Membentuk Solidaritas Sosial
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Solidaritas sosial atau solidaritas antar-sesama manusia pada akhimya akan membentuk masyarakat-masyarakat dan pada gilirannya akan membentuk bangunan-bangunan sosial yang tangguh yang dapat mengayomi manusia. Solidaritas ini kadang kala datang dari pemberian apresiasi seni dan budaya secara benar. Demikian juga dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan membentuk pula apresiasi seni dan budaya. Sekarang ini kita kesulitan untuk mengikuti “tembang lama” yang terlalu lamban, karena—antara lain—irama hidup kita sudah didera teknologi televisi. Teknologi ini merupakan percepatan dari apresiasi kita terhadap kehidupan. Melalui teknologi kita dikotak-kotakkan dalam waktu yang sudah pas. Akan tetapi teknologi televisi ini juga membentuk sesuatu yang lain, yakni melakukan percepatan pada bagaimana kita memahami kehidupan.
Karena itu, kalau saja kita tidak mampu melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dimensi seni dan budaya, kita akan menjadi masyarakat yang tertinggal. Kita akan mengalami kesenjangan budaya. Di sinilah sesungguhnya kita harus meramu seni dan budaya di satu pihak dengan unsur solidaritas sosial serta unsur ilmu pengetahuan dan teknologi. Seni dan budaya harus dibentuk dan saling mempengaruhi keyakinan akan kebenaran.
Ketika Pablo Picasso, seorang pelukis yang amat masyhur, membuat lukisan yang “berantakan” —menggambarkan tentang korban-korban perang dalam perang saudara Spanyol pada 1937— banyak yang mempertanyakan arti lukisan itu. Terutama tentang suasana berantakan yang mencuatkan potongan-potongan manusia.
Kebenaran dan pemahaman terhadap lukisan Picasso itu baru datang ketika muncul perjuangan rakyat melawan rezim fasis di Spanyol, yakni kaum Republikan melawan kaum militer. Maka di balik keindahan yang dirumuskan oleh seorang Pablo Picasso—dengan gambar-gambar potongan kepala dan badan yang tidak bersambung untuk membentuk tubuh orang—maka sesungguhnya Picasso sedang menggambarkan keporak-porandaan masyarakat yang dilanda peperangan.
Juga ketika orang seperti Syeh Abdul Haq melahirkan karya lukisan hanya dengan gambar sebuah garis tegak lurus pada kanvas dalam ukuran besar, banyak orang bertanya tentang makna lukisan itu. Padahal makna lukisan itu sesungguhnya merupakan kulminasi dan seluruh pengalaman hidup yang berantakan. Akan tetapi yang dia lihat adalah kebenaran yang diyakini keniscayaannya. Artinya, bahwa hidup harus berantakan dan ditata kembali.
Untuk melakukan itu semua, maka elemen dasarnya hanya satu, yaitu sesuatu yang kita temukan dalam sepotong garis lukisan Abdul Haq tadi.
Di sini lalu muncul asumsi bahwa seni dibentuk oleh keyakinan akan kebenaran. Kita harus menyadari pentingnya arti seni dan budaya dalam satu sudut, yakni keharusan kita membentuk kehidupan melalui pembentukan kepribadian yang seimbang.
Tidak dapat dihindarkan ada orang-orang yang hanya mencintai ilmu pengetahuan dan teknologi, atau hanya meyakini kepastian-kepastian matematik dari kehidupan. Ada juga yang lebih menyenangi nilai-nilai ideologis, yakni kebenaran keyakinan seperti peribadatan dan penghayatan terhadap kebesaran Tuhan. Di samping ada juga yang lebih menyenangi manifestasi yang sangat artistik.
Melalui solidaritas sosial yang sangat kuat, di mana manusia saling membantu dan saling mendukung, tentunya antarmanusia tidak akan saling memerangi. Tekanan-tekanan yang berbeda adalah wajar-wajar saja. Yang penting kita tidak boleh terpengaruh oleh satu unsur kemudian meninggalkan unsur yang lain. Hendaknya unsur yang satu dan yang lain membentuk sebuah sinergitas gerakan.
Kita memiliki bentangan hidup yang sangat luas. Kita juga memiliki tataran yang sangat baik. Apalagi bangsa Indonesia yang sedang membangun ini telah sanggup membuktikan bahwa walaupun masih banyak ketimpangan sosial, walaupun demokrasi belum dapat diwujudkan sepenuhnya, walaupun hak-hak asasi manusia belum dapat tegak di negeri ini, harapan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik—Indonesia yang lebih mampu memenuhi cita-cita—tetap ada.
Kita yakin dengan semangat dan harapan untuk menuju Indonesia yang dicita-citakan, maka masa depan bangsa kita memberikan optimisme yang tidak berlebihan dan tidak akan menyesatkan.