Menelusuri Ar-Raniry yang Hakiki

Sumber Foto: https://biografi.kamikamu.co.id/syekh-nuruddin-ar-raniry-ulama-penasehat-kesultanan-aceh/

Resensi Buku: ALLAH DAN MANUSIA DALAM KONSEPSI SYEIKH NURUDDIN AR-RANIRY, Ahmad Daudy, CV Rajawali, Jakarta, 1983, 267 hal.

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Satu kajian kasus yang menarik, mengungkapkan keilmuan agama Islam pada abad ke-17 di Aceh. Kebesaran tradisi sebagai mufti kerajaan, ar-Raniry mengafirkan aliran Wujudiyah, membakar buku-buku Hamzah Fansuri, tapi akhirnya disingkirkan.

BERASAL dari disertasi Dr. Ahmad Daudy di IAIN Jakarta tahun lalu, buku ini adalah karya ilmiah yang dikerjakan dengan teliti dan penuh ketekunan. la mencakup berbagai pembuktian akan kelengkapan pendapat ar-Raniry dan kekuatan argumentasinya. Tapi di sisi lain, beberapa kesalahan pandangan tentang ulama besar itu juga dikoreksi. Misalnya pandangan bahwa ar-Raniry tidak menguasai bahasa Arab yang baik, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Prof. Tujimah.

Namun, penerbitan sebuah disertasi selalu mengandung risiko, yakni buku menjadi tidak pas untuk bacaan khalayak umum, karena terlalu ditujukan kepada mereka yang mendalami permasalahannya saja. Karya Daudy tidak terkecuali, sulit diikuti oleh pembaca yang bukan spesialis di bidang ilmu-ilmu ketuhanan. Hal ini makin tidak tertolong karena sikap penulis (atau penerbit?) yang menampilkan sejumlah istilah asing, seperti tajalli dan jauhar, tanpa penjelasan artinya dalam bahasa Indonesia. Lagi pula, kalau memang buku ini diterbitkan dalam bentuk “bacaan khalayak”, seharusnya dituliskan kembali beberapa bagian, sehingga memuat sejumlah informasi latar belakang tentang pertumbuhan ilmu-ilmu ketuhanan di kalangan kaum Muslimin. Sulit tentunya bagi orang awam untuk membedakan pemikiran ketuhanan di kalangan kaum sufi, kaum Suni, kaum rasionalis, dan sebagainya. Apalagi kalau juga dinyatakan bahwa suatu pendapat berasal dari neoplatonisme, yang lain lagi dari Democritos (atomisme).

Walaupun demikian, buku ini berharga untuk dibaca sebagai semacam kajian kasus yang menarik. Terlalu sedikit diketahui tentang kebesaran para ulama negeri ini pada masa lampau, apalagi kalau dikaitkan dengan jasa mereka dalam memajukan salah satu aspek budaya kita. Seperti yang dilakukan ar-Raniry dengan penyebaran bahasa Melayu sebagai lingua franca untuk bahasa tulis kaum terpelajar, setelah ia digunakan sebagai bahasa lisan dan “bahasa perjanjian Tertulis” saja.

Buku ini juga memaparkan kebesaran tradisi keilmuan agama yang muncul dengan cemerlang di bumi Nusantara melalui kerajaan Aceh pada abad ke-17. Sebagai salah satu “pemetaan keilmuan” masa lampau kita yang begitu kaya dengan tradisinya sendiri, buku ini menampilkan wajah lain dari kebesaran masa lampau itu, di luar kekuatan militer dan sistem kekuasaan yang sudah umum diketahui. Tentu saja ia harus diikuti dengan “pemetaan historis” dalam bidang-bidang lain, seperti teknologi dan perdagangan. Kebesaran kerajaan Aceh pada masa kesultanan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani terlihat, antara lain, dalam tingginya derajat pemikiran keagamaan yang berkembang di dalamnya. Termasuk di dalamnya polemik berkepanjangan antara ar-Raniry, mufti kerajaan pada masa Iskandar Tsani, dan lawan-lawannya yang dinamainya “pengikut Wujudiyah”. Mereka adalah pengikut paham tasawuf yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, mufti sebelum ar-Raniry. Semasa hidup mereka, paham itu dianut secara luas, dan ar-Raniry terpanggil untuk melawan paham tadi sepeninggal mereka.

Sebagai ulama pandai yang bukan pribumi (ia berasal dari Rander di India), ar-Raniry datang untuk mengalahkan paham Wujudiyah, yang tidak lain adalah salah satu bentuk aliran panteistis dalam Islam, yang melihat wujud Tuhan dalam wujud alam dan seisinya. Dengan kata lain, alam merupakan penampilan wujud Tuhan. Antara alam dan Tuhan lalu ada kesatuan, yang dalam kosmologi orang Jawa dikenal dengan sebutan manunggaling kawula lan Gusti.

Walaupun sampai titik tertentu ar-Ranary sendiri adalah penganut paham Ibnu Arabi yang merumuskan pandangan dualistis tentang keesaan Allah, ia tidak dapat menerima kesatuan antara Tuhan dan alam secara begitu mutlak. la masih terikat kepada pandangan ketuhanan kaum Suni, bahwa hanya Allah sendiri yang Esa. Karena itulah Allah harus dijauhkan (munazzah) dari kesamaan dalam hal apa pun dengan alam dan isinya, termasuk kesamaan dalam penampilan wujud (tajalli) keduanya.

Sebagai konsekuensi penolakannya atas paham Wujudiyah yang melihat kesatuan Allah dan alam dalam penampilan wujud keduanya itu, ar-Raniry tidak dapat berbuat lain dari mengafirkan para pengikut paham itu. Dimintanya Sultan mewajibkan pertobatan mereka, dan hukuman mati bagi yang menolak. Juga dilakukan upacara pembakaran buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin.

Namun, akhirnya sejarah berbalik. Salah seorang pengikut paham itu pulang dari India dengan ilmu yang sangat tinggi. la mampu mematahkan argumentasi ar-Kaniry, yang terpaksa turun dari jabatan mufti kerajaan dan digantikan dengan orang tadi. Ar-Raniry lalu pulang kembali ke negerinya, untuk tidak kembali lagi ke Aceh.

Cerita yang sangat menarik ini diselingi pembahasan filosofis yang rumit, tentang perjalanan hidup seorang ulama besar. Kebesaran ar-Raniry tampak dengan jelas, seperti dalam pembahasan tentang hubungan antara roh dan badan, serta bagaimana keduanya berkait dengan hati (kalbu). Kesulitan yang masih dihadapi sang ulama, seperti kesulitan mempersatukan kecenderungan melepaskan Allah dari kesatuan hubungan dengan alam di satu pihak dan kecenderungan kaum sufi untuk menekankan kesatuan itu, tidak mengurangi kebesaran ar-Raniry. Itu adalah kesulitan semua pemikir ketuhanan.

Kekurangan utama buku ini adalah sulitnya dibaca sebagai “bacaan umum”, sebagaimana sudah dikemukakan tadi. Juga adanya sejumlah kesalahan tulisan Arab (antara lain halaman 75). Tipografi pun tidak digarap baik, misalnya penggunaan huruf yang terlalu kecil untuk beberapa kutipan. Demikian pula, gambar kulit muka yang justru tidak menampilkan citra manusia, melainkan robot. Namun, dengan segala kekurangannya, buku ini patut dibaca sebagai salah satu rintisan memunculkan khazanah masa lampau kita di bidang tradisi keilmuan.