Memahami Arti Sebuah Kongres
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
MUKTAMAR NU ke-31 di Boyolali — untuk selanjutnya kita namai kongres — baru saja usai. Menjawab pertanyaan penulis sendiri dalam sebuah tulisan yang dimuat Proaksi beberapa waktu yang lalu, ternyata bahwa kongres tersebut mempunyai dua wajah. Hal yang sama sekali tidak penulis perkirakan, yaitu bahwa para sesepuh NU memerintahkan penulis untuk mendirikan sebuah organisasi baru di luar NU formal yang ada. Penulis sekaligus merasa sangat sedih dan sangat bangga dengan penunjukan tersebut. Sangat sedih, karena ia harus meninggalkan NU yang selama ini dilayaninya dengan menjadi pengurus sejak 1979. Sejak hasil Muktamar NU ke-26 tersebut, segera penulis menjadi Khatib Awal PBNU di bawah sang kakek KH Bisri Syamsuri sebagai Rais ‘Aam. Kemudian NU terbelah dua, Blok Situbondo di bawah pimpinan KH As’ad Samsul Arifin dan Blok Cipete di bawah pimpinan DR Idham Chalid.
Pertentangan antara kedua blok itu berjalan secara ‘lucu’, karena dengan sekretariat tetap satu, berkantor dan menggunakan alamat yang sama dan hanya berbeda dalam nomor surat saja. Penulis menjadi orang yang mengendalikan pihak Blok Situbondo, dan H Chalid Mawardi mengendalikan pihak Blok Cipete. Sedangkan DR Fahmi Syaifuddin (almarhum) menjadi perantara antara kami berdua. Karena antara penulis dan H Chalid Mawardi tidak pernah ada pertentangan (bahkan terikat hubungan kekeluargaan karena perkawinan), maka NU ‘aman-aman’ saja. Hal inilah yang sebenarnya penulis ingini, agar terjadi dalam hubungan antara KH M Sahal Mahfudz sebagai Rais ‘Aam dan penulis sendiri. Kalau ini terjadi, toh pada akhirnya penulis dan teman-teman lain di lingkungan NU (yang pada waktu itu sudah dapat ‘menumbuhkan keberanian’) dapat memperbaiki NU secara pasti.
Dalam pertemuan antara penulis dan Dr KH A M Sahal Mahfudz di Jalan Adi Sucipto (dekat Manahan Solo) penulis bertanya kepadanya, dapatkah beliau melarang KH Drs Hasyim Muzadi untuk menjadi salah seorang anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2004-2009? Ia menjawab tidak dapat melakukan hal itu apapun alasannya. Itu berarti ia ‘merelakan’ perpecahan dalam tubuh NU yang penulis harapkan pada waktunya dapat diselesaikan dengan tetap berpegang kepada perintah tertulis para sesepuh (baca: Ulama Sepuh) untuk mendirikan organisasi baru, yang berarti juga benar-benar menjadikan NU terpecah dua, pihak struktural (dalam hal ini PBNU di bawah pimpinan Dr KH AM Sahal Mahfudz) dan organisasi baru yang penulis ‘jalankan’ dipimpin para sesepuh itu.
Persolannya sederhana saja. Dapatkah beberapa ulama yang memimpin PBNU sekarang ‘mengendalikan’ organisasi tersebut, dan ‘tidak dikalahkan oleh kesepuluh orang (sebagian karena alasan sudah lebih dari tiga kali menjadi anggota PBNU, masalah kejujuran moral dan kepremanan yang ‘melecehkan’ para sesepuh) yang dipimpin oleh Hasyim Muzadi itu? Sekarang yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar kedua organisasi itu tidak berbenturan, karena hal itu akan mengakibatkan keterpecah-belahan yang dilarang oleh kitab suci Al-Qur’an, yaitu dalam ayat: “Berpeganglah kalian pada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah belah” (Wa’tashimu bi habli Allahi Jami’an wala tafarraqu).
Mengapakah adanya kedua organisasi dapat ‘dibiarkan’ di kalangan nahdliyin? Karena kitab suci kaum muslimin juga yang mengatakan: “Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian lelaki dan perempuan, dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal” (Inna khlaqnakum min dzakarin wa untsa wa jaʻalnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafu) hingga akhir ayat. Jadi, masalahnya sekarang bagaimana kedua organisasi itu dapat berbeda tanpa membuat kaum nahdliyin terpecah. Di sinilah kearifan penulis dan AM Sahal Mahfud sekali lagi diuji. Karena Hasyim Muzadi tidak seperti Idham Chalid yang bersedia mengalah kepada para sesepuh NU dalam Muktamar ke-27 di Asembagus, dengan tidak mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU sehingga keutuhan organisasi ‘dapat diselamatkan’.
Sudah tentu hal ini berarti kesediaan untuk bertemu dan berbicara antara para sesepuh, yang memerintahkan berdirinya organisasi baru itu dengan para ulama yang mendukung PBNU, Cukup banyak kegiatan yang dapat dihadiri kedua belah pihak bersama-sama, tanpa harus bertolak belakang antara mereka dalam gerak kehidupan sehari-hari. Ini berarti kesediaan untuk bersilahturrahmi antara kedua belah pihak, dengan menggunakan berbagai ‘kesempatan’, seperti berbagai peringatan hari-hari besar, acara perhelatan (seperti perkawinan) dan hari-hari peringatan nasional. Sudah tentu, kehidupan pondok pesantren dan hubungan kekeluargaan sangat dekat antara para warga pondok pesantren, akan menjadi wahana komunikasi antarwarga seperti yang dimaksudkan itu. Hal-hal semacam inilah yang dapat menjadi penjaga hubungan antarwarga NU sendiri seperti dikemukakan di atas.
Mengapakah penulis mengemukakan hal itu? Karena melihat beberapa indikator yang obyektif seperti akan berakhirnya krisis multi-dimensi pada ujung tahun ini. Nah, apa yang akan menjadi kesudahan dan proses itu? Jawabnya adalah salah satu antara dua hal berikut: kita tetap menjadi bangsa yang kecil, lemah dan miskin, atau mengatasi krisis itu sehingga kita mampu menciptakan bangsa yang kuat dan negara yang besar. Sudah tentu kita ingin yang berjalan adalah jawaban kedua. Munculnya kemampuan untuk menjadi bangsa yang besar dan negara yang kuat, adalah kalau benar-benar kita menuju kepada tegaknya demokrasi yang harus diwujudkan dalam bentuk kedaulatan hukum yang tuntas, perlakuan sama pada seluruh warga negara tanpa pandang bulu asal-usul mereka, kemerdekaan berbicara, pengembangan SDM yang memadai dan keadaan yang mantap dalam kehidupan bersama para anak bangsa.
Untuk mencapai sasaran-sasaran di atas, diperlukan hal yang sama di antara para warga NU. Karena itulah prioritas tindakan-tindakan yang ‘harus’ kita ambil, adalah memelihara keutuhan NU baik secara kolektif maupun individual di antara para warganya. Penulis tidak dapat melukiskan dengan tepat tindakan apa yang dilakukan untuk menuju ke arah itu, yang baru terasa makna dan artinya di kala ada ‘ancaman-ancaman perpecahan’ tersebut. Penulis menyadari, menjaga terlaksananya sekian macam kegiatan untuk mencapai keadaan itu tidaklah mudah. Apalagi di kalangan warga NU yang demikian heterogen dan memiliki pola hidup yang memang tidak ‘didesain’ untuk itu. Memang benar klaim bahwa NU adalah gerakan Islam terbesar di seluruh dunia, yang mengharuskan kita untuk mencari unsur-unsur yang membuatnya besar. Dan, itulah yang tampak dalam berbagai kegiatan yang semula tidak dirasakan sebagai demikian.
Jelaslah dengan demikian bahwa arti kehadiran NU menjadi sangat penting, kalau kita menginginkan keadaan di mana kita menjadi bangsa yang kuat dan negara yang besar. Sudah tentu NU yang bersatu, sehingga tenaga dan kekuatannya tidak terpencar-pencar, dan bukannya terfokus seperti yang kita perlukan. Hal ini hanya akan dapat tercapai jika secara sadar warga NU menghindarkan diri dari keterpecah-belahan. Dan, untuk menghindari hal itu, tidak berarti mereka harus melakukan upaya penyeragaman (uniformisasi) kehidupan dalam segenap aspeknya. Kita percaya para warga NU cukup dewasa, sehingga mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang akan memecah-belah organisasi yang mereka cintai itu. Dan, yang akan menjalani proses alami menuju kepada perbenturan bangsa yang kuat dan negara yang besar. Proses yang berintikan upaya melestarikan apa yang kita inginkan untuk masa depan dan membuang apa yang mungkin mengganggu kita saat itu, adalah sebuah proses sejarah yang terjadi di manapun, bukan?