah yang justru ditunggu oleh masyarakat, sebagai substansi yang riil dan konkret dari klaim pemerintah bahwa Demokrasi Pancasila telah berkembang di negeri ini.
Sebaliknya, tentu ada tuntutan agar Megawati harus melakukan kompromi dengan menerima kehadiran sebagian pesaing-pesaingnya dalam susunan DPP yang baru.
Kompromi seperti ini memang tampaknya sudah menjadi ciri khas “tradisi politik” Orde Baru sejauh ini. Namun, itu berarti sikap memberikan toleransi kepada oportunisme dan praktek-praktek politik kotor untuk tetap berkembang di lingkungan PDI. Masihkah Megawati dapat menerima tanggung jawab memimpin PDI dengan memberikan toleransi seperti itu? Bukankah ia hanya akan tampak mengejar posisi ketua umum saja tanpa melakukan perubahan berarti dalam pola yang ada selama ini?
Kalau Megawati memang lebih mementingkan prinsip dan menolak kompromi dengan sendirinya akan timbul masalah baru. Patutkah para pesaingnya yang sudah bercitra politik demikian buruk diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk memimpin PDI? Ataukah justru bukan lalu dicarikan “orang ketiga” yang disetujui kedua belah pihak yang nantinya bertugas lebih banyak mematangkan tradisi politik PDI yang bersih, tetapi tetap menampung aspirasi yang beragam dari para pendukungnya? Orang pernah menyebut nama mantan Mendagri Rudini dalam hal ini.
Namun, untuk mewujudkan gagasan ini harus dipenuhi dua syarat: benarkah dia dapat diterima kedua belah pihak PDI itu, dan bagaimana proses ke arah itu harus dimulai?